Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6.3 Gara-Gara Es Doang

Gue sedang berjalan bersama Somi di koridor sekolah saat satu suara yang sangat gue kenal memanggil nama gue dengan begitu semangatnya dari samping. Di sampimg jalan koridor ini ada lapangan yang biasa digunakan untuk upacara atau olah raga. Sekarang sedang istirahat. Enggak mungkin yang panggil gue sedang melakukan upacara, kan?

Gue menoleh. Di sana, Jeno dengan semangatnya melambaikan tangan. Dahi gue mengerut. Hingga telunjuk lelaki itu menuju ke arah lelaki yang dia peluk pundaknya.

Bangsat, ngapain dia manggil gue dan nunjuk kakaknya sendiri. Gue pun tersenyum tipis dan sedikit menganggukkan kepala, sebagai sapaan sopan buat kakaknya Jeno. Iya, Kak Mark. Gue juga enggak sesegan itu untuk menyebut namanya, kok.

Tiba-tiba gue merasakan cubitan di pipi gue. "Jalan lihat jalan. Jangan lihat cogan!"

Gue menoleh. Di hadapan gue ada Haechan yang membawa es di plastik. Gue manyun, memajukan bibir bawah gue. "Bagi esnya dong."

"Males." Haechan malah menjulurkan lidahnya dan masih mencubit pipi gue.

Gue melepaskan tangannya dari wajah gue dan berusaha merebut es tersebut. Enggak segampang itu ternyata. Soalnya dia juga mengulurkan tangan ke atas dan berusaha menjauhkan esnya dari gue.

Sejenak kemudian, kami terdiam. Es yang ada di genggaman Haechan sudah pindah tangan. Bukan ke tangan gue, tapi ke tangan Jeno. Entah kenapa tuh anak udah ada di samping kami.

"Jen, siniin." Gue memohon.

Jeno meminum es Haechan dengan sangat bersemangat. "Ahhh, enak banget." Dia ini malah ... "Heh, gue udah bermurah hati buat panggil nama lo, ya, dari lapangan sana. Malah ditinggal rebutan es sama kadal ini." Jeno menyenggol tubuh Haechan.

Si Haechan sedikit terpantul ke samping. "Mana gue tahu kalau lo manggil dia. Balikin es gue." Dia meraih esnya lagi.

"Gue, dong." Somi memelas dan meminta.

Mata gue membulat. Lah, anjir, dengan gampangnya si Haechan memberikan itu es ke Somi. "Gue juga mau," ucap gue.

"Bilang Haelmi ganteng gitu."

"Huweeekk!"

"Ya, udah kalau enggak mau."

Gue menghentak-hentakkan kaki. "Siniin, kok, Mi! Gue juga mau."

"Bilang Haelmi ganteng. Cepetan, nanti gue kasih." Haechan dengan senyum tengilnya mulai membuat gue kesal.

Gue menatap Haechan yang meminum esnya lagi sambil meledek gue. Lengan gue disenggol oleh Somi. "Tinggal bilang doang apa susahnya. Yang penting bukan dari hati lo, kan, ngakuin."

Sebenarnya bukan itu masalahnya. Gue tahu sebenarnya Haechan cuma mau panasin gue aja dengan enggak mau bagi es. Maka dari itu dia sengaja goda gue. Ih, dasar.

Gue pun diam dan tersenyum tipis. "Enggak jadi." Gue berlalu begitu saja tanpa menggubris panggilan dari ketiga temen gue yang ada di belakang sana. Sumpah gue bete. Bete banget malah karena kayak gue yang enggak diajak sendiri gitu.

Ah, tau, ah. Gue lagi sensitif, kayaknya.

Gue pun melangkahkan kaki menuju kantin dan membeli es. Sekalian aja buat ngadem soalnya udara sekitar juga sedang panas banget. Saat gue mau menyerahkan uang bayaran, ada tangan yang mendahului.

"Dua, ya, Mas. Sama aku satu. Samain aja," ucap orang yang punya tangan itu.

Gue menoleh ke samping. Ternyata itu adalah Kak Mark. Gue langsung freeze begitu aja.

"Uangnya disimpen balik, Fay. Ditabung aja." Kak Mark tersenyum.

Gue yang sungkan pun akhirnya menurunkan tangan gue dan meletakkan uang gue tadi di saku. "Makasih, Kak." Enggak mungkin, kan, ya, gue nolak rejeki.

"Kok sendirian ke kantinnya? Tadi kayaknya sama temen kamu." Kak Mark membuka pembicaraan.

Gue hanya terkekeh agak kikuk. Gue juga enggak mungkin bilang kalau lagi ngambek sama si Haechan cuma gegara es. "Enggak papa."

Kak Mark mengangguk. Entah untuk apa. Tangannya menerima es dari penjual dan diberikan ke gue terlebih dahulu. Gue langsung meminumnya setelah berterima kasih.

"Habis ini kamu ke mana?" tanya Kak Mark yang berjalan di sebelah gue untuk keluar dari kantin.

Gue mengedikkan bahu. "Enggak tahu. Palingan ke kelas."

"Ke halaman belakang sekolah, yuk."

Gue menoleh ke arah Kak Mark. "Ngapain?" Lalu gue menyedot minuman.

"Mencari keheningan. Kayaknya kamu kelihatan bete."

Wajah Kak Mark sedikit melongok ke samping. Gue menarik kepala agar wajah kita enggak berdekatan. Bakalan kelihatan aneh aja di mata orang. Masalahnya, gue sama Kak Mark enggak memiliki hubungan sedekat itu juga di sekolah meskipun dia adalah kakaknya Jeno.

"Diem aja?"

Kak Mark tersenyum. "Iya. Kayak orang bertapa gitu. Biar pikirannya jernih."

Gue terkekeh dan mengangguk. "Oke kalau gitu. Diam aja."

Kami pun melangkah ke halaman belakang sekolah yang terkenal asri itu. Banyak gazebo dan bangku di sana. Bukan seperti halaman belakang sekolah pada umumnya yang tak terawat dan menyeramkan. Maka dari itu banyak juga murid yang suka nongkrong. Cuma mereka lebih suka ke kantin, sih, kalau sedang istirahat.

Kak Mark mempersilakan gue duduk terlebih dahulu di salah satu bangku. 

"Seharusnya kita beli jajan dulu ke sini tadi." Kak Mark bersandar ke punggung bangku panjang itu.

Gue mengangguk. "Beli es dua seharusnya."

Kak Mark menoleh. "Kamu masih mau es?"

Gue lihat, dia hendak mengulurkan tangannya. "Enggak. Cuma jaga-jaga aja, Kak. Kali aja es aku habis ini udah surut."

Entah untuk apa, Kak Mark tersenyum. "Kamu bisa minum punya aku kalau mau."

Sebenarnya gue udah bisa nebak apa yang akan dilakukan dan dikatakan oleh cowok tipe Kak Mark ini. Tapi, kayak terasa percuma aja gitu gue tahu tapi tetep merasa ada yang aneh di diri gue. Dada gue kayak lagi ada di tempat mencekam, jedag jedug meriah. Ah, mungkin karena efek hawa sekitar yang tambah panas kali, ya.

Gue menggeleng. "Enggak usah, Kak. Punyaku masih ada, kok." Iya, masih ada dan gue enggak mau kepikiran aneh-aneh kalau gue menerima tawaran kamu, Kak. 

"Aku enggak terlalu haus."

"Tetep aja itu namanya haus. Minum aja. Dari pada nanti diminta orang." Gue menatap lurus ke depan. Kalau gue noleh sekarang, kemungkinan besar mata gue bakalan saling tatap sama Kak Mark. Itu enggak boleh terjadi. Iya, beneran enggak boleh karena bakalan merusak suasana tenang yang ada di antara kami saat ini. Gue enggak mau aja kalau tiba-tiba minuman gue muncrat dari mulut ke wajah dia. Bisa dihujat penggemarnya nanti.

"Enggak akan ada yang minta minuman aku, Fayran."

Telinga gue kayaknya ada yang niup dari samping. Sumpah itu tadi panggilan terlembut yang pernah gue denger. Gue sampai merinding sendiri dengernya. "Ada, Kak."

"Siapa?" Kayaknya dia tahu kalau gue cuma alasan doang.

"Jeno. Siapa lagi yang berani?"

Kak Mark terkekeh. "Bener juga. Tapi dia enggak lagi di sini."

"Aku panggilin apa gimana, nih?"

"Ih, enggak usah. Dia orangnya perusak suasana."

Gue tersenyum. "Bener juga. Nanti malah ngomel enggak karuan."

"Jeno emang suka ngomel di tongkrongan?"

Gue melirik ke Kak Mark. "Ngomel enggak jelas."

Dia malah tertawa lepas. "Ternyata sama aja kayak di rumah. Ngomel enggak jelas sampai si nyonya bingung sendiri."

"Emang Kakak jelas gitu orangnya?" Setengah mencibir memang. Tapi, gue berharap kalau dia memaklumi guyonan gue yang emang agak keterlaluan ini.

Kak Mark menggeleng. "Kata Jeno aku enggak jelas juga. Apa emang aku sama dia saudara yang enggak jelas, ya?"

"Mungkin. Tapi, buktinya, kalian juga saudara."

Kami tertawa. "Apaan, sih. Enggak jelas banget." Kak Mark berkomentar.

Gue menghabiskan minuman yang ada di tangan. Bungkusnya masih gue genggam, enggak boleh buang sampah sembarangan kata Mas Yuta. "Katanya tadi mau berdiam. Malah ketawa enggak jelas." Gue menengadahkan kepala ke langit. Untung ada awan yang menutupi terik matahari di waktu istirahat ini, jadi gue enggak begitu kepanasan.

Tidak ada suara dari Kak Mark. Setelah beberapa saat,  gue yang kepo lelaki itu lagi ngapain, jadi menoleh. Agak kaget juga kenapa orang itu malah diam dan menatap ke gue. "Apa, Kak?" tanya gue dengan suara yang tercekat. Mana fals lagi.

Kak Mark tersenyum. Tatapan kami malah beradu. "Mungkin kamu pernah denger ini dari Jeno, tapi kayaknya aku enggak bisa kalau enggak ngucapinnya sendiri."

Gue terpaku. Perasaan gue sudah enggak enak banget. Dada gue berdebar begitu aja dengan kurang ajarnya. "Apa?"

"Aku ...."

"Suka es jeruk yang sama kayak aku, kan? Iya, aku juga pernah denger itu dari Jeno." Gue menyela. Sengaja banget. Sepertinya gue enggak siap dengan apa yang bakalan diomongin Kak Mark. Anggap aja gue terlalu gede rasa, tapi ... iya. Itu yang sedang gue rasain sekarang. Makanya, gue enggak mau kalau itu beneran terjadi.

Kak Mark tersenyum. Dia mengangguk kecil. "Iya, seperti yang kamu bilang. Aku juga suka es jeruk kayak kamu. Makanya, aku mau tawarin, gimana kalau sebagai penyuka es jeruk kita berkolaborasi untuk suka satu sama lain?"

Gue enggak bisa menahan senyuman. Anjir, bahasanya Kak Mark terlalu gemoy. Bener aja dia jadi andalan pas lomba puisi. 

Mungkin gue tertawa saat itu. Setelahnya, gue enggak berani menemui Kak Mark selama lebih dari seminggu. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro