6.4 Belum Kelar
Gue sengaja menarik tangan Haechan keluar rumah saat Mas Yuta baru keluar dari kamarnya. Mereka berdua kayak air dan api. Enggak bisa nyatu. Kalau minyak dan air, kan, masih bisa ditengahi sama sabun, ya. Mereka berdua ini enggak. Maka dari itu, demi menyelamatkan rumah dan kuping gue dari kebisingan perang dunia yang kesekian, mendingan gue ajak aja si Haechan jalan-jalan.
"Ummi, Haelmi ngajak keluar. Bentar doang, kok. Enggak sampai jam sembilan." Selanjutnya gue digetok di kepala oleh lelaki itu setelah berteriak demikian dari pintu utama.
"Makanin gue terus." Ngomel aja kerjaannya anak Cak John ini.
"Udahlah. Gue sumpek di rumah terus. Enggak ada yang ngajak gue jalan-jalan. Semuanya mager." Gue mendorong Haechan untuk keluar gerbang sambil mengelus kepala gue yang masih terasa nut-nutan.
Kami berjalan menyusuri trotoar jalanan komplek. Enggak tahu juga mau ke mana.
"Kita kayak gembel, tahu enggak?" Haechan menggerutu tapi untungnya enggak asal tinggalin gue begitu aja.
Gue tersenyum manis. "Ke mana aja, kek. Yang penting cari angin."
Dia cuma mengangguk doang dan tetap berjalan di samping gue.
"Jajan di pujasera aja, gimana?" ajak gue sok asyik. Ya, daripada gabut dan enggak ngapa-ngapain, mending isi perut.
"Lo enggak kenyang makan sushi yang dibawa Mas Taeyong tadi?" Dia menoleh dengan tatapan tak percaya. "Lo hampir habisin setengah kotak, loh."
Gue memajukan bibir bawah. "Emang lo kenyang?"
Dia terkekeh lucu. "Enggak."
Gue mendengkus sambil mendorong dia ke samping. Dia malah tertawa meskipun hampir aja jatuh dari trotoar. "Sorry," kata gue merasa bersalah.
Haechan menggeleng. "Satu sama kali, ya. Gue abis ngoyek kepala lo."
Gue mengangguk aja. "Lo bawa duit apa enggak?"
"Jangan bilang lo enggak bawa." Dia mengacungkan telunjuknya.
"Ish, gue bukan tipe cewek yang suka dibayarin, ya." Gue nyolot galak. "Tapi kalau lo traktir gue, ya, mau banget."
Haechan menghela napas malas. "Sok doang mau modal. Ujung-ujungnya mau untung."
"Iya. Iya. Patungan beli. Gue bawa duit, kok. Meskipun cuma lima puluh."
"Rupiah?"
"Ribu, anjir."
Serta merta Haechan mengacungkan telunjuknya ke gue. "Luh. Luh. Luh. Gue bilangin ke Tante Irene, nih, kalau lo ngomong kasar kek gini."
"Halah, lo juga biasanya."
"Tapi, kan, emak gue biasa aja. Kalau lo, kan, bisa berdarah tuh mulut kalau ketahuan Tante."
"Idih, pengadu."
"Masama." Haechan malah menjulurkan lidahnya.
Gue cuma bisa senyumin aja. Kami akhirnya berjalan ke tempat tujuan.
"Buset, rame banget." Haechan menggeleng dan gue cuma melirik dia doang. Saat gue lihat dengan sekilas, pujasera di hadapan kami memang benar-benar penuh. "Lo yakin?"
Gue mengedikkan bahu. "Mau ke mana lagi emang? Ada tempat yang lebih gampang buat cari makan selain di sini?"
"Ada."
"Di mana?"
"Depan komplek. Ada banyak restoran noh."
Gue menaikkan satu ujung bibir gue. "Lima puluh ribu doang, Haechan. Lo mau bayar pakai cuci piring? Mending di sini bisa beli banyak."
Haechan terkekeh. "Iya. Iya. Bawel banget. Udah kayak kakaknya Jeno."
Gue terdiam. Kakaknya Jeno ... Kak Mark. Kalau enggak disebut oleh Haechan mungkin gue enggak akan kepikiran sama lelaki itu. Enggak kepikiran juga sama kejadian di taman belakang sekolah. Enggak keinget juga kalau hampir dua minggu gue menghidar. Enggak jadi beban kepala dan hati juga saat inget kalau pujasera ini deket sama rumah dia.
"Chan, balik aja, yuk." Gue menarik tangan Haechan yang sudah celingukan.
Serta merta Haechan menoleh ke gue. "Lo kenapa? Katanya tadi mau ke pujasera. Giliran di sini malah ngajak pergi. Laper ini." Dia mendengkus. Oke, bahaya kalau gue terusin.
"Enggak papa. Rame banget soalnya." Alasan lain selain gue takut aja kalau ketemu sama Kak Mark secara enggak sengaja di sini.
"Rame juga kita bisa nyusup. Kayak enggak pernah ke tempat rame aja lo." Haechan melipat kedua tangannya di atas dada. Dia melihat-lihat ke arah pintu masuk dan gerumbulan orang-orang di dalam pujasera.
Gue cuma bisa melangkah pasrah saat dia menarik tangan gue tanpa aba-aba. Untung gue enggak oleng dan ndelosor. "Mi, pelan!"
"Enggak bisa. Keburu tukang cilornya ada yang beli lagi." Dia menyela-nyela di antara banyak orang dan gue yang masih ditarik hanya bisa mengikuti langkah dia sambil kegencet sana sini.
"Cilor dua puluh ribu." Dengan senyum bangga karena sudah sampai tujuan dan berdiri di depan penjual cilor, Haechan langsung mengeluarkan uang sejumlah yang dia sebutkan.
"Maaf, dek. Barusan aja habis. Itu diborong sama dua orang itu."
Ucapan penjual cilor itu membuat gue melirik ke arah Haechan sambil bilang, "Kan."
"Yang mana, Mas?" tanya Haechan yang sepertinya masih antusias kepingin cilor.
"Yang pakai baju kuning sama biru itu." Penjual cilor tersebut menunjuk ke dua pemuda yang berdiri di stan takoyaki, berjarak tiga stan dari penjuan cilor.
"Jeno enggak, sih?" Haechan menoleh ke arah gue.
Gue mengangguk sekaligus menelan ludah dengan susah payah. Yang ada di sebelah Jeno, pasti kakaknya. Orang yang gue hindari selama dua minggu ini.
Gue melihat Haechan tersenyum lebar. Setelah pamitan sama Penjual cilor, dia langsung menarik tangan gue. Gue enggak mau jalan. Dia menoleh. "Ayo. Mumpung bisa malakin anak orang kaya."
Gue menggeleng. "Gue mau beli yang lain aja."
"Lo, kan, suka cilor."
"Tapi itu udah dibeli sama Jeno. Gue beli yang lain aja enggak papa."
Haechan mencebik. Dari wajahnya, dia kelihatan enggak suka. "Emang lo mau beli apa?"
"Telur gulung enggak papa. Kentang ulir juga gue mau." Gue menoleh ke belakang, ke arah yang berlawanan dengan Jeno dan kakaknya.
"Lo mau itu? Beneran?"
Gue mengangguk dengan antusias. "Iya." Dari pada gue harus ketemu sama Kak Mark.
"Tapi gue yang enggak mau."
Gue mendelik.
"Kalau ada yang bisa dipalak, ngapain, sih, cari yang berbayar. Udahlah, lagian Jeno enggak pelit orangnya."
Bukan masalah Jeno pelit atau enggak. Masalahnya ada di gue yang enggak mau ketemu sama orang yang di sampingnya. Gue menggeleng sambil memasang wajah melas.
"Lo kenapa, sih? Kebelet buang air? Muka lo gitu amat."
Gue menggeplak tangan Haechan yang masih menggenggam tangan gue. Orang gue lagi sulky, malah dibilang kek wajah mejen.
"Mau roti ikan yang kayak di Korea itu." Gue memelas. Please, lah. Kali ini ayo berhasil.
"Fay! Lo kesurupan setan banci yang mana?" Dia menempelkan tangannya di dahi gue.
Anjir, mana keras lagi.
Gue melepaskan tangan Haechan dan segera pergi. Malu banget, astaga. Pujasera seramai ini dan suara Hechan menggema. Gila. Gue jadi dilirik sama orang-orang.
Tapi, bodohnya, gue malah berjalan ke arah yang salah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro