Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

lost causes.

"Ke mana lagi lo, hah? Gue baru keluar belum ada dua jam loh ya! Katanya, lo kepengen makan lawar ayam? Lo bilang kalau lo makan lawar ayamnya Bu Ceni sekarang juga lo bakalan langsung ikut gue pulang? Terus mana nih batang hidung lo? Hohoho, enggak mungkin kan kalau mendadak Pamela Harris dimakan cicak?! Ngerjain gue kan lo pasti, hah? Sengaja kan lo minta gue nyari warungnya Bu Ceni yang bahkan nggak ada di Google Maps itu! Pem, ihhh! Gue tuh nyampe nerobosin gang-gang sempit dan kesasar-sasar loh di Grogol! Terus ini balasan lo pas udah repot-repot gue beliin? Menghilang? Oh Tuhaaan, jangan bilang lo balik lagi ke tempat mantan lo itu, hah?!"

Hish! Enggak kah Medina bisa sekali aja kehabisan baterai? Telinga Pamela sampai sakit mendengar suara amukan galaknya di seberang panggilan!

Lagian, Pamela awalnya nggak bermaksud nipu kok. Dia memang pernah diajakin Jevas buat makan di warung khas Bali yang tendaan gitu. Lawar ayamnya enak bangeeet! Namanya Warung Bu Ceni. Pamela memang enggak terlalu ingat lokasi persisnya, tapi kayaknya itu ada di sekitaran Grogol. Udah begitu tadi Medina lah yang salah karena dia cuma nanya begini tepat setelah pembicaraannya usai bersama Catra Dinata, "Jadi, lo BM apa, Pem?"

BM? Bucin Mantan kah maksudnya? He-he-he.

"Boleh gue jujur?" balas Pamela yang sama sekali nggak kepo Medina dan Catra Dinata sempat membahas apa.

Mengedikkan pundaknya santai, Medina lantas wanti-wanti berujar, "Why not? Asal lo janji bakal langsung ikut gue pulang malam ini setelah makan itu?"

Ah, andai aja manusia betulan bisa makan cinta, Pamela tentu akan kenyang hanya dengan memakan seluruh memori indahnya bareng Jevas.

"Gue ... kangen banget deh sama lawar ayamnya Bu Ceni," aku Pamela, matanya menerawang jauh.

"Warung Bu Ceni?"

Pamela mengangguk membenarkan. "Yang di Grogol."

"Mm, lumayan jauh juga ya? Okelah, demi lo mau ikut balik sip bakal gue cari."

See? Apakah Pamela menjanjikan sesuatu? Semua Medina yang berkata dan menyimpulkan sendiri. Terus, Pamela juga nggak ada bilang kok kalau malam ini dia pengen makan lawar ayam. Dia cuma kangen. Bukan pada lawar ayamnya, tapi kenangannya yang dia lalui pas makan bareng Jevas. Maka, bukan salahnya lah jika Medina memutuskan untuk hunting dinner menu ke tempat yang mana jarak perjalanannya setidaknya bisa menghabiskan satu hingga satu setengah jam bolak-balik dari kawasan apartemennya! Well, tentu dia tak akan menampik bahwa itu waktu yang sempurna untuk Pamela gunakan demi mengusik apa pun acara yang Kanaya rencanakan bareng Jevas.

Oleh sebab itu, begitu Medina pergi tadi dia langsung turun demi mengunjungi resto sushi di seberang gedung dan memborong semua sisa sushi yang ada-sebagian bahkan dia bagi-bagikan secara cuma-cuma kepada siapa pun yang datang ke resto, di samping dua bag yang dia bawa sendiri ke tempat Jevas. Karena, sumpah, Pamela nggak pernah ada masalah makan dengan menu apa pun asal makannya bareng-bareng sama Jevas.

Dan, sesuai kata Paris, CEO di modeling agency-nya bahwa insting Pamela selalu bekerja lebih baik dari otaknya-memang lebih terdengar seperti ejekan sih. Namun ya, pas Pamela keluar dari lift pada lantai unit Jevas, matanya langsung mendapati sosok Kanaya telah berdiri di depan pintu apartemen pria itu. Pamela ingat mereka sempat saling dorong, senggol-senggolan, sampai terpaksa harus saling berdiri berdempetan demi bisa dilihat lebih dulu saat akhirnya Jevas membukakan pintu.

Huh, jelas bahwa tujuan Pamela datang ke sana belumlah tercapai. Dia tentu nggak boleh kabur dan membiarkan usahanya sia-sia. Masa bodo deh mau diomelin sampai budek sama Medina kek!

Pamela yang tadi sengaja melipir ke dapur ketika mendapati ponselnya tiada henti getar-getar toh terus memanjangkan netranya untuk mengawasi setiap gerak-gerik Kanaya beserta Jevas yang sedang menyiapkan piring sembari sesekali bertukar obrolan ringan di meja makan.

Hadeh, situasi gila macam apa ini? Masa sih mereka bakal makan bertiga? Seriusan? Dih, Pamela sih nggak sudi lah ya!

"Calm down," Pamela berbisik-bisik pada Medina sekaligus dirinya sendiri, tentu aja!

"Lo pikir gue bisa santai kalau lo belum balik?"

Dengar-dengar Opa memang sempat menegur cewek itu gara-gara masalah terkait Catra Dinata, ditambah kemarin malam Pamela juga ketangkap jalan bareng Ilham Kavi ke pesta Kanaya. Enggak perlu bertanya, tapi dari betapa keruhnya dan lebih emosiannya Medina aja udah kebaca kok bahwa Opa tentu udah menginstruksikan agar Pamela dijaga lebih ketat supaya nggak kebanyakan mencetak masalah yang berpotensi bikin laki-laki tua itu mati cepat.

Ya ... kasihan sih, makanya Pamela lekas berjanji, "Gue pasti bakalan balik nanti malam ke tempatnya Opa. Jadi, lo bisa pulang lebih awal hari ini."

"Pulang awal gigi lo rata!" serapah Medina. "Gue mesti kirim bukti foto-foto lo ke Pak Donald."

"Halah, easy-peasy. Banyak di galeri. Ntar gue kirim ke WA."

"Real time," tekan Medina seolah ingin menyadarkan Pamela kalau Donald Harris yang ahli bohong itu tentulah sulit dibohongi.

"Ah ... ya pastinya itu em, bisa gue pikirinlah nanti gimana caranya."

"Lo beneran lagi di apart-nya Si Jevas?"

Pamela mendesis. "Jangan nyebutin namanya pakai mulut lo!" tegurnya hampir-hampir kelepasan berteriak, beruntung kontrol emosinya masih kuat.

"Kenapa?" respons Medina acuh tak acuh.

Meneggemelutukkan gigi menahan geram tak nyaman Pamela sontak menggerutu, "Hari ini gue lagi gampang cemburu!"

"Koplak! Udah buruan sini ah balik! Gue tunggu di unit lo!"

"Belum bisa. Berapa kali sih harus gue bilang? Ada yang butuh gue awasi sekarang," kekeuh Pamela menolak dalam desahan.

"Pem, argh, come on!" Medina balas mengerang. Pamela bahkan seperti bisa melihatnya sedang dengan brutal menginjak-nginjak bantal di lantai apartemennya. "Besok lo mesti bangun jam 7 pagi loh!"

Meraih satu piring dari kabinet untuk alasnya makan sushi, Pamela menimpali malas, "Dih, ngapain?"

"Oh iya gue belum sempat kasih tahu ya? Jadi, besok Mas Catra mau datang buat sarapan di rumah."

Otomatis berdecak, Pamela dengan sinis menyahuti, "Dia dhuafa pake segala perlu numpang makan di tempat gue?"

"Pem, dia udah baik loh mau ngasih kesempatan kedua," bela Medina.

"Siapa yang butuh kesempatannya? Lo yang bikin janji sama dia kan?"

"Demi kebaikan lo."

Kebaikan? Satu-satunya hal baik yang sedang Pamela nanti-nanti untuk terjadi padanya hanya ... rujuk sama Jevas. Catra Dinata, Kanaya, atau siapa pun wajib dia singkirkan kan?

Oleh sebab itu, Pamela kemudian hanya enteng berkata, "Owh, kalau gitu berarti besok lo aja yang temenin kan lo yang ngejanjiin."

"PAMELA KERAS KEPALA HARRIS!"

Dan, Pamela pun buru-buru memutus sambungan telepon itu bertepatan dengan Kanaya yang masuk ke area dapur dengan membawa serta wangi feminine floral, em, something like sunny garden in full bloom, lil bit sweet, well maybe Turkish roses? Yang jelas harum Kanaya saat ini betul-betul seolah mengubur habis sosok Kanaya di usia belasan yang sempat Pamela akrabi.

"Lo hari ini tampil di Small Talk?" Dan, dia tiba-tiba bertanya.

Ih, tapi kok dia tahu, ya? Menelan rasa curiganya bulat-bulat Pamela menaikan dagunya saat sok apatis menjawab, "Lihat siapa yang tadi nuduh gue nguntit?"

Kanaya tertawa pelan. Merdu. Bikin Pamela ingin mengunyel-unyel mulutnya yang semoga tidak akan pernah dicium oleh Jevas! Awas aja!

"Pamela ... Pamela." Kanaya bergeleng kepala sok miris. "Lo memang selalu gitu kan? Berbuat salah sendiri terus melemparkan kesalahan itu ke orang lain. Dulu, sekarang, lo sama aja."

"Lo!" Pamela berseru, tapi masih cukup sadar diri untuk tak terlalu banyak menarik atensi Jevas yang kini terlihat udah duduk anteng di kursinya. Sementara itu, Kanaya pun langsung berhenti tepat di depan dispenser. Suara gemericik air yang dituangnya ke dalam gelas menguasai ruangan saat Pamela gegas mendekatinya untuk lantas berbisik tepat di telinga perempuan yang cuma beberapa senti lebih pendek darinya itu, "Jangan ngimpi mau merebut semua milik gue!"

Dari pinggir Kanaya tampak tersenyum sumir. Dia bahkan seakan tak sudi repot-repot menolehi Pamela saat terdengar amat yakin menjawabi, "Memangnya ada yang benar-benar pernah lo miliki?"

Membawa gelasnya yang telah terisi penuh, dia sempat menyenggol kasar bahu Pamela, sebelum tubuhnya yang ramping melangkah pergi. Meninggalkan Pamela yang lagi-lagi terpaku bersama kekekian yang kilat aja merambati seluruh hatinya. Sialan!

***

Pamela menyumpit ogah-ogahan satu mentai sushi dari piringnya saat campuran harum super-menggoda tomato sauce, oregano, basil, bawang putih, dan entah apalagi menguar kencang di ujung hidungnya bertepatan dengan gerakkan Jevas di sebarang duduknya yang mulai membuka foil wrapping dari lasagna yang dibawa oleh Kanaya.

"Tahu nggak, Mas? Ini loh ternyata Owner sekaligus Chef-nya teman kuliahku. Tadi pas aku masuk ke cafe-nya kaget banget sih soalnya kami udah lumayan lama juga nggak kontakan, dan aku kira dia masih stay di Aussie. Nggak nyangka banget deh. Padahal dulu dia paling nggak jago masak loh, tapi ini enak kan ya, Mas?"

"Dia Nutrisionist?" tanya Jevas yang duduk di samping Kanaya, sembari membaca selebaran nutrition information panels dari lasagna yang disantapnya.

"Iya. Dulu males-malesan banget orangnya. Hampir aja mau DO di tahun pertama terus balik ke Indo. Tapi, siapa yang tahu nasib coba? Aku termasuknya beruntung banget sih karena bisa mewujudkan cita-citaku. Nyatanya, banyak orang di luar sana di usiaku yang bahkan nggak tahu apa yang mereka mau."

Ini ... Pamela boleh merasa tersinggung nggak sih? Dia lagi ngomongin Pamela kan? Pamela bahkan nggak pernah punya satu cita-cita pun sedari remaja. Dia nggak punya sesuatu yang betul-betul dia mau hingga akhirnya dia menemukan Jevas dan menjadikan pria itu sebagai satu-satunya harapannya. Satu-satunya asanya. Satu-satunya pusat dari dunianya.

"Bukan hanya beruntung. Kamu juga pasti bekerja keras untuk dapatkan itu," balas Jevas diplomatis yang bikin Pamela sontak tersenyum bengis.

Dih, apa banget puja-puji di depannya!

Pamela yang dilanda emosi tingkat tinggi baru memasukkan potongan sushi yang berikutnya saat dia tersedak lalu terbatuk-batuk hebat. Mencari-cari air di meja, Jevas tampak hendak mendorong mug airnya sebelum tahu-tahu niatnya didahului oleh Kanaya yang justru menyerahkan gelas miliknya.

Namun, Pamela akan selalu jadi Pamela. Cih, lebih baik dia mati daripada menerima bantuan Kanaya Melati!

Jadi, dia terus batuk-batuk dengan sesekali terengah sampai Jevas mengalah untuk mendekatinya dan membantunya minum.

Sengaja meremas punggung tangan Jevas yang mungkin tak sengaja tersampir di pundaknya, Pamela lalu mencicit bersama seringaian yang nyaris terbit, "Makasih." Ingin sekali dia tambahi sayang tapi ....

"Lo mau bunuh diri?" Pamela membeliak mendengar suara tuduhan itu. Bukan dari Jevas tentu aja, tetapi Kanaya yang kini memicinginya dengan ekspresi super tak suka mungkin gara-gara ... ya apalagi emang? Karena, Pamela masih mampu menarik perhatian tunangannya kan? "Kalau makan sushi tuh dikunyah bukannya langsung ditelen macam bayi belum punya gigi!" sarkasnya.

"Nggak usah bacot. Urus aja-"

Pamela belum selesai bicara ketika alaram yang menandakan bahwa podcast-nya tayang tiba-tiba berbunyi memecah ketegangan. Pamela belum membuka ponselnya yang terakhir dia simpan di tas, tapi Kanaya justru tampak buru-buru membuka ponselnya sendiri seolah dia juga menunggu-nunggu datangnya saat-saat ini.

Ah, tentu dia menunggu, sebab tak lama berselang suara yang Pamela kenali sebagai miliknya langsung merebak nyaring di udara.

"Jevas Prambada yah? Satu kata yang mendefinisikannya? Hm, pengkhianat. Anggapan itu saya rasa nggak akan pernah berubah."

Itu ... tak cuma refleks ternganga, netranya pun sontak nanar. Air mata yang tadi bahkan tidak turun ketika dia batuk, entah mengapa kini seperti berdesakkan di pelupuk matanya seiring dengan mulai memanasnya bagian itu.

Oh, demi Tuhan, Pamela nggak pernah mengatakannya! Oke, dia memang mengatakan kata-kata itu, tapi tidak dalam bentuk satu kalimat utuh macam itu yang menarik siapa aja untuk menyalah pahaminya!

Kenapa coba pihak Small Talk justru mengeditnya jadi seperti itu?

Dan, yang paling buruk untuk diterima adalah saat Pamela mendongak serta lantas disambut oleh sorot kecewa milik Jevas yang di enam bulan lalu juga memandangnya dengan cara serupa di tengah-tengah rumah mereka, seraya mengatakan kalimat perpisahan ini, "Pamela Sachita Harris ... you know yourself that we can't fix this. Neither today nor tomorrow. Maybe it's the right time for us to part ways."

Tahu kenapa hari itu Pamela setuju untuk melepaskannya? Sebab, menyakiti Jevas merupakan hal terakhir yang Pamela mungkin lakukan. Dan, ketika itu Donald Harris jelas dalam situasi tak mungkin mau berhenti mengorbankan Jevas jika mukanya dan Pamela tak lekas terselamatkan.

***

Halo, masih adakah yang nungguin cerita Pamela Si Tukang Bikin Ulah? Maaf ya lama nggak datang-datang.

Aku juga kemarin baru update bab terbaru dari cerita ini di sebelah 'Twisted Lunch'. Semoga minggu depan bisa datang lagi juga.

Terima kasih udah bersedia menunggu dan membaca cerita yang updatenya lambreta ini ❤️‍🩹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro