Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5.3 Rasa Apel

"Lepasin! Sakit, bego!" Gue berusaha menarik tangan gue yang dicekal dan diseret oleh buntut Om John ini. Mana ada gue didengerin. Yang ada dia semakin menyeret gue hingga sampai di ruang klub musiknya dia.

"Ngapain, sih, lo? Malu-maluin aja, anjir!" Gue ngereog. Sebel banget sampai ubun-ubun.

"Sama siapa? Enggak ada orang di sini. Ngapain malu?"

Gue menoleh dan melihat ke sekeliling ruangan. Emang enggak ada orang. "Tapi, tadi di lorong, banyak!" Mata gue kayaknya udah penuh api.

Haechan tersenyum miring dan bersendekap. "Segitunya lo enggak mau ketemu sama gue?"

Gue menatap dia tajam. Dah tahu gitu! Rasanya pengin gue jambak. Tapi gue diem-diem aja. Malas ngomong.

"Gue ada undangan ke acara ulang tahunnya Seungmin. Lo mau ikut gak?"

Enggak ada ucapan minta maaf atau ngajak damai, loh, ini. Langsung tanya gue seenaknya? Dahlah, berharap apa emang sama Haechan?

"Kapan?" tanya gue sewot.

"Lusa. Mau?"

"Jam berapa?"

"Tujuh tiga puluh. Malem tapi. Mau, ya?"

"Tanya Ayah Ummi!" perintah gue datar.

"Mas Taeyong, Mas Yuta, bahkan Chenle sampai Sungchan pun bakalan gue mintai ijin buat bawa lo." Tangan kirinya digunakan alas buat menekan sisi tangan kanannya saat menyebut setiap nama di keluarga gue.

"Gue? Gak lo mintai ijin buat bawa gue sendiri?"

"Oke. Bahkan lo. Gue minta ijin buat bawa diri lo ini ke ulang tahun Seungmin." Kedua telapak tangan Haechan terbuka dan menunjuk ke arah gue.

Gue tertawa dan melewati lelaki itu lalu duduk di atas sofa yang ada di ruangan. "Effort?"

"Itu. Gue bawain khusus buat lo." Haechan menunjuk ke botol minuman rasa apel di atas meja.

"Tujuh ribu doang?"

"Enggak punya uang lebih gue. Cak John belum kasih gue uang."

"Yuk Dian?"

"Apalagi. Pelit dia, mah." Dia duduk di sebelah gue.

Gue tertawa sambil membuka tutup botol. Gue emang haus. Enggak usah protes karena gue kalau udah sama Haechan emang udah enggak ada malu.

"Lo tahu bahasa Koreanya apel?" Haechan menyandarkan kepalanya ke punggung sofa.

Gue yang lagi menegak minuman rasa apel itu melirik ke samping. "Emang apa?"

"Cari pake hape lu, kek."

Gue mendecak. Botolnya enggak gue tutup dan langsung disahut sama Haechan. Gak heran. Gak heran. Yang ngasih siapa yang minum siapa. Jadi, gue biarin aja. Gue sibuk dengan hape gue dan mencari di Toogel terjemah. Bahasa Korenanya apel, "Sagwa?" Dahi gue mengernyit. "Terus kenapa?"

"Terus bahasa Koreanya itu lo salin dan cari bahasa Indonesianya." Haechan masih memegang botol minuman rasa apel itu sambil lendhetan santai.

"Ribet amat."

"Udah. Cepetan cari."

Gue pun melakukan apa yang disuruh oleh lelaki sebelah gue itu. Gue tersenyum lebar saat melihat hasil terjemahannya.


"Anjir, geli banget. Lebay asli lo." Gue memukul paha Haechan.

Lelaki itu ikutan terkikik geli tapi dia tutupi dengan meneguk isi botol rasa apel itu. Mata kami bertatapan. Masih geli banget rasanya.

"Gue mikir ini dari kemarin, anjir, biar lumayan elit cara gue. Gue sampai tanya ke Yuk Dian ini." Kemudian dia menyerahkan botol itu ke gue sekaligus mengacungkan kelingkingnya.

Gue menarik kepala ke belakang. "Ngapain lo?"

"Cepetan. Biar sekalian cringe-nya."

Perlahan dengan tatapan 'ih, apaan, sih?' gue melingkarkan kelingking ke punya dia.

"Janji enggak marah lagi?"

Tatapan kami bertemu lama. Senyuman kami juga mengembang. Sama-sama geli.

"Iya. Janji."

Lalu? Kami melepaskan tautan itu dan kloget-kloget kayak cacing. Begidik banget.

"Gak usah acara kayak gitu lagi. Asli gue semakin pengin nampol lo."

"Enggak lagi! Yuk Dian geli banget caranya anjir."

Gue timpuk dia pakai bagian bawah botol. "Gila lo! Emak lo itu!"

Haechan tertawa dengan lepas.

Lalu kami terdiam. Gue meneguk isi botol itu sampai tandas.

"Gue yang salah sebenernya." Tiba-tiba aja makhluk itu mengaku. Entah kenapa gue tidak benar-benar simpati dengan pernyataan tersebut. Tapi, gue tetap mendengarkan.

"Soal?"

"Ngambek karena enggak diajak sama lo ke Pasar Kembang."

"Lih? Lo ngambek beneran? Kenapa? Lo ngambek karena gue ajak Kak Mark?"

"Iya. Juga karena lo gak ngabarin kalau mau ke sana sama orang lain. Mana lo sama Mark, kan, kayak bukan siapa-siapa."

Gue memandang lelaki ini dengan alis terangkat. "Terus masalahnya?"

"Kan, gue khawatir."

"Cemburu maksudnya?"

"Yaaa ... lo tahu sendiri, kan?" Dia memainkan tangannya kayak anak kecil. Bibirnya maju.

"Hallah, Chan ... Chan .... Ngapain pakai acara cemburu? Lo pikir gue sama Kak Mark ada apa-apa? Gimana kalau gue berangkatnya sama Jeno? Lo cemburu gak?"

Dia menggeleng. Emang dasaaarrr.

"Kenapa?"

"Karena Jeno temen gue dan temen lo. Kita nongkrong bareng. Kalau Mark, kan, enggak."

"Terus apa bedanya, Haechan?"

"Beda. Lo merasa gak papa gak papa aja sama Mark. Tapi Mark enggak."

"Emang dia ada apa-apa sama gue?" Gue sengaja menantang. Sok tahu banget, sih, si Haechan ini.

"Ada," lirihnya.

Gue menghela napas. "Tahu dari mana?"

"Tatapan dia ke lo."

"Tapi lo enggak pernah tanya ke dia, kan?"

Haechan menegakkan duduknya dan menghadap gue. "Yang gue anggap masalah bukan itu juga, sih, sebenernya. Tapi, gini, ya, Fay. Lo pergi sama orang asing dan gue enggak lo kabarin itu ... rasanya aneh. Lo apa-apa bilang ke gue dan minta tolong ke gue. Terus, habis itu tiba-tiba aja lo gak ngasih pemberitahuan apa-apa. Itu aneh buat gue."

"Ya, terus masa gue harus laporan semuanya ke lo?"

Haechan mengedipkan matanya beberapa hitungan. Wajahnya kembali tertekuk. "Sebenernya ada satu lagi yang belum gue sampein ke lo."

"Apa?" Sabar banget gue dengerin bocah ini.

Dia menghela napas dan mengeluarkannya. "Lo tadi janji kalau enggak bakalan marah, kan, ya?"

"Iyaaaa." Astaga, bangga sama diri sendiri yang sangat pengertian.

"Jangan marah, loh. Beneran."

"Iya, Tuan Muda Haelmi Chanan, wahai Haechan."

"Gue sebenernya udah tahu kalau lo mau ke Pasar Kembang. Gue sembunyi di balik lemari sono waktu lo cariin gue." Dia menunjuk lemari yang ada di bagian lebih dalam dari ruangan.

Mata gue melebar. "Dan terus? Lo masih ngambek kemarin karena gue jalan sama Kak Mark? Kocak!"

"Lo, kan, tadi bilang udah janji enggak marah, Fay."

"Tapi, enggak seketerlaluan itu juga kali, Chan. Lo sampai bikin gue malu di depan mamanya Jeno karena gue makan sawi. Lo ngambeknya enggak asyik sumpah. Kalau kayak gini gue mau ingkar janji aja. Gue beneran pengin marah ini." Gue mencubit lengan atas Haechan. Sebel banget.

"Ampun. Ampun," rintihnya sambil memegang tangan gue. "Apel! Apel! Kan, udah gue kasih apel tadi."

"Gak mempan. Mana cuma tujuh ribu." Gue masih ingin mencubit kulit tan si Haechan ini. Tapi, dia tetap saja menahan lebih kuat.

"Lo rese banget, sumpah. Aneh lo, Chan."

"Iya. Gue ngaku gue aneh." Haechan menurunkan tangan gue dan masih menggenggamnya. Dia meletakkan tangan kami di atas pangkuan. "Mekanya gue kasih lo apel. Gue sadar gue salah, elah, Fay."

"Terus, kenapa lo kemarin salahin gue juga?"

"Yang mana?"

"Karena lo telepon Joan dan gak bilang-bilang."

"Oh, itu." Wajahnya berubah tengil. "Tapi, lo cemburu, kan, karena gue telepon Joan?"

Gue memutar mata gue. "Lo ngerti gimana gue deket sama Joan. Dan lo tega-teganya enggak bilang kalau abis telepon dia. Mana lo ceritain kejadian yang malu-maluin lagi."

"Hehehe, ya, maap."

"Lo duluan yang telepon atau dia?" tanya gue.

"Gue, sih. Gak tahu, kemarin pengin aja telepon."

Gue mengangguk paham. Gue menarik tangan gue dan ikutan menyandarkan diri ke punggung sofa. "Lain kali kalau kalian telepon atau vidcall, gue diundang juga, ya. Gue juga pengin kumpul bareng kayak dulu."

Tangan Haechan yang laknat itu mengacak-acak rambut gue. Dia tertawa. "Iya. Iya."

Gue mengangguk aja. Gak tahu juga buat apa. Lalu, satu pertanyaan bodoh terbesit di kepala gue. Pertanyaan yang enggak seharusnya gue ucapin ke dia.

"Chan, kalau yang lo bilang bener tentang Kak Mark, emang lo bakalan setuju kalau gue terima misal dia maju?"

"Hmm?" Haechan menarik ujung bibirnya ke bawah. "Kalau lo emang mau dan nyaman sama Mark, kenapa gue enggak setuju? Gue bakalan dukung lo apa pun yang terbaik buat lo, Fay. Kan, kita bestie."

Gue memandang cara dia menyampaikan kalimat itu. Santai banget sambil meletakkan kepalanya di sandaran sofa dan menoleh ke gue.

Gue mengangguk. Kenapa dada gue rasanya sakit gini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro