5.1 Pintu Kamar yang Malang
Suara berisik menginterupsi gue yang sedang tidur nyenyak. Berkali-kali nama gue disebut tapi, rasanya malas banget buat bangkit. Astaga, gue butuh waktu untuk menyelaraskan hati, otak, mata, dan punggung. Malas bangkit, tapi tangan gue ditarik-tarik sama makhluk yang gue identifikasikan sebagai Mas Yuta dari suara dan kelakuannya yang udah mirip kayak Ifrit.
"Lo gak bangun, hah? Dicariin Taeyong di belakang, noh." Mas Yuta menahan badan gue dari belakang yang sedikit terduduk.
Gue tidak mengerahkan energi apa-apa untuk otot ataupun tulang. Badan ini gue biarin seperti jelly yang kenyal dan tak berdaya. "Males, Mas."
"Lo enggak tahu wajahnya, njir. Mending lo bangun sebelum didatengin ke sini."
Gue mengusak rambut kasar dan akhirnya menahan badan gue biar tetap duduk. "Kenape, sih? Gue males banget bangun, Mas Yutaaaaaa." Gue merengek keras. Enggak peduli kuping mas gue.
"Bangun, bego! Lo bakalan habis sama Taeyong setelah ini." Mas Yuta menjitak kepala gue dengan sangat tidak berperikepalaan. Otomatis, gue meringkuk lagi sambil memegangi kepala gue yang kena jitak.
"Fayran!"
Suara pintu kamar gue dibuka dengan sangat tidak elit. Terdengar dari suaranya yang sangat keras. Masih gusar, gue memasang muka cemberut dan mengangkat kepala sedikit untuk memprotes orang yang berkemungkinan membuat kamar gue terluka.
Baru aja mau melontarkan aksi gerutuan, gue malah dibuat terdiam dengan wajah si pelaku. "Mas Taeyong? Ada apa?" tanya gue dengan sangat lembut. Badan gue langsung tegak. Bahkan tangan gue bereaksi dengan sendirinya, menata rambut gue yang acak-acakan dengan cepat.
Mas Yuta yang duduk di sebelah gue, menatap gue dengan pandangan yang tak bersahabat. Bagaimana mau bersahabat, itu mata udah melotot dengan sangat lebar. "Tahu rasa lo!" Dia malah menyumpahi gue tanpa suara. Ucapannya terbaca dari cara dia menggerakkan bibir.
"Baru bangun?" tanyanya melembut. Lah?
Gue mengangguk. "Kenapa, Mas?" Kepala gue mengikuti arah gerak Mas Taeyong. Dia berjalan ke arah sisi kasur yang berseberangan dengan Mas Yuta.
Helaan napas terdengar dari Mas Taeyong. Pagi-pagi begini, sudah dapat kesengsaraan apa, sih, ini orang? Gue malah tertegun kayak orang bego saat kakak pertama gue itu duduk di sebelah gue dan merapikan rambut gue dengan sangat hati-hati.
"Dih, mau-maunya pegang nih anak. Padahal dia belum mandi," cibir kakak kedua gue.
Geplakan di paha, pantas sekali memang untuk Mas Yuta. Gue suka aja mendengar dia merintih.
Wajah gue sudah berubah saat menghadap Mas Taeyong. Manis banget, lebih manis dari gulali mana pun. Gue jamin. Karena Mas Yuta enggak suka yang manis-manis, makanya dia menoyor kepala gue.
"Yut!" Mas Taeyong menceples tangan Mas Yuta. Dia mengelus-elus kepala gue dengan sangat sayang. Itu baik sangka gue doang, sih.
"Haaiisshh. Lo berdua bikin gue begidik tahu, enggak?" Tapi, dia juga enggak kunjung beranjak dari tempatnya.
"Biarin. Kan, Mas Taeyong sayang sama aku." Emang ... gue lagi menggunakan jurus berprasangka dan berbicara baik agar alam mengijabahi. Aslinya, hati gue udah deg-degan banget, kalau-kalau aja gue dilabrak. "Iya, kan, Mas?" Gak papa gue centil. Sama kakak sendiri, gak papa.
Mas Taeyong tersenyum manis. Semoga enggak kayak permen Kurang Kecut, manis di luar, asam di dalam. "Kenapa kamu beliin Mas bunga?"
Mata gue mengerjap beberapa kali. "Bunga apa, Mas?" Kepala gue masih ditangkup sama Mas Taeyong.
Si kakak pertama itu menguyel kedua pipi gue. Gue pasrah, lebih sayang nyawa, sih.
"Bunga yang ada di belakang itu. Kata Yuta kapan hari kamu keluar ke Pasar Kembang sama temen kamu. Beli itu?"
"Heh?" Gue masih gak nyambung, tolong.
"Hah heh hah heh, bocah!" Mas Yuta menoyor gue lagi. Yaaaa, geplakan Mas Taeyong jadi balasannya. "Yang lo keluar sama si Mark itu, loh."
Gue mengerjapkan mata beberapa hitungan. "Hu um. Aku emang sama Kak Mark keluar. Tapi enggak nemu bunganya."
"Loh, terus bunga yang ada di belakang sana?" tanya Mas Taeyong yang malah membuat gue bingung.
Gue mengedikkan bahu. "Aku enggak tahu, Mas. Emang siapa yang masukin? Kapan juga?"
"Lah?"
Braakk!!!
Lagi, pintu kamar gue dibuka dengan tidak estetiknya. "Mbak! Kata Mas Mark dia nemu bunga yang itu doang. Kayaknya itu yang persis sama punya Mas Taeyong!" Kepala Chenle menyembul dari pintu. Rambutnya terlihat masih basah kuyup.
Semua menoleh ke arah dia. Chenle cengok. "Lah? Ngapain semuanya ada di sini, dah?" Dia menegakkan badan dan memasuki kamar gue.
"Kamu bilang apa?" Mas Taeyong yang tanya.
"Itu, bunga yang ada di belakang. Aku yang taruh sana tadi pagi." Chenle mendekat ke arah kami.
"Ketemu Mark kapan?" tanya Mas Yuta.
"Tadi habis shalat subuh. Papakan di masjid sana. Terus dia bilang buat bawa pulang bunga itu. Kayaknya itu mahal deh. Emang persis sama yang punya Mas Taeyong?" Chenle dengan enaknya nyungsrep di atas kasur gue, menjadikan kaki ini sebagai bantal.
"Ya enggak, lah. Gila kali aku beli mawar yang kayak gitu buat eksperimen." Mas Taeyong menyelipkan rambut gue ke belakang telinga.
"Kenapa emang?" Mas Yuta yang memang awam tentang tanam menanam juga sama cengoknya kayak gue.
"Mahal banget, astaghfirullah. Enggak ada duit buat coba-coba sama barang mahal kayak gitu."
"Loh, kata Mas Taeyong kemarin per bibitnya sampai lima puluh ribu." Gue enggak salah inget, kan, ya?
Chenle mengangguk, membenarkan memori gue.
"Astaghfirullahal adhim!" Mas Taeyong memeluk kepala gue dan mengempitnya di antara lengan bawah dan atas. "Mana ada, hah? Kamu yang beli itu atau Mark?"
"Bukan aku. Mana ada aku beli yang mahal-mahal." Gue pasrah dipiting oleh Mas Taeyong. Percuma berontak. Nanti malah tambah kecepit.
"Mark yang beli?" Mas Yuta kelihatannya kaget. "Wik! Banyak banget, loh."
Mata gue membelalak. Gue melepaskan tangan Mas Taeyong. Mana si Chenle tambah beban gue lagi. Dia enggak mau pindah ataupun bangkit dari posisi tidurannya. "Jangan mbijuk! Enggak mungkin Kak Mark beli kayak gitu."
"Dih, dibilangin enggak percaya." Chenle yang dititipi amanah merasa seperti tidak amanah.
"Bentar. Ini Mark yang mana?" Mas Taeyong melepaskan gue dan menata rambut gue kembali.
"Mark kakak kelasnya si Fay. Tetangga beda blok sana." Mas Yuta yang emang kupu-kupu masyarakat menjawab dengan tepat serta menyebutkan semua anggota keluarga Kak Mark. Bahkan gue udah lupa siapa nama mereka kecuali Jeno, temen gue sendiri.
"Kok bisa?" Mas Taeyong ini bagaimana? Pertanyaannya enggak nyambung sama sekali.
"Bisalah. Kemarin yang keluar sama dia tuh, ya, di Mark itu." Mas Yuta gregetan.
Bibir Mas Taeyong membentuk huruf O. "Kok tumben enggak sama Haelmi perginya?"
Gue mencebik. Kenapa nama itu disebut, sih? Lagi sensi gue. "Enggak mood."
"Lih? Kenape lo kagak mood sama Haelmi?" Mas Yuta menunduk untuk melihat wajah gue. Mungkin dia mau meriksa gue baik-baik aja apa enggak. Oke, itu prasangka baik gue. Aslinya, gue yakin tuh orang mau ngejek.
Chenle mendongakkan kepalanya, ikutan melihat gue. "Gak salah denger? Kalian aja udah kayak gunting batu kertas."
"Heh?" Baik gue, Mas Yuta dan Mas Taeyong serempak gak paham.
Adik gue mencebik. "Selalu bareng meskipun suka ngalahin satu sama lain. Tapi kadang juga kompak kalau seri. Dih, gitu aja kagak paham buyut-buyut ini."
Gue mencubit pipi bocah itu. Mas Yuta menjewer telinganya. Mas Taeyong memencet hidungnya. Yah, derita jadi adik yang pinter, gemesin, dan kurang ajar.
Chenle menjerit sekeras-kerasnya karena penindasan kami. Tapi puas rasanya meskipun telinga jadi agak pengang.
Pintu kamar gue dibuka lagi dengan sangat tidak indah. "Ya Allah! Ya Rahman! Enggak pada siap-siap berangkat sekolah tapi malah melungker di sini. Ayo keluar! Fay, mandi! Enggak shalat tapi tetep aja malesnya."
Omelan pagi seorang Bu Irene. Ah, enggak usah ditanya bagaimana kami langsung memutar bola mata bersama.
"Mas Taeyong, tolong bantu Ayah cuci mobil. Mas Yuta, bantu Ummi siapin makanan. Chenle, siap-siap sekolah."
Ummi gue, mah, adil. Satu kena, semuanya juga kena. Pokoknya kuping kami enggak aman.
"Enggak kebalik, Mam? Aku bantu Mamih masak? Gasnya aku copotin yang ada." Mas Yuta menunjuk dirinya sendiri.
"Astaghfirullah. Iya. Ah, pokoknya kayak gitu." Ummi mengibas-ngibaskan tangannya.
Tiba-tiba saja si bontot menyembulkan kepalanya di bawah Ummi. "Kok aku enggak diajak?" Wajahnya melas melihat kami yang masih keruntelan.
"Lo tuh siapa, hah?" Memang harus diacungi jempol kekompakan anak-anak Pak Suho untuk mengerjai adik bontotnya.
Sip, Sungchan nangis.
Kami semua buru-buru kabur sebelum Ummi mengomel karena sumpek mendengar tangisan si bontot.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro