Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4.1 Rumah Jeno

"Fay," panggil Mas Yuta yang membuat gue langsung meletakkan bulpen ke meja. Dengan napas yang terengah, gue mengelus dada. Sumpah jantungan. Siapa yang gak kaget gitu kalau buka pintunya udah kayak preman gebrak meja warung?

"Apa, Mas?" tanya gue sambil perlahan menoleh.

"Lagi ngapain lo?" Dia mendekat dan mengintip di belakang badan gue yang masih duduk manis di kursi.

"Belajar. Ngapain, sih, ke sini? Bikin anak orang mau mati aja."

"Cariin Somi, tuh. Hape lo di mana?"

"Heh?" Gue langsung mengambil ponsel gue yang tertelungkup di atas meja belajar. Dari tadi emang di situ dan enggak gue pindah. Ketutup buku gue, sih. Tapi, kenapa enggak kedengeran ada notif masuk? Tumben banget Somi mampir dan enggak kontak gue dulu.

"Lah, si anjir. Lo matiin." Pipi gue jadi sasaran. Kalau gini yang anjir siapa coba?

"Ya, maap. Gue lupa kalau tadi gue matiin notifnya." Gue tepuk-tepuk tangan laknat Mas Yuta biar pipi gue bebas. Pasti habis ini merah. Mas Yuta kalau beraksi gak tanggung-tanggung soalnya.

"Cepetan keluar sana, gih. Dianya masih di luar."

"Lah, kenapa?"

"Ya, soalnya gue lupa enggak nyuruh dia masuk tadi."

"Astaga, Mas." Gue langsung beranjak dari kursi menuju pintu utama. Gak lupa sama ponsel, gue bawa.

"Hei!" seru gue saat mengenali punggung cantik itu sedang membelakangi rumah gue.

"Hei, baby!" Dia berbalik dan langsung peluk gue. "Ya, ampun. Hampir sakau gue gak ketemu lo dua hari."

"Lo, sih, sibuk mulu." Kami pun nge-hype seperti biasanya. Saling gemes, saling kangenan, dan saling ciwit pipi. Gak bisa nahan diri gue kalau udah sama cewek ini. Dia kayak boneka soalnya.

"Yuk."

Lah, 'yuk'? Tetiba aja?

"Ke mana?" tanya gue. Gue kira dia ke sini karena emang mau main ke rumah. Tapi, kok, 'yuk'?

"Ke rumah Jeno. Dia lagi sendirian di rumah. Lo gak buka hape?" tanya Somi sambil mengarahkan pandangannya ke tangan gue yang bawa ponsel. Tangannya masih nyaman menggatung, melingkar di pundak gue. Oke, kalau orang lihat pasti udah salah paham sama posisi kami sekarang.

"Hehehe. Gue matiin notifnya tadi. Sorry."

Somi memutar bola matanya. "Lagi belajar?"

Gue mengangguk sambil mulai menunduk untuk membuka ponsel gue. Mata gue langsung terbuka lebar saat melihat angka yang memenuhi ruang chat kami. Lebih dari lima ratus. Apa aja yang mereka bicarain?

"Terus, kita ke rumah Jeno, nih?" tanya gue memastikan.

Somi mengangguk. "Cepetan, gih. Lo bawa juga buku pelajaran lo, deh. Belajar di sana."

"Oke." Gue pun beranjak. Selangkah kemudian gue menoleh dan ingat sesuatu. "Lo gak masuk? Gak pake jaket gitu." Gue lihat lengan Somi yang tak ditutupi kain dari atas.

Somi menggeleng. "Tenang aja. Kayak gini biar gak gerah."

Gue mengangguk. "Mekanya lo gak nyelonong masuk."

Dia tertawa. "Tahu aja lo."

Gue cuma merotasikan mata gue. 'Tahu aja lo'? Terus gue selama ini gue siapanya dia, astaga. "Ya, udah. Tunggu gue, ya."

Dengan kekuatan secepat motor Mas Yuta melaju, gue masuk ke kamar dan memasukkan buku pelajaran yang belum gue pelajari. Sempet agak kaget gue ternyata masih ada Mas Yuta di kamar gue.

"Ke mana?" tanya makhluk yang sedang enak-enakan tiduran di atas kasur gue sambil memainkan ponselnya.

"Rumah Jeno. Nanti kalau yang lain nanyain, bilang aja aku keluar sama Somi."

"Harus banget, ya, menyembunyikan fakta?"

"Gak papa. Yang penting enggak bohong."

"Lo udah kayak Om Lucy aja."

Dahi gue berkerut. Siapa itu?

"Lucifer. Series yang dilihat Taeyong biasanya."

Bibir gue membentuk huruf O. "Gak tahu."

"Iya, gak tahu. Mana bisa lo tahu kalau yang lo lihatin kuda poni." Nadanya ngejek banget.

"Ih, itu kesukaannya Somi, ya."

"Sama aja. Somi temen lo."

"Gak ada yang bilang kalau dia temennya Sungchan." Gue berdiri menghadap Mas Yuta. Tas sudah bertengger di punggung gue. "Kenapa emang kalau lihat unicorn?"

"Gak papa. Gak ada yang mempermasalahkan." Dia menjulurkan lidahnya dan kembali fokus dengan ponselnya.

Gue menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan penuh kekuatan. Percuma ngomong sama anak Pak Suho ini. Yang ada gue menghabiskan energi. Masih ada pelajaran yang belum gue tilik tadi. Mending gue simpen energi gue buat ngerjain pr.

"Gue pergi." Lalu gue mengucapkan salam sambil menutup pintu kamar setelah menyambar jaket yang tergantung di belakang pintu.

"Astaga!" Beneran gue kaget. Gimana enggak, tiba-tiba aja di depan gue udah ada badan yang berdiri setelah gue berbalik. Kepala gue terdongak. Ludah gue sulit tertelan. Wajah datar Mas Taeyong sungguh bikin gue terdiam. Ya, gue tahu kalau Mas Taeyong ganteng memesona, tapi auranya itu malah jadi mencekam. "Ada apa, Mas?"

"Yuta di dalem?" tanyanya datar sama kayak mukanya. Kenapa harus menyiakan wajah gantengnya gitu, loh, kalau bisa senyum?

Gue mengangguk patah-patah. "Ada, Mas."

Dia cuma berdehem. Dih, padahal tadi nanya.

"Ke mana malam-malam gini?" tanyanya.

"Keluar sama Somi."

"Ke mana?"

Gue mengangkat kedua bahu. "Pokoknya diajak Somi keluar."

"Gak enak belajar di kamar karena ada Yuta? Kalau gak nyaman suruh aja dia keluar."

Lah, sok tahu banget. Lalu gue mengikuti arah matanya. Ke tas gue. Owalah.

"Enggak, kok. Biarin aja Mas Yuta di dalem." Lagian bebas kali mau mengeram di mana aja.

"Dari pada kamu keluar. Udah malem kayak gini." Dia malah menjulurkan tangannya, mau membuka pintu kamar gue. Dengan sigap, gue memegang tangan kaka pertama gue itu untuk menahan.

"Gak usah, Mas. Aku juga udah lama enggak main bareng Somi. Ini juga baru jam setengah tujuh." Gue menunjuk ke jam tangan yang melingkar di tangan dia.

Dia melirik sebentar dan mengambil kembali tangannya lalu memasukkannya ke saku celana. "Sampai jam berapa?"

Gue berpikir sejenak. "Jam sembilan paling," jawab gue asal. Gak mungkin, 'kan, gue main sama temen-temen gue cuma setengah jam doang.

"Setengah sembilan."

Lah? Apaan, sih?"

"Tapi, kayaknya bakalan jam sembilan, deh, aku baliknya."

"Bagi lokasi."

Heh? Gak salah? "Iya. Iya. Jam setengah sembilan." Gue gak mau memperpanjang masalah sama kakak pertama gue. Dari pada gue gak nyaman nantinya. "Kalau bisa, selesai jam delapan, wes."

"Oke."

Gue menghela napas lega. Tapi, kembali lagi harus gue tahan udara di paru-paru saat gue merasakan tubuh gue dipeluk dan dahi gue dicium. Otak gue ngeblong. Mas gue kesambet apa? Ada yang tahu?

"Jangan malem-malem pokoknya. Nanti masuk angin."

Dia gak lihat apa gue udah bawa dua jaket?! Dih, kayaknya kakak gue ini perlu periksa lebih lanjut ke orang pinter. Gak mungkin banget soalnya konsultasi ke orang bodoh.

"Iya." Hanya itu jawaban gue sebelum dia berbalik dan meninggalkan gue yang mematung untuk beberapa saat. Sumpah begidik. Kakaknya Mas Yuta itu mengerikan.

Gue pun melangkah keluar dan memberikan salah satu jaket ke Somi. Dia malah nyengir. Gue tahu, aslinya dia juga kedinginan. Kami memakai jaket terlebih dahulu lalu pergi ke rumah Jeno yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah gue. Pakai apa? Ya, jalan kaki bareng sambil menikmati pemandangan dan keramaian malam hari di perumahan. Kalau ditanya capek atau enggak, ya menurut Anda?

***
Hai, aku balik lagi. Maunya aku up date kemarin malam. Eh, malah ada acara dan berakhir ketiduran.

Part ini pendek, sih. Beberapa part setelahnya juga kayaknya. Hehehe. Maaf, kalau digabung jadi satu takutnya nanti malah kepanjangan.

Makasih buat kalian yang udah dukung dan bertahan serta masih nunggu cerita ini. Dari awal aku udah bilang, kan, ya, kalau isi buku ini, tuh, ya, seputar Haechan dan Fay. Entah ini mau dibawa ke mana juga pokoknya aku mencoba alirin aja. Gak jelas banget emang, namanta juga selingan. Hahaha.

Jadi gitu, deh. Pokoknya makasih banyak. 💚

Lily

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro