do you have an invitation?
"It's really unfair."
Medina yang sedang menyetir mengintip sekilas melalui spion tengah. Di jok belakang, duduk sambil menguruti pelipis sosok Pamela yang jari-jemarinya siang tadi baru saja dapat treatment spa di salah satu nail salon terbaik Jakarta.
"Like, how come?"
"What?" Medina yang matanya sempat bergesekan dengan mata Pamela di spion spontan mencetus tanya tak mengerti bernada bosan seperti biasa. Oh, please, Pamela itu salah satu manusia paling absurd yang pernah cewek itu kenal. Dia bisa melamun setengah jam cuma untuk kemudian mengomentari warna payung dari ojek payung yang lewat. Jadi, kalau boleh jujur Medina nggak benar-benar ingin tahu. Julukan Otak Udang yang tersemat di tengah nama Pamela Harris tak tiba-tiba beken tanpa alasan.
Menarik jari-jari lentiknya dari sekitaran wajahnya yang hampir-hampir menghabiskan tiga jam untuk di-make up, Pamela lantas mengepalkan semua jari itu saat melipat lengan rampingnya di depan dada.
"Women experience pain more acutely than men do ...." Medina menyipitkan pandangannya, menunggu, hanya untuk kemudian menyesal ketika Pamela menambahi, " ... in sex."
"Oh My God! Seriously deh, Pem, otak lo isinya cuman sex?" Nada Medina terdengar menghakimi.
Membuat Pamela dengan bengis mendengkus. "Definitely not!" Melalui telunjuknya yang dicat sewarna kuning kunyit dia memilin-milin surai lebatnya, yang baru dua minggu kemarin di-touch up oleh tangan dewa Kiefer Lippens menjadi ber-highlight tembaga. "Gue cuma penasaran," imbuhnya dalam semi gumaman.
"Nge-sex? Seriously? Cuma gara-gara setengah tahun dicerai Jevas? Sepenasaran itu? That's why lo selalu ngimpi ena-ena kalau pagi? Kangen ngerasain lagi 'sakit' yang lo kata unfair? Habis ini mau nyoba sama Mas Chatra mungkin?" Medina bahkan terkekeh-kekeh.
Dan, entah mengapa itu terdengar sebagai hinaan di telinga Pamela.
Huh, apa dia pantas menerima hinaan ini? Apa salahnya dia penasaran? Lagi, meski intuisi Medina tinggi, dia boleh jadi tak sekenal itu pada Pamela. Dia sama sekali nggak tahu penasaran apa yang sesungguhnya Pamela maksudkan.
Namun, haruskah Pamela peduli? Lalu, ribet-ribet menerangkannya?
Perempuan itu menggeleng remeh. "No, of course not! Gue Pamela! Gue cantik, wangi, dan bertalenta! Gue nggak butuh orang lain untuk stratifying diri gue!"
"Yang barusan bicara adalah orang yang kalo pagi hobi 'ah-uh-ah-uh' dan berambisi buat gagalin rencana move on mantannya, even though dia mesti menelanjangi diri di dalam lift!"
"Lo Asisten Donald Harris bukan gue! Just shut your fucking mouth!" Dan, Medina betul-betul menurutinya hingga roda-roda SUV yang membawa mereka berhasil melindas pelataran gedung yang memiliki one of the best rooftop lounge in town.
***
"Uh, shit!" Tumit crystal gem mesh by Giuseppe Zanotti yang dikenakannya refleks ia hentak kasar di lantai. Tubuhnya yang agaknya bertambah sekal gara-gara dia tak punya aktifitas jelas sedari enam bulan lalu pun nyaris dia putar balik. Namun, urung karena mulut Pamela yang biadab nyatanya kelewat cepat dari kakinya untuk segera hadir mencela, "Ke mana Chatra Dinata? Kenapa justru ada kriminal di sini?!"
"Watch your tongue! Sesama orang buangan harusnya saling mendukung bukannya menghina." Di ujung meja panjang yang lumrahnya deretan kursi-kursinya diisi oleh banyak orang, satu-satunya laki-laki yang malam ini duduk di sana tampak mengangkat tangkai gelas berisi white wine-nya.
"Cuma orang sinting yang dukung kriminil!" sambar Pamela tak lupa seraya mendongakkan tinggi-tinggi dagunya.
Lelaki berkemeja hitam yang di awal tahun ini namanya nyaris mejeng setiap hari dalam berita itu terkekeh. "Masih dendam?" tanyanya kemudian, retoris. "Anyway, nice dress, Pamela." Netranya sontak mengerling ke arah cocktail dress berbelahan dada rendah dengan warna matahari, yang kalau kata bekas Fashion Stylist-nya di agency Paris sih, bikin kulit Pamela makin-makin shining, shimmering, splendid—menyegarkan.
Membuat bibir Pamela yang dipulas gincu merah langsung saja berang memaki, "Berani jelalatan mata lo gue colok!"
"Owh, ada yang bilang lidah Pamela Harris berbisa. But, I think they are wrong. It sounds pretty good to me. Please, take a seat!" Ilham Kavi yang sempat menjadi buah bibir karena bebas dari jeruji besi kelewat cepat atas kejahatan yang dia lakukan tanggap menarik satu kursi tepat di sampingnya.
"Gue? Duduk di situ?" Pamela yang ditawari menderaikan tawa sarkas. Tak lupa jari-jemari lentiknya pun menuding kursi di sisi Kavi bak dia sedang menuding sampah—ogh, perempuan itu ahlinya, by the way, untuk membikin orang lain merasa rendah diri. "Yang ada nanti gue mesti ribet nyiapin Lawyer karena kena OTT KPK atau malah disidak Bareskrim dicurigai lagi pesta sabu!"
Pria itu menggulir bola matanya. Tak ada siapa pun di luar mereka di sana. Bartender yang tadi melayani Kavi bahkan telah diusirnya sebelum perempuan itu tiba. Lalu, apa? Pesta sabu?
Kavi lagi-lagi mengekeh. "Nice rhythm." Lidahnya lantas terjulur untuk sejenak membasahi bibirnya yang sedikit tebal sebelum menyambung, "Tapi, saya ada info bagus yang tentu sayang kalau kamu memilih pergi tanpa lebih dulu dengar."
"Tempat main kasino terbaru yang bisa jamin rasio kemenangannya di angka seratus persen? Cara ngemplang pajak? Atau malah trik jitu ngebunuh orang biar bisa bebas walau baru ngejalananin setengah dari masa hukuman? Info dari kriminil isinya tentu nggak akan jauh-jauh dari cara-cara berbuat kriminal. Sorry, gue nggak minat!"
Dari tempatnya berdiri Pamela bisa melihat bibir lelaki itu mencebik.
"Yakin? Bagaimana kalau ini ada kaitannya dengan sesuatu yang di ada di belakang kamu." Lalu, sambil pelan-pelan berdiri dari kursi, dagu lelaki itu pun mengedik santai ke arah punggung Pamela.
Pamela refleks memutar kepalanya untuk menemukan nun jauh di bawah sana, potret gedung berbentuk kura-kura yang cahayanya terlihat samar-samar dalam kegelapan malam.
"Yakin nggak tertarik ke sana?" Suara ini terdengar lebih dekat.
Dan, enggak. Jika Pamela Si Sempurna yang memiliki segalanya 4 tahun lalu ditanyai begini, dia pasti akan mutlak menjawab enggak. Dia suka uang. Tapi, nggak pernah suka terhadap hal-hal yang Donald Harris kerjakan. Sayangnya, setelah jatuh hingga terjerumus di kubangan mirip pembuangan dia akhirnya sadar kalau dia tanpa Donald Harris memang hanyalah remahan.
Andai, bukan, dia tentu nggak di sana saat ini. Menemui Chatra Dinata? Cuma demi menyenangkan Opa dan mengamankan bagian warisannya? Bahkan, biar pun dia rela berlaga bagai anjing begini mungkin di akhir Agas dan anaknya akan tetap dengan mudah menyingkirkannya.
"Jika pun gue tertarik ke sana, akan gue pastikan nggak bakal ada andil kriminil di dalamnya," sinis Pamela yang dia belum lupa lho ya. Lelaki di belakangnya ini adalah salah satu orang yang dulu menyebabkan dia dengan gegabahnya memutuskan untuk menikah bersama Jevas.
"Saya bisa bikin kamu mudah duduk di sana," ujar Kavi yang justru mematik munculnya satu senyum sumbing di bibir lawannya bicara.
"Why? Ada pesanan RUU yang urgent ingin di-request untuk disahkan?"
"You think so?"
"Apa lagi kan? Donald Harris selalu main dengan cara kayak gitu. Situ kekurangan antek-antek?" tukas Pamela yang detik berselang langsung mengepalkan kuat-kuat telapak tangannya yang menggantung di sisi tubuh. "Dan, sebelum gue patahkan, silakan singkirkan tangan lo yang kotor itu!" Sepasang mata bak lelehan madu milik cewek itu menyipit ke sisi kiri bahunya.
Di mana Kavi sontak mengangkat tangannya yang nyaris jatuh mendarati kulit telanjang Pamela.
"Saya cuma pegang gelas anggur sebelum ini, anyway. Harusnya nggak sekotor itu," elak lelaki itu sambil mundur satu langkah.
Pamela memutar tumit heels-nya demi menghadap Kavi bersama segaris seringaiannya. "Walau lo cuci seribu kali toh, nggak akan menghapus jejaknya yang udah dengan bancinya gebukin istri sendiri."
"It was past." Mungkin karena bulu-bulu di wajahnya tak selebat beberapa tahun lalu. Kini, Pamela bisa menyaksikan secara nyata betapa ketegangan tumbuh di wajah Kavi.
"Lo pikir kenapa ada world war 2? Itu ... karena sejarah berulang."
"Wow." Seluruh kalut di wajah Kavi yang semula mampir hilang sepenuhnya. Senyumnya bahkan telah kembali muncul sesaat sebelum dia tiba-tiba menukas ringan, "Kata mereka, Pamela Harris tuh otaknya dungu. Nggak lebih besar dari biji kemiri. Tapi, apa ini? Saya rasa gosip di luar soal kamu salah semua, ya?"
Pamela sama sekali nggak suka ketika senyum di wajah Kavi justru kian membesar. Dia bak di atas angin hingga dengan beraninya menutur, "Lusa ada acara pesta ulang tahun di tempat Kanaya Melati. Do you have an invitation?"
Kanaya Melati adalah topik teratas yang paling Pamela nggak sukai di enam bulan ini. Atau, bahkan sedari empat tahun lalu?
"Buat apa gue hadir di ulang tahunnya?" Rahang Pamela terasa kaku begitu mengucapkannya. Emosinya selalu menanjak tinggi bila bicara tentang Kanaya Melati.
Sialnya, Ilham Kavi adalah seorang Bajingan lihai yang boleh jadi telah khatam berkali-kali untuk memanfaatkan situasi sejenis ini. Maka, kendati diloloskan dengan nada santai, di kuping Pamela kalimatnya tercium bagai provokasi, "Untuk mengacaukan rencana lamarannya sama mantan suami kamu, mungkin? Kamu dan Jevas Prambada ... are you guys really over?"
Laki-laki itu lalu mengeluarkan senyum. Senyum mengejek yang menjengkelkan apalagi saat sambil memunggungi Pamela dan mulai berjalan pergi, dia menawari, "I got the invitation. Tentu, saya bisa datang bareng partner. Rumah Donald Harris security yang jaga pintu depannya masih lima? Saya rasa kalau lima, saya bisa hadapi kalau-kalau kamu ingin pergi dengan sembunyi-sembunyi. Just, call me later, Pamela."
Selepas meninggalkan beberapa lembar uang juga satu kartu nama dari dompetnya ke atas meja, laki-laki tanpa manner itu pun menghilang dari tempat itu lebih dulu. Menyisakan Pamela yang menahan dongkol sambil buru-buru menelepon seseorang untuk mengumpat, "Bilang sama Donald Harris jangan pernah lagi berharap gue ketemu sama Chatra Dinata! Mentang-mentang gue janda beraninya dia ngirim kriminal buat gantiin dia ketemu sama gue malam ini! Sialaaan!"
***
🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro