Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4.4 Masih dengan Haelmi

Gue diam sesaat setelah menuangkan mie ayam gue ke mangkok. Gue melirik ke Haechan. Enggak ada pergerakan sama sekali dari cowok itu. Biasanya, dia langsung gercep ambil sawi yang ada di mie ayam gue. Apa karena emang keadaannya kita lagi gak kayak biasanya, ya, mekanya dia enggak jumputin sawi gue.

"Kenapa? Kamu enggak suka sama mie ayam yang dibawain Haelmi?" Pertanyaan itu membuat gue yang sedang merenungi sayuran hijau itu jadi sedikit gelagapan.

"Enggak, Tante." Lumayan kagok, sih. Tapi, gue berusaha baik-baik aja.

"Ini mie ayam yang di depan komplek itu, kan, Mi?" tanya mamanya Jeno ke Haechan.

"Iya, Tan. Mie ayam paling enak tak ada duanya." Haechan mengacungkan jempolnya.

Dari baunya aja gue udah tahu. Orang biasanya juga gue sama dia ngandhok di situ. Tapi, enggak mungkin juga gue langsung nyolot kayak gitu ke Haechan sekarang. Bakalan aneh.

"Kamu enggak pernah makan di sana, Somi?"

Ini, nih, yang masih membuat gue sangsi. Gue masih Somi. Dengan wajah terkekeh agak cengengesan, gue iyain aja. Meskipun setelahnya gue ngaku. Agak nipu memang. "Biasanya beli di sana juga, kok, Tan."

"Ya udah, dimakan. Masa dilihatin melulu."

Gue memberikan senyuman sungkan terpaksa dan terindah. Dari tadi gue melulu yang dipojokin. Mau nangis aja gue. Tapi enggak mungkin. Rasanya tambah sesak aja di dada. Astaga.

Satu tarikan napas. Gue mulai menyendok mie ayam yang ada di depan gue. Ya ... setelah gue singkirkan itu para sawi hijau yang membuat gue agak enggak nafsu. Sungguh, gue sama sawi hijau enggak bisa jadi teman. Gue berulang kali mencoba makan sayuran itu pas Ummi masak, tapi percuma banget. Kata yang lainnya enak, tapi itu malah membuat gue mual. Jangan sampai ketelen deh kali ini. Kalau enggak, gue bisa semakin memperburuk suasana canggung antara gue dan orang-orang yang ada di sini.

Hingga saat itu tiba. Saat di mana mie gue tinggal sedikit. Sawi hijau itu masih di sana. Please, siapa ajalah selain Haechan tolongin gue. Ini gue sedang dilihatin sama mamanya Jeno.

"Habisin atuh sawinya, Somi. Makan sayuran, biar sehat."

Reaksi gue? Hanya nyengir. Sumpah gue gak bisa makan sawi. Berkali-kali lagi gue melirik ke Haechan tapi gue enggak dapet respon apa-apa meskipun pandangan kami sempat bertemu beberapa kali. Haechan beneran marah ke gue, ya?

"Iya, Tante."

"Jangan iya doang. Dimakan, gih. Cewek itu juga butuh sayuran yang banyak biar kuat. Biar enggak lesu."

"Ma." Kak Mark mungkin udah sungkan banget karena dari tadi mamanya dia ngomeli gue terus. Tapi, gue bakalan kayak gitu, sih, kalau Ummi cerewetnya lagi kumat. Apalagi sama temen gue yang baru kenal.

"Kenapa? Mubadzir kalau enggak dimakan. Sayuran tuh sekarang mahal. Enggak ilok kalau dibuang-buang."

"Hehehe. Iya, bener kata Tante, Kak." Lalu, dengan gobloknya gue memakan semua sawi itu tanpa sisa. Hanya dua kunyahan dan langsung gue telan. Enggak ada pilihan lain. Gue juga enggak mau terus-terusan diomelin.

Seketika gue tersentak dengan denyutan yang berasal dari dalam perut gue. Gue mual. Tangan gue sontak gue pakai buat menutupi mulut. Enggak sopan kalau kayak gini. Gue harus tahan dengan sekuat tenaga.

"Kamar mandi."

Tangan gue ditarik dengan kuatnya. Membuat langkah gue yang enggak siap jadi hampir terjatuh. Tapi, akhirnya pundak gue dipegang juga buat memberi keseimbangan biar gue enggak limbung lagi.

"Jeno, pinjem kamar mandi."

Gue dibawa ke kamar Jeno dan dimasukkan ke kamar mandi. Menghadap ke washtafel, gue mengeluarkan semua isi perut gue yang barusan masuk. Tanpa sisa. Leher belakang gue dipijit ringan. Gue nangis dan enggak bisa sembunyiin air mata gue lagi. Rasanya sakit banget. Entah karena mual yang masih gue rasakan meskipun udah enggak ada lagi yang bisa gue keluarin atau fakta bahwa Haechanlah yang narik gue ke sini, dia masih peduli.

"Udah? Masih mau muntah lagi enggak?" tanyanya yang membuat air mata gue malah keluar deras.

Gue membasuh mulut dan wajah dengan air kran. Sumpah gue malu. Gue harus gimana hadapin orang-orang di bawah sana. Gue harus gimana hadapin situasi ini sama Haechan yang masih berdiri di samping gue.

"Jangan paksain kek makan sawi. Percuma lo makan mie ayam semangkok. Mana pakai duit lagi belinya." Omelan Haechan dimulai.

Gue cuma menunduk sambil menyangga badan dengan tangan menghadap washtafel, menyelesaikan sesenggukan. Sesekali sambil menyeka pipi gue.

"Lo gak bales gue?" Tangannya membawa pundak gue untuk menghadap seluruhnya ke dia, bukan ke arah kaca dan washtafel Jeno lagi. "Sumpah lo jelek banget kalau kayak gini."

Tanpa kata lagi gue langsung pukul aja pundaknya Haechan. "Lo ngeselin banget. Kenapa lo tadi enggak mau makan sawi gue? Lo juga tahu gue enggak bisa makan sawi. Kenapa lo enggak nolong gue?" Lalu pukulan itu gue hentikan dan berganti dengan gue memeluk Hechan erat. "Kenapa lo diem aja?" Pundak Hechan basah dengan air bekas cuci muka gue tadi dan semakin basah dengan air mata gue yang semakin keluar dan gak mau berhenti.

"Lo enggak minta gue buat makan sawi lo."

"Biasanya lo enggak usah diminta juga udah ngambil sendiri."

"Ya, yang tadi enggak biasa. Gue gak sama lo doang."

"Pokoknya salah lo."

"Iya, gue yang salah."

Kesel banget, sumpah. Kalau dia mengalah kayak gini, kan, gue yang tambah merasa bersalah. Gue mempererat pelukan.

"Udah, cup. Jangan nangis lagi," bisiknya.

"Gue masih kesel sama lo."

"Iya, nanti keselnya diterusin aja di rumah. Ini masih di rumah orang. Enggak enak kalau lo mau marah-marah."

Nyaman. Nyaman banget rasanya bisa peluk Haechan lagi kayak gini. Seketika gue melupakan kenyataan bahwa sedari tadi kami canggung. Gue tertawa kecil. Lucu juga ternyata acara ngambek-ngambekan tadi. "Nanti lo ganti mi ayamnya. Tadi semuanya udah keluar, tuh."

Haechan ikutan tertawa. "Iya. Iya. Perhitungan banget, sih, jadi orang. Kapan-kapan aja, tapi. Kalau malam ini gue enggak bakalan beliin lo mi."

"Terus lo mau beliin gue apa?"

"Angsle atau rondhe? Bajigur, dah."

"Cari yang murah astaga. Mana gue gak suka jahe."

"Tapi, Jaheyun suka, kan, lo?"

"Ya, kan, itu beda. Jaheyun, mah, ganteng."

"Gantengan gue, juga."

"Dih, pede amat." Gue mencubit pinggang Haechan yang membuat pelukan kami merenggang.

"Ehem! Anjir, gue kira ada apaan ternyata lo berdua pacaran di sini." Suara Jeno dari pintu kamar mandi sangat mengganggu. Cowok itu kalau lagi berisik bisa mengalahkan sepeda motor.

"Fay, lo enggak papa, 'kan?" Somi menyelonong masuk dan menarik tangan gue buat keluar dari kamar mandi Jeno.

Gue hanya mengangguk. Pipi, pundak, dan kepala gue udah diraba seenak jidatnya Somi. "Gue gak papa, Som. Cuma muntah doang."

"Muntah?" Jeno memastikan.

Gue mengangguk lagi.

"Perut kamu enggak papa? Aku bikinin minuman hangat, ya."

Heh? Gue menoleh. Kak Mark berdiri di depan pintu masuk kamar Jeno. Sejak kapan?

"Enggak usah, deh. Kita pulang aja. Udah jam segini juga. Jangan sampai kena marah sama Mas Taeyong." Haechan keluar dari kamar mandi.

Gue melihat jam yang ada di dinding kamar Jeno. Ah, udah pukul delapan lebih aja. Bisa-bisa gue beneran kena marah Mas Taeyong kalau kayak gini. Gue menoleh ke Kak Mark. Ternyata dia masih menunggu jawaban dari gue. "Iya, Kak. Enggak usah aja. Aku juga harus pulang soalnya tadi udah diwanti-wanti sama Mas Taeyong."

Kak Mark mengangguk paham. Ya, anggukan apa lagi coba?

"Jadi lo berdua pulang sekarang, nih?" tanya Somi.

"Gimana lagi? Lo mau nganterin Fay pulang dan dicegat masnya di depan?" Ini Haechan lagi nantangin Somi atau gimana, sih?

Jeno menyenggol Somi. "Gak usah ikut campur. Lo enggak tahu kalau Mas Taeyong udah keluar tanduknya. Ihh, lebih serem dari pada cunguk ini." Telunjuknya mengarah ke gue.

Gue tabok, lah, pundak cowok itu. Enak aja gue disamain sama Mas Taeyong. "Dia lebih galak dari Ummi gue, ya. Gue gak bisa ngalahin. Lo jangan ngaco." Siapa pun tahu kalau gue lagi marah emang enggak bisa dimengerti sama sekali dan bikin bingung. Ya, semuanya tahu kecuali Kak Mark, mungkin. Itulah yang membuat gue tergerak untuk mengelak. Jaga image kali. Enggak enak ada kakak kelas.

Jeno memajukan bibir bawahnya.

"Udah. Lo pada ngapain ke sini? Terus Tante sama siapa di bawah, hah?" tanya Haechan membuat kami sadar kalau hampir semua orang yang ada di meja makan tadi malah udah ada di kamarnya Jeno.

"Lah, iya. Kak Mark ngapain ke sini, sih? Nanti kalau Tuan Ratu marah gegara dikacangin gimana?" Jeno malah menyalakan saudara lelakinya.

Kak Mark terlihat kikuk. Dia pun berpamitan dan pergi meski dengan gerakan kaku dan terbata.

"Bawa barang lo sekalian. Gue anter lo ke rumah." Haechan seenaknya memerintah. Sok banget, kan? Tapi, gue juga enggak bisa mengelak. Kalau enggak gini, mungkin gue masih bakalan terjebak di rumah Jeno. Yang artinya, gue juga harus menghadapi mamanya lelaki itu lagi. Aduh, bagaimana ini? Mana gue habis muntah kayak gini.

"Gue takut, Chan," bisik gue ke Haechan setelah Jeno dan Somi turun.

"Mamanya Jeno?"

Gue mengangguk. Anehnya, Haechan malah tertawa. "Mental lo tempe banget, sih, anjir. Gitu doang." Kepala gue jadi sasaran tangannya untuk diusek. Buat rambut gue berantakan aja. Dengan bibir monyong dan lirikan tajam serta hati yang gue longgarkan, gue membenahi rambut gue.

"Udah tuh, bawa barang lo. Kita cepet pulang." Haechan menunjuk tas gue.

Mau enggak mau, gue menuruti bocah sialan itu. Dia lebih dulu keluar dari kamar Jeno. Dengan sedikit lemas dan berat hati, gue mengikuti langkah dia keluar dan menuruni tangga. Jalan gue sempat terhenti saat tanpa sengaja gue melihat ke arah ruang makan.

Mata mamanya Jeno tatapan sama gue. Aduh, mampus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro