Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

what a surprise.

"Oh My, Wow!" Medina yang baru menjeblakkan daun pintu apartemen langsung bergeleng-geleng persis Mbah Dukun. Tinggal nunggu dia menyembur sambil baca mantra. Dan benar saja, detik berselang tak ubahnya Mbah Dukun yang lagi nyembuhin pasien ketempelan cewek yang rambut keriwilnya seperti belum sempat disisir seminggu itu berkacak pinggang tepat di dekat sofa yang tengah direbahi Pamela, seraya kontan berteriak mengomel, "Gimana caranya mau move on kalau lo malah ngintilin dia tinggal di dekat rumahnya, hah? Si Anjir! Bebal banget sih dibilangin!"

Dibanding menjambak Pamela dia lantas menjambak dirinya sendiri dengan sarat frustasi demi meredakan emosi. Karena, ya percuma. Percuma melampiaskannya pada Pamela! Pertama, Pamela yang bucin tolol mustahil bisa sadar biarpun dijambaknya sampai botak. Kedua, perawatan rambut Pamela itu mahal. Gajinya sebulan saja belum tentu bisa meng-cover seluruh biaya rangkaian hair treatment perempuan itu untuk sepanjang 30 hari. Kendati, dia ragu surai Pamela yang mirip bintang iklan shampoo tersebut bakal langsung rontok kalau dijambaknya sekali, tapi kalau kusut kan ya sama saja dia terlalu malas memakai gajinya buat mengganti biaya hair salon Bos Barunya yang sulit dinasihati ini!

"Terus ini lagi! Udah nggak lo bersihin berapa abad nih tempat sampai berdebu amat?!" lanjutnya misuh-misuh. Kali ini sambil menendang secara brutal bantal-bantal yang tercecar di lantai.

Namun, daripada menyimak amarah Asisten Pribadi Opa yang tempramennya kadang sebelas-dua belas dengan pria tua itu, dan nggak tahu atas dasar alasan apa Donald Harris alihkan untuk bekerja kepadanya, Pamela hanya menyeletuk lemah, "Gue seburuk itu yah?"

"Apa lagi sekarang?" tantang Medina sambil berdecak berang.

Pamela yang lemas meletakkan dagunya di lengan sofa seraya menatap bola lampu di dekat pintu yang nggak lagi menyala—entah apa yang perlu diganti, selama empat tahun hidup bareng Jevas, hampir semua urusan rumah pria itu lah yang biasanya menangani termasuk electricity, Pamela mah paling hanya akan kebagian tugas untuk menggelendoti punggung atau kaki lelaki itu tiap kali Jevas naik kursi guna membetulkan lampu, tetapi ya itu hanya masa lalu—dia menggumam lesu, "Menurut lo, apa gue memang beban doang? Sampai-sampai gue nggak layak buat selamanya disayangi. Baik sama Mami dan Papi. Sama Opa. Sama mantan jahanam gue Savalas. Terus, sama ... Jevas juga. Omong-omong soal Jevas, sekarang aja gue ragu kalau dia pernah sekali aja dengan tulus menyayangi gue di sepanjang empat tahun kebersamaan kami. Lo tahu nggak sih tadi dia bilang apa pas gue minta buat jangan nikah sama Kanaya?"

"Lo serius ngomong kayak begitu?" timpal Medina bak baru kena tonjok di muka. Padahal apa memang salahnya kalimat Pamela? Sampai-sampai cewek itu kini bahkan langsung mengepalkan kedua tangannya di udara seolah menahan greget untuk menimpuki tubuh Pamela menggunakan bantal-bantal yang terhambur di lantai ketika dia akhirnya menyindir melalui suaranya yang galak, "Ya Tuhan! Beneran deh urat malu lo tuh udah migrasi ke segitiga bermuda ya, Pem?!"

Mendengarnya lagi-lagi dihina tak hanya di media sosial, tapi juga di hadapan Opa, Agas, keponakannya, Patricia hingga bahkan Jevas belakangan, Pamela yang sedang gundah kontan terpancing buat membalasi tak kalah sensi, "Banyak cewek lain yang bisa dia nikahi kenapa sih mesti banget Kanaya Melati?!"

"Dan, kenapa nggak boleh kalau itu Kanaya Melati?" tanggap Medina, mengulang tanya serupa dengan yang tadi juga sempat diucap Jevas. Tanya yang Pamela nggak tahu bagaimana cara terbenar untuk menjawabnya. Atau, memang hal tersebut hanya terasa salah di matanya? Sementara di mata orang lain itu adalah suatu hal wajar bila Jevas yang lajang menikah lagi dengan wanita mana pun termasuk ... Kanaya Melati. Apakah diam-diam Pamela hanya membuat-buat alasan karena dia iri? Atau ....

Layaknya balon udara yang tertusuk jarum semangatnya untuk mencari validasi pun kontan kempis. Tak ada lagi kata-kata yang mampu Pamela keluarkan jadi dia lantas menyurukkan wajahnya untuk kemudian terbatuk-batuk hebat mungkin karena menghisap debu-debu yang nempel di kain sofa.

"Tuh kan bengek! Udah ah yok balik!" putus Medina entah iba atau malas saja kalau sampai Pamela menelan terlalu banyak debu terus harus opname kayak beberapa bulan lalu.

Masih sambil sesekali terbatuk ringan Pamela yang sudut-sudut matanya terasa mulai berair—tentu bukan gara-gara menangis ya, tapi batuk, mohon ingat itu—menyahuti pelan, "Pulang ke mana? Memangnya gue masih punya rumah, yah?"

"Hish, mulai! Mulai lagi main dramanya. Udah deh besok gue hunting script sinetron buat lo casting ya biar nggak kebanyakan nganggur dan otak lo nantinya jadi bener!"

Menyadari Pamela langsung diam boleh jadi sebab kata-katanya yang sepertinya cukup keterlaluan untuk diucapkan di depan perempuan yang jelas-jelas sedang nelangsa, Medina pun pelan-pelan merundukkan tubuhnya guna berjongkok di lantai. Wajahnya bahkan sengaja dia dekatkan ke arah Pamela sewaktu dia berkata dalam intonasi yang jauh lebih pengertian, "Lo sadar nggak sih, Pem? Sama dengan kematian, jodoh juga nggak bisa kita atur-atur dengan semaunya. Entah datangnya, entah perginya. Jodoh nggak bisa dipaksa. Mau lo genggam Jevas erat-erat kalau nyatanya dia bukan jodoh yang Tuhan siapkan buat lo maka pada akhirnya dia akan lepas juga. Udah sih jangan mellow melulu dong, Bebs, hum?"

Well, mudah saja bagi orang yang tak mengalaminya langsung untuk bilang begitu.

Benar, mudah saja bagi mereka bilang agar Pamela lekas berjalan maju dan segera lupakan seluruh masa lalu. Namun, satu yang orang-orang itu tidak akan mungkin bisa mengerti bahwa okay, katakanlah Jevas tidak pernah menyayangi atau mencintainya. Perasaan Jevas tentu hanya pria itu sendiri yang paling tahu. Tetapi, seperti halnya pria itu Pamela pun sangat mengenal dirinya. Dan, Pamela jelas amat mengasihi Jevas Prambada. Hari-hari bersama Jevas adalah hari-hari di mana Pamela merasa paling hidup. Hari-hari itu adalah hari-hari yang selalu dia rindu ingin Pamela ulang di sepanjang enam bulan perpisahan mereka. Bersama Jevas Pamela baru tahu apa itu bahagia. Dan, kehilangan Jevas membuat dunia Pamela nyaris gelap gulita.

"Podcast yang tadi bakal tayang kapan?" gumam Pamela tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan—well, sesuai keinginan Medina kan—saat teringat tadi dia shooting dalam kondisi live delay.

"Sesuai jadwal mereka lah. Minggu jam 8 malam."

Dan, Pamela mendadak dilanda deg-degan. Duh, gimana kalau Jevas nanti nonton? Hm, meski sedikit agak nggak mungkin sih. Pertama, Jevas nggak tahu Pamela ada jadwal ngisi podcast. Kedua, Jevas yang gila kerja tentu akan sibuk mengurus berkas-berkas yang tadi tampak menumpuk di mejanya. Ketiga, Pamela sekarang cuma mantan istrinya. Lalu, terakhir, dia saja sampai mengusir Pamela demi menerima tamu istimewanya yang itu ... pasti Kanaya Melati kan?

Eh, tunggu! Ngapain Kanaya Melati bertamu malam-malam? Mereka baru bertunangan dan bakal berduaan saja di apartemen Jevas? Oh, really? Like seriously? Kenapa Pamela baru sadar soal ini? Ogh, nowaaaay!

Pamela sontak dihajar panik. Perutnya yang sejak tadi menahan lapar bahkan makin melilit hingga tahu-tahu mengeluarkan bunyi. Well, dia jujur kok waktu tadi mengaku belum makan pada Jevas.

Sementara Pamela menyengir karena tertangkap basah, Medina mungkin sangar, tapi diam-diam hatinya sungguh selembut powder snow di Iceland. Kendati sambil mendelik dia toh tetap mengeluarkan ponsel—bukannya kepedean, cuma dia pasti mau pesan makanan buat Pamela.

"Sus—" Pamela baru hendak me-request menu yang sekiranya ingin disantapnya saat ponsel dalam genggaman Medina keburu nyaring berdering.

Satu panggilan masuk dan cewek itu sontak berdeham-deham bak mau ikut kontes nanyi sesaat sebelum bergerak memunggungi Pamela sembari menyambut sarat akan ramah-tamah, "Iya, Mas Catra ada yang bisa saya bantu?"

Catra Dinata? Hadeh, mau ngapain lagi sih dia?

***

"Jadi, beneran nih besok gue yang jalan ketemu sama Mbak Mona dari La-Mona? Seriusan gue banget nih, Mas? Apa mau lo aja Mas yang diskusi soal floral design wedding-nya Amanda?" Barbara yang beberapa detik lalu menelepon Jevas tanpa repot-repot bilang halo jelas nggak bisa menyembunyikan keengganannya untuk meeting bersama florist vendor langganan mereka. "Eh iya, tapi kan lo baru tunangan yaps? Emangnya mau langsung masuk, Mas?"

Tak tertarik membicarakan kehidupan pribadinya, Jevas segera mengembalikan topik obrolan dengan balik bertanya, "Amanda sudah setuju sama offering tema yang terakhir kali?"

Barbara berdecak keras. "Setuju nggak setuju lah, Mas. Kan lo tahu dia orangnya gimana. Sebelas-dua belas dia mah sama Si Paling Anaknya Gubernur!" gerutu cewek yang sehari-hari kerap tampil dengan kacamata tebal serta kawat gigi itu terang-terangan menyinggung salah satu klien mereka yang juga sering bikin sakit kepala. "Tadi pagi aja si Amanda nge-chat gue masa Mas gegara habis ngelihat postingan bunga di IG-nya Pamela Harris. Mana dianya langsung ngerengek-rengek pula mau minta ganti tema demi bisa ikut-ikutan pakai tema yang vibes-nya sama kayak yang di foto Pamela! Katanya, biar nanti bisa nge-tag Pamela terus dikomen deh sama Idolnya itu. Halah! Gelooo! Mumet kepala gue, Mas!"

"Postingan apa?" sahut Jevas seraya memijit area tengah dahinya yang berdenyit.

"Itu loh postingan Pamela yang tadi pagi. Beuh, memang mantap banget Mas mantan lo tiap barang yang doi endorse pasti laku keras ya? Wait, nih gue bagi SS-an yang Amanda kirimin ke gue."

Notifikasi baru muncul di ponsel Jevas.

Begitu dia buka tampak jelas satu swafoto Pamela. Agak blur. Dan, di tangannya dia tampak sedang memegang setangkai bunga kering. Tidak terlalu kentara loh padahal dan tanpa caption pula. Tapi, lihat efek influence-nya!

"Amanda mau ganti pakai ilalang semua Mas buat dekoran venue-nya," lapor Barbara. "Dan, lo tahu Mbak Mona besok pasti bakal merong-merong!"

"Lo sudah bilang kalau nggak bisa ganti lagi?" Secara waktunya bahkan sudah sangat mepet. Wajar Mona sebagai pemilik florist merong-merong Jevas saja rasanya ingin menggonggong.

"Manalah dia mau dengerin omongan karyawan level kupret macam gue! Coba aja Mas Jev yang bilang siapa tahu dia mau dengar. Sumpah ya lama-lama gue ngurusin nikahannya si Amanda sama Si Anak Paling Gubernur rasanya gue pengen cabut aja kayak Mbak Naomi, Mas!"

Jevas tentu berharap itu tak serius. Dan, curhatan Barbara tersebut praktis tersudahi bertepatan dengan bel apartemennya yang berbunyi.

Tanpa melihat siapa yang datang karena Jevas duga itu pastilah Gladysa—mengingat adiknya tadi sempat bilang mau singgah—mata Jevas yang sudah sangat perih sebab seharian menatapi layar melulu kontan membeliak begitu melihat siapa gerangan yang sudah berdiri manis tepat di balik pintu tempat tinggalnya.

Sheesh, what a surprise!

***

Halo, lama ya kita nggak jumpa sama Seleb kita yang suka malu-maluin diri sendiri. Hehe maaf maaf.

Oh ya, aku juga udah update bab 10 dalam fitur baca duluan Better Get Divorced di sebelah ya.

Terima kasih udah membaca 💔

Espresiyon Mbak Pem 🙃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro