Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

cut corners.

"Apa sih kurangnya Jevas Prambada?"

Pertanyaan itu adalah sebuah perdebatan yang sempat jadi asumsi massa meski hanya sekian menit saja. Sebab, berikutnya berkat Donald Harris berserta tumpukan uangnya, nama Jevas langsung longsor dari singgah sana pemberitaan terpanas di media seolah tak pernah ada jejaknya untuk digantikan oleh betapa menterengnya nama Pamela Harris.

"Pamela itu Selebritis!"

"Kurang berdedikasi apa coba selama ini Pamela Harris jadi istri? Dia bahkan rela nggak banyak ambil job syuting demi bisa jadi istri yang berbakti!"

"Denger-denger Pamela Harris juga mau program hamil!"

"Pamela Harris yang cantiknya kayak Mila Kunis aja dikhianati!"

"Pamela Harris yang duitnya nggak berseri aja diselingkuhi!"

"Apa coba kurangnya Pamela Harris? Suaminya bener-bener bukan cuman mokondo dan nggak ada bersyukurnya sih, tapi juga setan alas!"

Kasak-kasuk yang berhasil digiring berkat mendadak terbitnya berpuluh-puluh artikel mengenai tuduhan perselingkuhan Jevas berbekalkan foto-foto yang Pamela yakin hasil editan tangan seorang profesional, yang sontak ditambah dengan terkerahkannya komplotan buzzer yang menggonggong ke sana-sini menyebarkan segala bentuk aib pria itu betul-betul membuat rumah tangga Pamela yang sudah di ujung tanduk akhirnya sukses luluh lantak.

Kalau ingat seluruh pemberitaan yang bikin Jevas dan Royal Event Organizer menderita selama proses sidang hingga akhirnya mereka dinyatakan sah bercerai, jujur Pamela seharusnya tidak lagi punya muka sih untuk menemui pria itu. Ewh, apalagi sampai berani kepedean mengharapkan buat balikan!

Oh, come on!

Pamela bahkan masih ingat satu bulan sebelum sidang perceraian mereka, nyaris di tengah malam Jevas menggeret kopernya keluar dari rumah yang andai dia tak pernah menikahi Pamela, laki-laki itu dan istrinya mungkin akan bahagia merajut banyak memori indah di tempat yang Pamela tahu bahwa Jevas sudah menguras banyak sekali tabungannya hanya demi memberi Pamela tempat tinggal yang dinilai cukup layak bagi manusia-manusia dari kalangannya—kendati, jujur di sepanjang hidupnya Pamela sendiri tidak pernah mempermasalahkan rumah seperti apa yang harus dia tempati, asal di rumah itu dia tidak lagi kesepian yang mentok-mentok cuma ditemani guci-guci, rumah di pinggiran kota yang tidak ada halamannya pun dia terima kok. Sayangnya, Jevas terlalu baik hati serta bertanggung jawab sebagai laki-laki, maka untuk Pamela yang bahkan dia nikahi tanpa cinta pria itu rela mempersembahkan segalanya yang tidak sekadar dia bisa, tapi juga yang terbaik.

Namun, ya benar. Andai istri Jevas bukanlah Pamela, Jevas mungkin tidak perlu punya hidup yang drama. Namanya akan tetap bersih. Dia tak akan dicap sebagai laki-laki tukang main serong hanya demi menutupi kelakuaan bejat Pamela yang kebetulan keluarganya lebih kaya raya sehingga tiap image-nya mesti dijaga.

Jevas ….

Mungkin dia memang sebaiknya berpasangan bersama Kanaya Melati nggak sih?

Oh, shit! Siapa pun asal jangan Kanaya, batin Pamela sinis memberontak.

Ya, andai wanita itu bukan Kanaya, Pamela boleh jadi akan coba merelakannya meski dia tak yakin bahwa dia bisa.

Namun, sungguh, rasanya mending mati daripada harus melihat mantan suaminya sungguhan menikah dengan mantan temannya itu!

“Jadi bener dong gosip yang waktu itu?”

Pamela saat ini masih berada di dalam bilik toilet. Tadi, selepas minum a flute of French 75—ah, ditambah dua gelas red wine sih sebenarnya saat dia duduk-duduk di bar—perutnya terasa melilit. Dia takut kebablasan kentut di venue yang di tiap sudutnya ada orangnya itu! Okay, suaranya mungkin akan mudah disamarkan oleh dentum-dentum musik hasil mini orkestra beken ibukota yang manggung di pesta Kanaya, tapi baunya? Kendati, sudah nongkrong hampir lima menit di toilet pun nyatanya tak ada hal yang terjadi sih meski sakit di perutnya memang terasa agak jauh mendingan.

“Ya iyalah. Ini aja mereka udah mau tunangan!” Suara milik cewek berbeda menanggapi. Dari nadanya yang menggebu dia kayak punya kesumat dendam pribadi terhadap orang yang sedang dia bicarakan.

“Ih, tapi nggak nyangka deh kalau pelakornya selama ini ternyata Melati. Lagian, bisa-bisanya ya pasangan selingkuh tunangannya pake acara meriah-meriah kayak begini?” Temannya pun tertular kesal.

“Ya bisalah namanya juga orang kelewat tajir! Otaknya terlalu sibuk mikirin cara nambah duit sampai attitude-nya jungkir!”

Tuh, kan. Mungkin dia salah satu barisan sakit hati korban branding terlalu sempurnanya Kanaya Melati.

“Tapi, bekas lakinya Pamela peletnya ajib banget deh bisa dapat dua cucu konglo loh.” Ini suara perempuan yang berbeda lagi.

Privilege of being good looking lah anjir! Badannya tinggi, mana keker. Gue percaya sih performanya di ranjang juga oke! Pantesan Pamela sama si Melati rebutan!”

Gema kikikan yang jelas bertendensi meledek pun sesaat menjeda, sebelum suara milik orang yang tadi pertama bicara kembali terdengar mengudara demi melontar tanya berbau mengompori, "Tapi, ini baru enam bulan nggak sih dari dia cerai sama Pamela?”

"Halah! Enam bulan mah udah lama! Om gue belum empat puluh hari ditinggal mati bininya aja langsung kawin lagi!"

Lagi, tawa-tawa sarat cemoohan itu membahana. Membuat Pamela tanpa sadar sudah mengepalkan dua telapak tangannya.

“Eh, tapi lo pada lihat perutnya Melati nggak sih? Kok nggak selangsing biasanya ya? Jangan-jangan udah isi makanya buru-buru gini?!”

Pamela harusnya keluar di detik itu dari bilik toilet. Jika perlu dia damprat satu-satu orang yang bergosip itu!

Oh, bukan. Bukannya karena dia tak setuju Kanaya Melati dihina-hina begitu, tetapi lebih kepada fakta yang dia tahu betul bahwa Jevas Prambada enggaklah pernah berperilaku serendah itu! Pas nikah sama Pamela aja pria itu baru berani ngajakin nge-sex waktu mereka udah masuk anniv pertama.

Please, kendati Maminya tingkahnya kayak wewe gombel kalau sedang di depan Pamela, tapi Jevas tuh sayang banget padanya. Dan, dia mustahil mau bikin malu dua kali Maminya dalam kurun enam bulan doang dengan mengahamili calon tunangannya!

Pun, realitasnya Pamela tetaplah seorang pengecut. Dia lagi-lagi membiarkan gosip yang tak benar tentang Jevas tersiar dengan simpang-siur, sedangkan dia malah cuma bertahan dalam persembunyian hingga segerombol rombongan perempuan yang mungkin sekuter itu menyingkir pergi.

Meninggalkannya untuk lantas berdiri sendirian di depan cermin. Mengamati lamat-lamat pantualan wajahnya yang sedang memaksakan buat merangkai satu senyum, yang jujur tak pernah secerah saat Mami-Papinya masih ada.

Tak mengerti bagaimana caranya dia dapat mendefiniskan keadaannya, Pamela sontak menggumam gamang, “Gimana kalau ini memang maunya Jevas? Gimana kalau dia memang pengen hidup bareng Kanaya? Gimana kalau dia beneran udah mengubur segala kisah tentang kami? Masih pantas kah gue ikut campur?”

Entah mengapa Pamela menjadi bimbang. Tak lagi sebersemangat di awal untuk bikin kacau pesta akbarnya Kanaya ini.

Lagi pula jika dia benar, Jevas nggak mungkin bikin malu Patricia dua kali kan? Membatalkan pertunangannya nggak akan cuma bikin malu, tapi mungkin juga bakal bikin Patricia menangis meraung-raung atau malah lebih buruk dari itu. Sesuatu yang rasanya enggak akan mungkin bakal Jevas lakukan hanya demi menyelamatkan hati Pamela yang bahkan sudah mencuranginya.

Menghela napasnya panjang, langkah Pamela yang pelan-pelan membelakangi cermin terayun berat. Dia juga menutup pintu toilet dengan super-lesu untuk kemudian memutar tumitnya ke lain arah dari arah dia datang tadi. Well, mungkin dia mau pulang duluan meninggalkan Kavi. Bodo amat deh mau laki-laki itu marah-marah, serta mengerahkan algojo-algojonya untuk bikin perhitungan padanya gegara rencananya gagal, ah, Pamela mah udah nggak mau peduli!

Pamela yang sempat percaya dunia ada dalam genggamannya sedang menghubungi Medina. Dia ingin memintanya segera datang demi menjemput, tapi belum juga tersambung bahunya yang berjalan dengan sempoyongan justru udah keburu tersenggol oleh bahu seseorang yang begitu keras bagai batu. Ponselnya saja sampai terlempar. Mulutnya terang langsung terbuka, awalnya tentu untuk meracau, tapi realitasnya sesaat berikutnya dia justru cuma berhasil berdesis terkejut, “Sa-yang?”

Mata Pamela yang sedikit berkabut entah karena mabuk atau sedih mengerjap-ngerjap. Takut kalau dia salah lihat. Karena, ngapain coba Jevas ada di depan lorong toilet wanita?

Jangan bilang kalau dia nungguin Kanaya—dulu pas mereka masih sama-sama kalau lagi jalan bareng Jevas memang suka melakukannya, entah untuk alasan apa mungkin dia takut Pamela yang sumbunya pendek ketemu hatters-nya yang sedihnya terus menjamur pasca ia menikah lalu ngajakin tarung one on one, atau oh entahlah—tapi, rasanya di dalam nggak ada Kanaya kok.

Terus, kenapa dia ....

... well, nggak mungkin kan kalau dia sengaja membuntuti dan nungguin Pamela yang cuman mantan istrinya? Dia bahkan—

Pamela nggak dibiarkan terlalu banyak mikir, karena tahu-tahu tubuhnya yang masih sedikit doyong macam pohon waru di pinggiran kali digeret paksa oleh Jevas yang buru-buru membuka kembali pintu, yang beberapa detik lalu padahal baru saja ditutup Pamela. Tak berhenti di sana Jevas juga masih lanjut menariknya untuk memasuki salah satu bilik terdekat dan menguncinya rapat.

Hadu hadu hadu, ini ... Jevas mau ngapain sih?

Pamela cuma minum tiga gelas kecil loh ya. Dia nggak mungkinlah semudah itu mabuk! Dia bahkan sudah terdidik minum-minum sedari remaja. Toleransinya pada alkohol bahkan lebih baik dari si Agas yang tiap minum langsung hilang akal—kadang malah sambil kayang di sembarang tempat plus ena-ena, tentu saja. Oleh sebab itu, Pamela beneran yakin kok kalau pria berkemeja biru muda yang dibalut dengan setelan jas hitam sebagai outer, yang warnanya amat senada dengan gaun milik Kanaya beserta seluruh tamu undangan yang ada kecuali Pamela, ini ... betulan Jevas Prambada. Well, mantan suaminya yang sialnya tampak lebih ganteng dari enam bulan lalu ketika mereka berjalan bersisian meninggalkan pengadilan, atau bahkan seminggu lalu saat terakhir mereka bertemu.

Wanginya tubuh Jevas yang weekend kemarin dia himpit di lift apartement di mana laki-laki itu tinggal selepas bercerai bahkan masih sama. Wangi yang bikin Pamela pengen memeluknya erat. Wangi yang tentu tak ingin dia bagi dengan Kanaya Melati atau wanita manapun di dunia ini. Wangi yang ....

Please! Jarak wajah mereka dekat banget! Hampir mirip lah sama pas terakhir mereka berinteraksi yang berujung dengan sekejap cipokan—well, Pamela sih yang maksa, andai Jevas tega bisa saja dia dilaporkan untuk kasus pelecehan. Di mana tinggi Pamela yang ditopang heels delapan senti tidaklah terlalu jomplang bedanya dari tinggi Jevas.

Pamela bahkan cuma perlu menggulir naik sedikit bola matanya untuk langsung bersitatap dengan netra Jevas yang sewarna jelaga. Jelaga yang bikin Pamela tergila-gila untuk berenang-renang bebas di dalamnya.

Pamela bahkan nggak lagi punya pikiran lain di luar mereka yang mungkin saja bakal sukses berciuman—well, lagi—saat suara milik seorang wanita yang paling menyebalkan di seantero bumi mulai terdengar mendekat.

"Enggak datang gimana sih maksud kamu?"

Itu ... nggak salah lagi jelas omelan khasnya Patricia! Mantan Mami mertuannya yang lebih kayak musuhnya!

Wait, jangan bilang alasan Jevas buru-buru membawanya sembunyi tuh gara-gara dia lebih dulu menyadari kalau Maminya mau ke toilet dan bukannya dia sengaja sedang nyari-nyari Pamela?

Hish, sialan!

"Jangan bikin aku sakit kepala deh ya. Ini Jevas loh yang mau tunangan!" Nah, kan dia sewot lagi. Kalau aja pemerintah membuka seleksi duta manusia sensitif dan emosian, Pamela mungkin akan inisiatif mendaftarkannya!

"Nggak usah sok mengada-adalah!" Suara benatakkannya bahkan bikin Pamela pengen ngelus dada. "Ini Jevas yang lagi kita omongin! Jevas yang jelas-jelas anak laki-laki pertama kamu loh, Tama, kalau kamu ngedadak lupa!" Well, agaknya wanita itu lagi menelpon Papa mertuanya. Ugh, maksudanya mantan Papa mertuanya.

"Gimana? Heh, orang tuanya masih hidup dan lengkap ya masa kamu enggak hadir? Terus, mau ngomong apa aku sama Aya dan Pak Anhar Wijaya?!"

Pamela sengaja menahan diri buat nggak langsung mengecek ekspresi Jevas. Namun, seperti yang udah-udah muka Jevas pasti bakal langsung kaku tiap kali Maminya menyinggung mengenai statusnya sebagai anak laki-laki pertama terlebih bila di depan keluarga Zianne Pakuhardjaja—istri pertama Papanya.

"Zianne enggak ngasih izin? Emangnya dia masih peduli sama kamu? Halah! Nggak usah banyak alasan! Dari bandara kamu ke sini mau landing jam berapa pun kamu tetap ke sini! Kami tunggu! No more excuses!"

Suara bantingan pintu tak lama menyusul terdengar bersamaan dengan Pamela yang kembali bisa menghela lancar napasnya, yang tanpa sadar ternyata sempat ditahannya.

Bibir Pamela masih terbuka untuk rakus menghirup udara saat tahu-tahu tangan Jevas yang sejak tadi padahal cuma bertahan diam guna mengunci lengan perempuan itu justru bergerak cepat untuk merambat ke tengkuknya hingga kilat saja dia mendorong mendekat kepala belakangnya sehingga tahu-tahu bibir Pamela terhirup sepenuhnya oleh bibir Jevas yang langsung memagutnya keras.

Oh, God! Apaan nih?!

Mata Pamela masih melotot saking terkejutnya sampai-sampai dia dapat dengan jelas menangkap pemandangan super-sexy sosok Jevas yang kini sudah memejamkan netranya rapat-rapat dengan sesekali meloloskan desahan rendah tiap kali bibirnya sejenak melepaskan bibir Pamela.

Ya, Tuhan! Ini serius kan? Mereka akhirnya ciuman!

Catat itu woy! CI-UM-AN saudara-saudara tanpa Pamela mesti lebih dulu usaha keras buat menjatuhkan harga diri!

Apakah ini pertanda bagus? Semangat Pamela yang sempat hilang pun kembali menggelora.

Mungkin Jevas benar akan berubah pikiran kan?

Okay, membatalkan pertunangan sama Kanaya berserta keluarganya yang bisa jadi sama kejamnya dengan Donald Harris tentu akan bikin dia merugi. Namun, buktinya bukannya melepas bibir Pamela dan bilang nggak sengaja, Jevas justru menelusupkan lidahnya yang hangat, lunak, basah, sekaligus telah amat dia rindukan ke dalam celah mulut Pamela.

Yuhuuuu! Jangan bilang mereka bakal bercinta di toilet? Oh em gi, seriously di toilet umum banget nih?

Ugh! Rasanya mereka belum pernah melakukan itu sebelumnya. Teman sesama modelnya di agensi Paris sering oversharing mengatakan kalau itu tuh bikin makin deg-degan dan memacu adrenalin. Tapi tapi tapi kan gaun Pamela yang ber-cutting mermaid tail kayaknya bakalan sulit disingkap ke atas deh. Mendadak dia jadi menyesal kenapa tadi tidak memilih midi dress saja!

Ah, tapi apa pun itu yang paling penting adalah ....

Kanaya Melati ... malam ini selamat kamu gigit jari!

Ya kali pria yang sibuk make out dengannya masih mau tunangan sama cewek lain? Emangnya Pamela cewek apaan? Ani-ani? Hih! Jevas enggak mungkin lah bisa bertindak sejahat itu!

Taruhan deh, Pamela yakin mereka bakalan baikan atau bahkan balikan sehabis ini!

***

Hai hai hai apa kabarnya? Balik lagi sama Mbak Pem yang anu nih 😆

Senang sekali bisa kembali nulis cerita ini. Semoga kamu bacanya bisa senang juga ya ❤️‍🩹

Mbak Pem yang yaqqin banget bisa rujuk. Kamu yakin juga nggak? HEHE

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro