5.5 Kalau Mau
"Lo kenapa ngomong aneh kayak gitu, dah? Sumpah lo kayak kesurupan setan." Gue juga enggak habis pikir dengan jalan pikir Haechan yang emang bukan seperti orang habis mikir. Udah kayak loss aja gitu lidah dia ngomong barang enggak guna kayak tadi.
"Aneh gimana? Gue ngomong sejujurnya, apa yang gue pikirin. Enggak boleh?" Haechan malah membalas dengan santai.
Jeno bahkan memandang horor temen gue satu itu. Ada rasa jijik-jijiknya juga. "Lo ... mau saingan sama kakak gue? Buat bocah jelek kayak gini?" Telunjuknya dengan kurang ajar mengarah ke gue. Gak usah dikasih perintah pun gue sudah menabok tangan Jeno. Enggak peduli dia kesakitan dan bakalan mengadu ke kakaknya atau mamanya sekalian. Palingan dia nanti ngerengek terus dan ungkit-ungkit. Bukan masalah, karena gue udah terbiasa dengan rengekannya Jeno.
"Bukannya orang yang kayak Haelmi ini enggak bakalan kena semacam kesurupan atau apa gitu, kan?" Somi malah tanya yang aneh-aneh. Mana gue tahu.
"Kenapa?" tanya gue yang penasaran juga. Dari mana gadis ini menyimpulkan hal itu.
"Ya ... soalnya kelakuan dia sebelas dua belas sama kayak setan. Masa setan masuk ke kembarannya."
Kami bertiga pun tertawa. Haechan sudah misuh-misuh di tempatnya dan ditahan oleh Jeno karena hendak menyerang Somi.
"Kenapa analogi lo pinter banget, sih?" Gue memuji temen gue yang cantik ini. Kalau dibandingkan dengan gue yang buluk ini, dia tentu saja lebih cakep. Orang Somi juga model, udah diakui oleh orang-orang juga.
Somi mengibaskan rambutnya sebelah kanan dan kiri secara bergantian. Waktunya untuk menyombongkan diri. Dasar.
"Gue bakalan bilang ke Kak Mark, sih, kalau lo mau deketin Fay." Jeno memberitahu, entah fungsinya untuk apa.
"Enggak usah dikasih tahu dia juga pasti udah tahu kalau gue sama Fay udah deket jaman masih jadi sprema dulu."
"Haelmi! Ucapannya, loh." Gue melotot.
"Enggak salah, Fay. Lo juga tahu kalau bapak kita dari dulu temenan." Haechan ini memang lebih baik dikucir aja mulutnya dari pada ngomong dan bikin kita malu. Mana pas nyebutin tadi bener-bener keras banget suaranya.
"Tapi bapak gue lebih tua dari bapak lo, ya." Gue sekedar mengingatkan aja, sih. Soalnya, kelomang bumi satu ini kadang lupa dan banyak kurang ajarnya sama orang yang lebih tua dari dia, kayak gue ini.
"Hallah, cuma berapa tahun, sih, jarak bapak lo sama bapak gue." Haelmi mendecak dia menyentilkan jempol ke kelingkingnya.
"Tujuh, anjir. Jangan salah. Lo sama gue juga masih tua gue."
"Tua sehari doang aja dibahas, loh." Jeno sudah malas. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal itu. Sumpek.
Somi menggeleng. "Enggak ada habisnya kalian kalau enggak bel. Lo berdua mending ke kelas, dah. Gue males lihat wajah kalian. Apalagi lo." Dia menunjuk ke Jeno.
"Gue sumpahin lo suka sama gue sampai terkincut-kincut." Jeno berdiri dan mengacungkan jari tengah ke arah Somi.
Haikal yang enggak ikut dalan skenario mereka pun juga ikutan mengacungkan jari tengahnya ke Somi. Anak ini memang butuh didisiplinkan untuk menjadi orang.
"Lo yang bakalan terkincut-kincut sama gue, ya." Somi menantang. "Lo yang bakalan kena pesona gue duluan."
Jeno menjulurkan lidah dan mendorong Haechan untuk segera maju. Somi membusungkan dada dan ingin menantang Jeno lebih lanjut. Akan tetapi bel masuk malah berkumandang dengan keras, membuat Jeno dan Haechan harus meninggalkan tempat dengan segera.
Haaah, memang teman-teman gue enggak ada yang bener kelakuannya.
***
Gue berjalan beriringan dengan Haechan saat pulang sekolah. Biasanya kami akan berjalan tiga orang. Berhubung Chenle enggak pulang tepat waktu karena ada eskul, jadi ... kami cuma berdua.
"Apa maksud lo bilang begitu tadi?" tanya gue langsung to the point. Harusnya paham, lah, ya.
"Ngomong apa?" Kan, sok enggak paham ni bocah satu.
"Ngomong pas di kelas gue tadi. Maksud lo apaan?"
"Omongan yang mana? Banyak banget gue ngomong hari ini. Lo tahu juga gue cerewet." Ini anak masih aja ngeles. Mana enggak menoleh ke gue sama sekali.
"Omongan yang lo bilang kasih jampi di minuman gue. Sama yang mau jadi saingan Kak Mark."
Dia malah tertawa kecil. Terdengar enggak ikhlas. "Oh, yang itu. Enggak papa. Cuma cari sensasi doang."
Gue pukul, lah, lengan dia. "Ogeb banget. Kalau Somi sama Jeno ngira beneran gimana?"
"Ya, alhamdulillah." Jawabannya santai sekali, Mas. "Biar mereka selalu inget kalau gue juga andil dalam kehidupan lo."
"Sejak kapan?!" Gue agak ngegas.
Haechan mengangkat bahunya dengan santai. "Enggak ada yang tahu. Tapi, lo enggak akan lepas begitu aja dari kehidupan gue."
"Dih, apaan." Gue menonjok lengan Haechan hingga badan kami agak terpental, berjauhan.
Lelaki itu hanya terkekeh. "Gue kayak apa aja, anjir, bilang sesuatu yang iyuh kayak gitu."
"Mekanya lo jangan aneh-aneh jadi orang. Kalau ada salah tangkap bisa berabe."
"Enggak akan. Tapi, paling enggak, gue juga harus membuat peraturan kalau Mark mau deket sama lo."
Gue mengerutkan dahi. "Peraturan apaan?"
"Dia harus lulus ujian dulu." Haechan menerawang dengan bangga.
"Bodoh amat. Emang beneran Kak Mark mau sama gue?"
"Kalau iya. Lo terima, enggak?"
"Ck. Lo apaan tanya yang enggak mutu."
"Sekedar pengin tahu aja. Kalau lo ada niatan terima, bakalan gue permudah ujiannya. Kalau enggak, bakalan gue persulit aja. Gampang bisa diatur."
Gue memonyongkan bibir. "Lo pikir kita bakalan adakan ujian surat ijin?"
Haechan mengedikkan bahu. "Surat ijin memiliki lo? Bisa jadi."
Gue memutar bola mata dengan jengah. Keadaan antara kami berdua seketika hening. "Demi apa, Haechaaan. Lo beneran mau adain ujian kayak gitu? Kak Mark aja belum tentu beneran suka sama gue."
"Kalau beneran suka?"
Gue terdiam. Pertanyaan yang enggak mutu, tapi sialnya berhasil bikin jantung gue berpacu dengan cepat. "Kan, gue belum tentu suka sama dia."
"Oh." Haechan mengangguk dan tersenyum aneh. Kayak, mengulum senyum gitu.
"Kenapa 'oh' doang?"
"Harus 'Woooaahhhh' gitu?" Haechan dan peragaan lebay-nya minta ditimpuk.
Gue tertawa. "Enggak juga, sih." Gue terdiam sejenak, menimbang apa yang sedang ada di pikiran gue sejak tadi. Gue maju mundur mau tanya, tapi ... enggak papa, lah. Kalau enggak tanya, gue enggak tahu jawabannya.
"Kalau misalnya gue beneran jadian sama Kak Mark, emang enggak papa?"
Haechan menarik kepalanya ke belakang. Dahinya berkerut. "Pertanyaan apa ini?"
"Tanya doang." Gue bersikap tak acuh. Aslinya, gue kepo bener.
Haechan menghela napas dalam dan mengeluarkannya sedikit kasar. "Yaahhh, yang namanya hati orang, masa bisa gue kendaliin, Fay?"
"Berarti?" Gue tanya dengan sangat hati-hati.
"Terserah lo, lah. Lagian gue juga bakalan selalu dukung apa pun itu keputusan dan kemauan lo. Asalkan enggak nganeh-nganeh aja sampai bawa harga diri dan nama keluarga."
Gue mengangguk. Anjir, sakit banget dada gue rasanya. Seperti ada yang mencengkeram erat.
"Jadi, lo ikhlas kalau gue jadian misalnya gitu sama Kak Mark?"
"Sama Kak Mark atau sama siapa aja, yang penting bisa jaga lo dengan baik kayak gue, gue gak masalah."
Yang jadi masalah sekarang, menurut gue enggak ada yang sebaik lo, Chan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro