Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4.3 Saya Somi

"Kakak sama Bunda lo belum pulang?" Somi masih merangkul pundak gue pas kami masuk ke rumah Jeno. Gue melirik ke dia. Emang gue tadi keluar seberapa lama sampai dia tanya kayak gitu.

"Loh, Kak Mark? Gue kira Jeno tadi," terusnya, membuat gue menengok ke arah yang sama. Tanpa banyak reaksi, dalam hati gue cuma, oh, ternyata beneran Kak Mark, bukan Jeno. Oh, ternyata udah pulang.

"Ha-hai." Dia berdiri sambil mengangkat tangan canggung. Mungkin maunya sepaket sama sapaan. Tapi jatuhnya kayak orang kepergok.

Gue dan Somi sedikit mengangguk sopan dan memberikan senyuman. Maunya sepaket balasan sapa, tapi jatuhnya kayak orang enggak niat.

"Haelmi mana?" tanya sebuah suara dari bagian rumah yang lebih dalam. Ternyata Jeno ada di dapur.

Mata kami langsung menangkap sosok wanita paruh baya yang berdiri di sebelah Jeno. Dengan serempak, misi kami berubah menjadi 'abaikan Jeno dan menyapa istri pemilik rumah biar enggak langsung diusir dan terkesan sopan'.

"Hai, Tante." Kaki kami udah kayak ada pakunya. Mau maju salim tapi gak bisa gerak. Terlalu syok kali, ya.

"Hai. Temennya Jeno, ya? Ya ampun cantik banget. Sini. Sini. Tante tadi beli sesuatu." Ramah. Itu kesan pertama yang gue tangkap dari bundanya Jeno.

Somi menurunkan tangannya dari pundak gue. Dia menggantikan rangkulan tadi dengan gandengan tangan. Kami saling bertukar pandang sejenak lalu baru mendekat ke arah dapur, memenuhi panggilan bundanya Jeno tadi.

Jangan ketawa. Kami emang dua remaja puber yang canggung juga menghadapi sosialisasi kayak gini. Rasa sungkan lebih dominan, sih. Aslinya Somi ini lebih luwes dari gue soal menghadapi orang. Tapi gak tahu, dia mungkin terjangkit penyakit gue.

Terlihat ada banyak cemilan dan bahan makanan yang masih berada di kantong plastik. Ada beberapa yang udah dikeluarkan juga.

"Ya ampun, temennya Jeno cantik banget. Kamu yang namanya Fay, ya? Ih, cantik banget. Yang tadi jalan sama Mark itu, 'kan?" Ucapan bundanya Jeno itu membuat gue terdiam. Cewek mana yang enggak malu kalau dibilang kayak gitu. Dih, malu banget. Lalu rasa malu itu agak digeser dengan kekikukan Somi dan keplongoan gue. Untung gue belum mengangkat tangan terlebih dahulu buat salim. Nyatanya, tangan bundanya Jeno terulur panjang ke cewek sebelah gue ini.

Gue, Somi, dan Jeno sama-sama membuka mata lebih lebar. Kayak blank aja gitu. Gak tahu harus berkata apa.

Dan dengan kekehan canggung ala sosialita handal, Somi tetap menyambut tangan itu dan menyaliminya. Iya, pakai cium tangan. "Hehehe. Saya Somi, Tante. Ini yang Fay." Dia mencoba membenarkan.

"Oh, ternyata ini yang Fay? Hmmmm." Gumaman akhir beliau membuat perasaan gue gak enak. Takut beliau juga malah ikutan canggung.

Berganti gue yang menyalimi beliau. Gue pasang senyuman yang sebersahabat mungkin. Mengabaikan kesalahan kecil tadi. Orang bisa aja salah, 'kan? "Hehehe, iya, Tante. Saya yang Fay. Dia Somi." Oke, penjelasan gue enggak guna emang.

"Tante kira yang ini, yang Fay. Ih, kamu kok cantik banget, sih? Gemes lihatnya."

Jangan berharap banyak. Itu yang gue tanamkan setiap gue ada di samping Somi. Contohnya kayak sekarang. Karena, ya ... mau bagaimana lagi. Temen gue ini cantiknya cetar sekali. Ibarat setangkai mawar merah, nih, ya, gue cuma daun keringnya doang. Cuma pelengkap. Tentu saja pujian itu tadi ditujukan ke Somi dan bukan ke gue.

Beberapa detik kemudian, Somi udah pindah di samping bundanya Jeno untuk membantu. Apa gue bilang? Somi itu sebenernya gampang buat hadapi orang yang baru dikenal. Cuma tadi agak konslet aja kena penyakit gue.

"Sorry." Gue menoleh. Jeno berdiri di samping gue. Dia sedikit berbisik.

"Kenapa?"

"Bunda gue." Senyuman canggung itu membuat mata Jeno hampir hilang.

"Gak papa." Gue kelihatan mengenaskan banget, ya, berdiri sendiri di luar meja dapur karena ditinggal Somi ke sana? Ya, gak mungkin bangetlah gue langsung main nyerobot dan ikutan nimbrung di sana dengan jurus sok kenal dan care.

"Eh, Somi. Tolong itu cemilannya dibawa ke sini, dong. Biar Tante tata." Bundanya Jeno melihat gue yang masih mematung. "Somi?"

Emang aslinya lola, kan. Gue baru sadar kalau yang diajak omong itu gue. "Ah, yang ini, Tante?"

"Iya, yang itu." Sabar banget, sih, bundanya Jeno menghadapi orang lemot kayak gue.

Gue pun mengambil plastik yang ditunjuk dan segera memberikannya ke bundanya Jeno. "Ini, Tante."

"Makasih, Somi." Beliau tersenyum. Gue pun gitu membalas gitu juga.

"Bunda. Ini yang namanya Fay dan yang baju oranye itu yang Somi, Bun." Jeno kelihatan sedikit gemes sama bundanya.

"Oh, iya. Bunda lupa. Yang ada di pikiran Bunda, tuh, yang Fay yang ini." Beliau mengelus pundak Somi sambil tersenyum ceria. Khas orang tua yang menemukan calon mantu yang pas.

Kalau kalian mau tahu Somi lagi ngapain, dia sedang mencuci buah di washtafel. Sedangkan gue masih mematung dan bingung sendiri mau bantu apaan. Bundanya Jeno juga enggak minta gue buat melakukan sesuatu. Jadilah gue seperti patung orang gepeng yang biasa dipajang depan toko. Gak berguna banget, astaga, gue ini.

"Ehmm, Tante." Setelah membulatkan tekad, gue berusaha untuk maju. "Boleh aku bantu sesuatu?" Ih, sumpah gue gak tahu lagi apa yang harus gue lakuin selain ini untuk menyelamatkan harga diri.

"Oh, iya. Boleh, kok. Tolong itu yang bahan makanan ditata di lemari sana dan yang perlu dimasukkan kulkas, tolong masukin, ya." Mata gue memindai plastik mana aja yang tadi ditunjuk oleh bundanya Jeno. Gue nanti gak boleh salah pas naruh. Seenggaknya dengan gitu gue gak malu-maluin nama Somi yang tersandang di gue sekarang.

"Bun, mereka temen Jeno dan mau main, loh, Bun. Lagian ini pertama kali mereka ke sini. Masa disuruh bantu Bunda." Jeno memilah cemilan.

"Ih, gak papa kali. Lagian mereka juga mau bantu. Iya, kan, Fay?"

Gue langsung menoleh. Tapi, bundanya Jeno memberikan senyumannya ke Somi. Ah, lupa. Gue, kan, Somi. Mulai sekarang gue harus membiasakan diri.

"Hehehe. Iya, Tante. Biasa aja, kok." Somi menjawab dengan santai. Enak, ya, jadi dia. Cantik, penuh pesona, gampang berbaur, dan gampang diinget orang. Ah, udahlah. Gue ngelantur apa. Toh, orang juga punya kelebihan sendiri. Kecuali gue, sih.

Tangan gue meraih plastik yang tadi ditunjuk oleh bundanya Jeno. Pas gue mau coba angkat, astaga ini isinya apa aja. Untung gue belum narik dari dari atas meja. Kalau jebol atau jatuh bisa malu gue.

"Itu berat, Fay. Sini biar aku aja." Kak Mark sedikit berlarian menghampiri dan langsung meraih plastik yang mau gue ambil. Gue intip ternyata isinya tepung-tepungan dan beberapa botol kaca. Pantes berat banget.

"Eh, makasih, Kak."

Kak Mark memindahkannya di depan lemari dapur bagian bawah. "Biasanya ini di sini." Dia membuka pintu lemarinya dan berlutut.

Gue ikutan. Secara, itu tadi kerjaan gue. Kami pun menatanya satu per satu. "Kak, miring." Gue membenarkan letak tataan Kak Mark.

"Tahu, gak? Mark itu suka banget bantuin Tante. Gak kayak si Jeno itu. Sukanya makan doang, Fay," cerita bundanya Jeno. Biasa ibu-ibu. Suka banget buka aib anaknya.

Gue mendongak. "Oh—" Untung gue ngucapinnya lirih banget. Gak ada yang denger kecuali Kak Mark yang ada di samping gue. Lagi-lagi, gue lupa. Gue yang Somi di sini.

"Oh, gitu, Tante. Pantesan badannya segede gaban." Somi menyahuti. Dia melirik ke belakang, ke gue. Wajahnya menyiratkan sesuatu. Gue cuma senyum doang buat tanggapan.

Jeno menggerutu, tidak terima. Bundanya juga tidak mau kalah. Begitu juga Somi yang terdengar kesal saat Jeno jawabi perkataan bundanya. Mereka bercakap-cakap dengan sedikit agak ngegas. Apalagi Jeno dan Somi.

Gue kembali mengeluarkan barang-barang dari plastik dan menatanya. Gak seharusnya juga gue merasa aneh kayak gini. Perasaan apa, ya? Sedikit terabaikan? Emang dari awal yang diajak bicara sama bundanya Jeno, kan, si Somi. Ya, meskipun pakai nama gue. Kenapa juga, sih, gue pake acara lupa terus. Jadinya ngerasa aneh sendiri, kan.

"Fay, kamu gak papa?" tanya Kak Mark. Dia menatap gue peduli.

Sumpah, kayaknya gue kelihatan melas banget. Sekalian gue nangis boleh, gak  sih, biar tambah menghayati.

"Gak papa, Kak. Emang kenapa?" Gue memberikan senyuman tegar.

"Bunda dari tadi salah sebut terus. Gak biasanya begitu, sih. Maaf, ya." Mungkin dia enggak enak.

"Gak papa, Kak. Siapa aja bisa salah kali."

Selesai satu plastik. Gue berdiri dan hendak mengambil plastik yang lain setelah menutup pintu lemari. Belum juga tangan gue menggapai plastik kedua, Kak Mark udah meraihnya.

"Ini juga berat. Biar aku aja." Plislah, Kak Mark. Biarin gue juga punya effort dikit, kek, biar terkesan rada berguna.

"Makasih, Kak." Apalagi yang bisa gue ucapin selain itu dan melangkah di belakang Kak Mark untuk menyelesaikan semuanya. Oke. Kali ini menata barang di kulkas. Paling enggak, gue juga punya kulkas di rumah. Ya, meskipun yang biasa nata barangnya Ummi, Mas Yuta, atau Chenle. Tapi, setidaknya gue pernah buka dan lihat isinya. Lagi pula dengan bantuan Kak Mark bisa beres dengan baik, kan?

Selama gue menata barang di kulkas, selama itu pula gue bolak-balik menoleh ke belakang karena nama gue disebut dan dipanggil. Nyatanya, itu Somi yang dipanggil dan diajak bicara dengan nama lo, Fay. Lo belum tua tapi suka pikun juga. Gue menggigit bibir bawah sambil nunduk. Dada gue agak sesak. Ngapain juga gue lebay amat. Sebenernya, kalau capek, sih, enggak. Cuma, ya, bagaimana lagi. Itu nama gue dan telinga gue udah terbiasa.

"Loh, Tante udah pulang? Aku beli mie ayam, Tan. Ayo makan." Suara itu. Gue langsung menoleh dan mendapati Haechan berdiri di samping Jeno. Dia meletakkan bawaannya di atas meja.

Pandangan kita sempat bertemu tapi Haechan langsung memutusnya. Dia lebih memilih bercakap dengan bundanya Jeno dari pada menyapa gue. Yaiyalah. Buat apa gitu nyapa gue. Tadi juga udah ketemu.

"Siapin mangkoknya, Jeno. Abis ini kita makan mie ayamnya Haelmi," pinta bundanya Jeno.

"Iya, Bunda sayang."

Gue masih menata barang di kulkas.

"Kulkasnya jangan dibuka kelamaan. Nanti enggak dingin." Peringatan.

"Ah, iya, Tan. Maaf."

"Habis ini juga selesai, kok, Bun." Kak Mark menimpali.

Gue melihat masih ada satu plastik lagi di atas meja makan. Isinya kelihatan enggak banyak. Jadi dengan inisiatif dan motivasi untuk menyelesaikannya dengn cepat, gue berdiri dan mengambil plastik itu. Sejenak, gue gak peduli dengan keberadaan Haechan yang masih berdiri di balik meja itu. Gak peduli dengan kecanggungan di antara kami.

"Makan." Nadanya kayak perintah, tapi terdengar cuek banget. Gak ada kata lain lagi dan cuma berdiri di hadapan gue.

"Iya. Tinggal satu lagi," ucap gue lirih. Gue masih diam dan belum beranjak. Berharap aja ada kata lain yang bakalan diucapkan Haechan. Tapi, namanya juga harapan. Gak selalu terpenuhi. Dia langsung pergi ke ruang makan, menyusul yang lainnya. Gue menghela napas masyghul. Udah jelas Haechan masih kesel, ngapain bodoh banget gue malah berharap lebih.

"Fay, bawa sini." Suara Kak Mark menyadarkan gue. Gue segera menghampiri cowok itu dan menyelesaikan semuanya. Gak ada percakapan antara gue dan Kak Mark selama itu. Gue juga gak ada niatan apalagi pembahasan buat diperbincangkan dengan Kak Mark.

Setelah semua selesai, kami berdiri. "Mark, Somi, ayo cepetan ke sini. Udah ditunggu ini." Gue mengangkat pandangan dan memberikan senyuman.

"Iya, Tan, sebentar. Sekalian nata plastiknya. Kalau mau duluan gak papa." Lalu, gue mengambili plastik-plastik yang sudah kosong itu dan membawanya di atas meja dapur. Gue mulai melipat-lipat plastik menjadi bentuk segitiga.

"Mau kamu apain?" tanya Kak Mark.

"Dilipet biar rapi. Biar gak makan tempat banyak."

Kak Mark pun akhirnya berdiri di sebelah gue dan mengamati apa yang gue lakukan. Dia mengambil satu plastik dan mencoba untuk meniru. "Terus habis gini gimana?"

Gue melihat karya Kak Mark lalu memberitahukan langkah selanjutnya. Dia pun meneruskan dengan sangat tekun. Lucu juga, sih, Kak Mark kalau kayak gitu. Semangat sama tekadnya gede banget. Beberapa kali gue mendengar dia menggerutu dan mengulangi lagi lipatannya. Hingga dia berhasil menyelesaikan satu. "Yes!" girangnya.

Gue tertawa. Dia meletakkan karyanya di antara plastik lipatan gue. Gue udah selesai melipat tujuh plastik dan punya Kak Mark yang kedelapan. "Good job, Kak."

"Hehehe. Lumayan juga, kan, aku?" Senyumannya lebar. Udah kayak menang lomba aja.

Gue mengangguk.

"Kalian berdua cepetan, deh. Laper gue." Jeno memukul-mukul sendoknya ke mangkok...

Kami pun menuju meja makan. Senyuman gue seketika hilang saat melihat tatapan datar Haechan ke gue.

***
Semoga kalian enggak capek nunggu. Makasih banyak buat kalian yang masih nungguin cerita ini up date. Jangan lupa tinggalin jejak, ya. 💚

Lily

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro