Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4.5 Pulang

"Mau pulang sekarang?" tanya mama Jeno dengan sangat lembut.

Gue yang agak syok dengan perubahan sikap beliau pun hanya bisa memberikan senyum Click, sekalian review pasta gigi yang gue pakai. Dengan agak membungkukkan badan, gue menyodorkan tangan untuk disambut biar bisa salim.

"Maaf, ngerepotin, ya, Tante. Aku mau pamit dulu sama Haelmi." Sungkan banget, asli. Untung mama Jeno masih mau memberi tangannya untuk gue cium.

"Enggak ngerepotin. Kamu malah udah bantu Tante berberes habis belanja."

Yakinlah, gue juga kaget saat tangan beliau mengelus kepala gue. Tersenyum canggung adalah andalan gue untuk meredakan suasana yang menurut gue kaku banget ini. "Bukan apa-apa, Tante. Cuma bantu gitu doang."

Mama Jeno tersenyum lebar dan memeluk gue. Hampir aja gue teriak. Gue hanya merealisasikan kekagetan gue ini dengan membelalakkan mata dan disambut dengan kerutan dahi. Gue berhadapan dengan Somi. Kita sama-sama melempar tanda tanya.

"Jangan kapok main ke sini, ya, Fay. Baru kali ini Jeno bawa temen cewek dua cakep-cakep kayak gini." Pelukan mama Jeno terlepas dan beliau mengelus lengan gue.

Satu kedipan. Dua kedipan. Tiga kedipan. Gue baru bisa mengangguk setelah Somi mengangkat tangannya dan berisyarat seakan mau mukul gue. "Oh, hehehe. Gitu, ya, Tan. Hmmm, iya. Kapan-kapan aku sama Somi bakalan ke sini lagi."

"Jeno itu, Tan, yang enggak bolehin kita main ke rumahnya. Katanya dia, mamanya galak." Semua mata menuju ke arah Somi. Kecuali mamanya Jeno yang sudah melototin anak bungsunya.

"Gitu, ya, kamu ternyata, Jen." Tangan mama Jeno sudah siap untuk memberikan pelajaran terbaik untuk anaknya. Jeno langsung bergeser ke belakang badan kakaknya, berlindung.

"Mama kok percaya aja sama omongannya Somi. Dia itu tukang adu domba." Jeno mengelak.

"Katanya dia juga Tante itu jelek. Dia enggak pede." Haechan ikutan mengompori. Dengan segera, gue mencubit pinggang bocah itu. Dia mengaduh, merintih sok kesakitan. Padahal juga enggak sakit, yakin.

"Potong aja jatah bulanannya Jeno, Ma." Kak Mark menambahi. Ternyata dia bisa bercanda juga.

"Kak!" Suara nyaring nan mantap ala tabokan tangan berotot Jeno memenuhi ruangan. Gue yakin kalau telapak tangannya Jeno ngecap di punggung kakaknya. "Lo jangan ikutan, kenapa?" sebalnya.

Gue dan yang lain hanya tertawa. Puas sekali lihat wajah melas Jeno yang jarang tampak itu. Soalnya, anak itu biasanya songong. Mekanya, momen kayak gini harus dimeriahkan.

"Urusan kita belum selesai, ya, Jeno." Mama Jeno menghadap ke gue dan Haechan lagi. "Kalian berdua hati-hati di jalan. Udah malem kayak gini. Haelmi jaga Fay yang baik. Awas kalau sampai lecet."

Haechan hanya memberikan isyarat 'oke' dengan jemarinya.

"Aku boleh ikutan nganter enggak?" tanya Kak Mark.

"Ih, buat apa. Gue juga bisa kali nganterin Fay doang ke rumah. Mending lo anterin Somi, noh. Nganggur dia." Haechan memajukan bibir bawahnya.

"Gue tampol lu, ya, bilang gue nganggur. Kayak jemuran belum diseterika aja." Somi enggak terima dan sudah melangkah untuk mendaratkan bogeman tangannya.

"Dih, enggak ngaku. Lo jomlo aja sok." Jeno enggak mau diam saja. Meledek Somi adalah bagian dari kehidupannya.

"Eh. Eh. Anak cewek galak amat." Mama Jeno melerai. "Kalian ini ada aja, sih. Nanti kalau enggak bareng lagi kangen."

Gue saling lirik dengan Haechan. Lalu kami tertawa melihat wajah Somi dan Jeno yang malah memerah. Ada bahan buat mengejek mereka lagi, nih, kalau sewaktu-waktu jiwa Tom and Jerry mereka kumat.

"Kita pulang dulu, ya, Tan. Jangan lupa potong aja uang jajannya Jeno." Haechan menyalami mama Jeno.

"Somi, lo enggak ikutan?" tanya gue agak berbisik.

"Terus ke rumah lo? Bikin ayah gue nyasar? Enggak. Enggak. Gue udah bilang mau nunggu di sini." Somi melambaikan tangan enggan.

Gue mengangguk. Oh, gitu. Ya, udah. Gue dan Haechan pun dianter sampai teras rumah. Agak aneh, sih. Udah kayak mau melepas anak rantau aja.

"Hati-hati, ya, Fay." Sekali lagi mama Jeno mengucapkan hal itu.

Sek, sebentar. Sebenarnya ada sesuatu yang dari tadi mengganggu gue dan ingin banget gue tanyakan kepada beliau. Gue pun berbalik lagi setelah satu langkah dan menarik tangan Haechan untuk berhenti.

"Hmm, maaf, Tante."

Mama Jeno menaikkan kedua alisnya dengan mata yang sedikit melebar, welcome buat mendengarkan.

"Tante enggak salah, kan, panggil aku Fay?" tanya gue ragu. Takut malah salah omong, woi.

Beliau malah terkekeh. "Ya, enggak salah, lah. Emang sejak awal kamu yang Fay, kan? Siapa, sih, sayang, yang enggak kenal anak gadis satu-satunya Pak Suho sama Bu Irene? Sekomplek juga tahu."

Aduh, gue jadi malu. Gue menunduk dan malah senyum-senyum sendiri. Gue merasa tangan gue ditarik.

''Helleh. Seneng, kan, lo!" Haechan ini memang enggak bisa kali, ya, membiarkan gue tentram dikit gitu.

"Udah. Mendingan lo pulang, Fay, daripada gue tampol sekarang juga. Wajah lo enggak banget." Somi mala mengusir.

Gue melirik cewek itu dan memasang wajah julid. "Sirik amat, sih, lu."

Kali ini, gue dan Haechan benar-benar berpamitan dan pergi.

***

Suasana komplek sepi. Bahkan jalanan yang biasanya dilewati kendaraan bermotor pun terasa enggak berguna. Terhampar begitu saja tanpa ada yang melintas. Gue dan Haechan jalan beriringan di atas trotoar.

"Mi," panggil gue memecah keheningan. Ngeri banget, ih, jalanan sepi dan enggak ada yang bicara. Takut aja kalau tiba-tiba ada yang menyapa dari atas pohon.

Haechan hanya berdehem. Pandangannya fokus ke depan.

"Bete, ya?"

Gue bisa melihat kerutan di dahi cowok itu. Dia menoleh. "Maksud lo?"

"Ya ... lo kelihatan bete aja jalan di samping gue. Kalau enggak mau nganterin gue pulang, ya, enggak usah juga gak papa."

"Supaya lo bisa dianterin sama Mark. Sekalian kencan? Enggak puas udah jalan-jalan seharian?"

"Loh, kok lo malah bahas Kak Mark, sih."

"Cuma itu yang ada di kepala gue soalnya."

"Cemburu, gue sama Kak Mark jalan?" tanya gue to the point.

"Enggak." Dengan nada tegas, dia menjawab. "Cuma berasa bukan siapa-siapa aja setelah lama main bareng dan lo enggak kabarin gue apa-apa."

"Epret. Lo aja juga enggak ngabarin gue kalau lo abis vidcall-an ama Joan."

"Lih? Apa hubungannya, Tong?"

"Sama-sama enggak cerita. Lo sendiri juga tahu kalau gue lama enggak telponan sama dia karena takut ganggu."

"Salah lo." Haechan tetap saja tidak terima.

"Oke. Iya, memang salah gue. Gue yang salah mulu." Kalau enggak ada yang mulai mengalah, kami bakalan ngotot-ngototan sampai rumah. Enggak bakalan berhenti.

Dengan kekuatan entah dari mana, gue melangkah lebih cepat untuk mendahului Haechan. Gue yakin bahwa gue enggak bakalan bisa nahan air mata sialan yang tiba-tiba aja membuat dada gue sesak.

Jangan berharap sahabat kayak Haechan ngejar gue dan minta maaf lagi setelah tadi akur di rumah Jeno. Kalau gue belum dalam masalah, dia enggak bakalan ngapa-ngapain. Kalian udah tahu juga, bagaimana dia mengabaikan gue yang tetap makan sawi. Ya, apa mungkin gue lari dan jatuh aja, ya, biar ditolong? Ah, enggak. Norak amat. Mungkin nanti aja kalau ada mobil atau sepeda motor yang lewat, gue lempar badan di aspal. Sekalian. Sebel banget gue.

"Noh, perempatan rumah lo! Pulang aja sono! Gue bisa pulang sendiri!" teriak gue sambil membalikkan badan dan menunjuk ke arah jalan menuju rumah Haechan. Seperti yang telah gue duga, dia masih berjalan santai jauh di belakang sana. Enggak ada minat buat jalan beriringan bareng sama gue lagi.

"Oke! Lo pulang aja sana! Kalau gini, sebenernya siapa yang cemburu?!" teriaknya gak kalah keras.

Anjir!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro