Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3.3 Toko Taman Bunga

Kalau kalian bertanya tentang cerita jalan gue dan Kak Mark bagaimana, gue bakalan jawab biasa aja. Kami menuju ke toko taman bunga yang ada di dekat sekolahannya Yeji. Iya, emang jarak dari rumah gue jauh banget. Secara gitu, sekolahannya Yeji ada di kota sebelah. Gue juga gak mikir lagi buat pergi sama Kak Mark. Yang penting gue udah ijin ke orang tua dan boleh. Plus, Mas Yuta juga tadi memberikan wejangan untuk Kak Mark panjang kali lebar sebelum kami berangkat. Gue tahu kalau itu wejangan ya ... nebak aja, sih. Soalnya, Mas Yuta serius banget dan Kak Mark cuma angguk-angguk aja.

Yang aneh menurut gue di sini adalah Mas Yuta. Ya, kenapa gitu dia gak ada inisiatif buat nganterin gue dan biarin gue jalan sama Kak Mark? Apa Kasihan sama Kak Mark karena udah nunggu gue ganti baju dulu dan siap-siap? Ah, mungkin itu. 

Setelahnya gue pergi sama Kak Mark naik motor. Dia udah ganti baju juga, kok. Pokoknya kami gak pakai seragam. Kak Mark nyamperin gue saat udah balik dari ganti baju di rumahnya.

"Kamu mau cari apa tadi?" tanya Kak Mark saat kami sudah sampai tujuan. 

Gue turun dari motor dan melepas helm yang gue pakai. Lalu, gue menyerahkannya ke Kak Mark. "Bibit bunga mawar. Tapi, katanya Chenle, bunganya itu gak biasa. Kayaknya di sini kemungkinan ada juga, deh. Kalau ke Surabaya bakalan kejauhan soalnya." Gak mungkin juga, dong, gue bilang harganya.

Kak Mark mengangguk dan meletakkan helm kami dengan baik di atas motor. "Mawar jenis apa?"

Gue terdiam sejenak. "Hmm?" Sumpah kenapa gue jadi cengok gini. Boro-boro tahu nama mawarnya, gue aja baru tahu kalau mawar punya jenis yang berbeda-beda. Ya, maaf, gue emang lemah dalam pelajaran biologi tanaman gini.

"Mawarnya yang kayak gimana?"

Gue menggigit bibir bawah gue. Mana tahu gue. Gue bego banget gak tanya dulu itu mawar jenis apaan ke Chenle. Apa gue telepon adik gue aja, ya, sekarang?

"Ya, udah kita jalan dulu aja, ya. Siapa tahu nanti kamu bisa inget mawarnya kayak gimana." Kak Mark mulai melangkahkan kaki menuju jajaran toko bunga di sana. 

Gue masih mematung, memproses ajakan Kak Mark yang ternyata pengertian banget. Huhuhu. Rasanya gue pengin nangis aja sekarang. Peka banget kalau gue gak tahu. Tapi, di detik selanjutnya gue tersadar kalau itu lebih memalukan. Ah, kayaknya gue emang salah iyain buat jalan sama Kak Mark.

"Ayo, Fay!" Kak Mark sudah beberapa langkah di depan sana dan dia melambaikan tangan ke gue.

Gue mengangguk sambil sok gak tahu malu dan menghampiri doi. Baiklah, anggap aja Kak Mark beneran gak tahu dan gak peduli dengan ketidaktahuan gue. Kami pun mulai berjalan menyusuri pertokoan bunga yang membentang sepanjang jalan. Jalannya dinamakan Jalan Kembang, soalnya memang penuh bunga. Kenapa tadi gue bilang toko taman bunga, itu karena emperannya penuh dengan bunga yang malah terlihat seperti taman. Gak tahu, sebutan itu sudah gue kenal dari kecil. Kayaknya keluarga gue juga menyebut tempat ini demikian.

"Masuk sini?" tawar Kak Mark sambil menunjuk toko ketiga di kiri jalan. Tambahan informasi, kanan jalan itu juga sama, ada jajaran toko bunga. Pun jalannya ini bukan jalan besar yang biasa di lewati kendaraan bermotor. Malahan seperti gang perumahan.

Gue mengekor Kak Mark yang sudah membuka pintu toko pertama. Kami langsung disambut dengan aroma khas bunga yang gue sendiri gak tahu secara spesifik itu bunga apa. Mata gue tertuju ke beberapa tatanan mawar yang ada di lemari seperti etalase yang nempel di dinding. Hampir aja gue lupa untuk menutup mulut gue karena sangking kerennya warna-warna mawar di sana. Di tambah lagi dengan sinar lampu yang menerangi. Sungguh terlihat glowing. Makanya Mas Taeyong suka banget sama mawar.

"Bagus banget, ya?" Kak Mark ikut berdiri di sebelah gue dan melihat-lihat isi etalase itu.

Gue mengangguk setuju. Mana gemes banget ada yang masih kuncup, belum mekar di pinggir.

"Punya Mas Taeyong yang mana?"

Mata gue membulat. Gue lupa rencana sendiri yang mau telepon Chenle buat tanya tentang tanamannya Mas Taeyong. Ah, sumpah. Gue ini bego atau apa sebenernya.

Gue pun menggeleng pelan. "Punya Mas Taeyong belum gede. Jadi, aku gak tahu yang kayak gimana. Yang aku tahu itu mawar pagar gitu. Tapi enggak gede-gede. Jadi, aku enggak yakin itu mawar pagar apa enggak." Akhirnya, gue jujur.

Dah, gue gak peduli lagi sama yang namanya martabat dan gengsi. Udah dari tadi anjlok di mata Kak Mark. Gak peduli, pokoknya. Toh, dia juga saudara temen gue. 

"Ada yang bisa saya bantu, Kak?" Suara penjaga toko itu menginterupsi gue dan Kak Mark yang mungkin lagi tercenung dengan kebodohan gue.

"Kami mau lihat-lihat dulu, Mbak." 

Kak Mark, makasih. Makasih karena udah selamatkan martabat gue dan membuat gue tambah malu sama dia sendiri.

"Mau cari buat apa, ya, Kak?" tanya penjaga toko itu lagi.

Gue manatap Kak Mark yang melihat gue sekilas. "Mawar buat ditanam di rumah, kok, Mbak. Mungkin kami bakalan beli benih bibit juga sama tanaman bibitnya."

Penjaga toko itu mengangguk. "Baik. Kalau butuh apa-apa, saya ada di balik meja situ. Lagi nata bunga." Dia menunjuk meja kasir di pojok ruangan bagian dalam.

Kami mengangguk dan mbaknya pun berlalu.

Gue mendekatkan diri ke Kak Mark. "Emang, apa bedanya?"

Kak Mark menoleh ke gue. "Apanya?"

"Itu. Bibit tadi."

"Oh, benih bibit sama tanaman bibit?"

Gue mengangguk. Gak salah, 'kan, ya, kalau gue tanya. Gue beneran gak tahu.

"Iya, beda." Kak Mark tersenyum. "Yang satu bentuknya biji. Satunya lagi bentuk tanaman tapi masih kecil."

Gue membuka bibir gue dan mengangguk. "Aaahh, gituuu."

Kak Mark malah terkekeh. "Iya." Entah itu untuk jawaban yang mana. "Jadi, kamu udah inget punya Mas Taeyong yang kayak gimana?"

Gue menyengir. Lalu menggeleng. "Enggak tahu. Tapi, kata Mas Taeyong, benihnya itu lima puluh ribuan."

"Heh?" Kak Mark membelalakkan matanya.

"Iya. Katanya Mas Taeyong gitu."

"Gak salah?"

Gue menggeleng pelan. Lama-lama gue ragu juga sama ingatan gue. Tapi, katanya Mas Taeyong gitu, kok. Kalian masih inget, 'kan?

"Per bibitnya, tanaman kecil-kecil gitu kata Mas Taeyong lima puluh ribu. Di potnya dia ada sepuluh. Masih kecil banget, Kak. Jadi, aku gak tahu spesifiknya kayak gimana."

Kak Mark mengangguk. "Apa tanya dulu aja ke Mas Taeyong biar lebih jelas."

Gue langsung menggeleng kepala dengan cepat. "Jangan!" Gak mungkin banget tanya ke Mas Taeyong, lah. Orang gue beli buat gantiin aja sembunyi-sembunyi dari dia. Kalau enggak, gue pasti ditolak dan gue lagi yang ngerasa gak enak nanti. 

Alis Kak Mark terangkat. "Ah, buat suprise, ya?"

Gue mengangguk mantap. Kak Mark ini bisa baca pikiran atau gimana?

Dia malah tertawa dan menepuk pelan pundak gue. "Oke. Oke." Kemudian dia melangkah ke tempat yang lain. Gue hanya membuntuti sambil sedikit memandangi bekas tepukan Kak Mark.

"Mbak, kita ke yang lain dulu, ya. Mau lihat-lihat dulu." Kak Mark mendatangi penjaga toko tadi dan langsung dipersilakan dengan sangat sopan.

Kami pun beranjak dari toko itu dan menuju toko yang lain. Entah, berapa toko yang telah gue kunjungi dengan Kak Mark dan kami gak menemukan apa-apa. Jelas banget. Gue aja lupa tanamannya kayak mana. Gak lupa. Malah gak tahu. Gue mau telepon Chenle dan tanya tentang jenis tanaman mawarnya Mas Taeyong itu, tapi gak ada kesempatan. Kak Mark aktif banget ke sana kemari, lihat-lihat tanaman dan bebungaan. Gue yang sedari tadi buntut di belakangnya cuma bisa diam sambil sesekali mengangguk-angguk seakan paham dengan apa yang diperbincangkan oleh Kak Mark dan para penjaga toko. Ya ... sebenarnya gue paham sedikit, sih. Pokoknya tentang tanaman gitu-gitu, lah. Gak mungkin dong kalau kakaknya Jeno ini tiba-tiba bahas tentang rasi bintang.

"Capek, ya?" tanya Kak Mark saat kami keluar dari toko bunga yang entah sudah masuk hitungan keberapa. 

Gue mengangguk sambil tersenyum sungkan. Asli, gue jadi merasa bersalah banget karena udah membawa Kak Mark ke sini dan malah muter-muter gak jelas. Masuk dari satu toko keluar ke toko yang lainnya. Begitu bolak-balik. Untung langit tidak ikut ngambek ke gue karena udah ngerjain kakaknya Jeno satu ini.

"Beli minum dulu, yuk. Pasti kamu haus." Ajakan Kak Mark itu langsung gue beri anggukan. Gue tahu di dekat sini ada kafe. Gue harus traktir Kak Mark. Hitung-hitung buat permintamaafan gue karena udah buat dia ikutan susah.

"Di kafe yang banyak tanemannya depan situ, yuk, Kak. Tempatnya bagus."

"Oh, yang gayanya florist itu?"

Gue mengedip-ngedipkan mata beberapa kali sambil tetap melihat ke Kak Mark. Dia malah tertawa. Emang ada yang lucu?

"Iya. Yang banyak tanamannya. Yang kayak toko bunga itu, 'kan?"

Gue mengangguk ragu. "He ... eh."

Dia malah tertawa lagi. "Oke ke sana. Di sana juga banyak macem menunya."

Gue menghela napas. Kenapa gue jadi orang yang bego banget, sih, bareng kakaknya Jeno ini?

Kami pun ke sana dan memesan menu yang kami mau. Ternyata Kak Mark suka minum susu rasa melon. Gue kira dia bakalan pesan es kopi kayak yang biasa Jeno pesan. Hehehe, saudara gak mesti harus punya selera yang sama, kok, ya. 

Gue kira rencana gue bakalan lancar untuk mentraktir Kak Mark. Nyatanya, enggak sama sekali. Gue keduluan. Ah, ngapain pula gue pakai acara kebelet buang air kecil segala tadi. Kenapa juga tadi gue gak langsung bayar aja sebelum ke toilet. Haduh, gue jadi gak enak dobel. 

"Udah?" tanya Kak Mark yang sudah menyelesaikan pembayaran di kasir. Dia terlihat agak terkejut dengan kemunculan gue yang juga berada di tempat kasir.

"Hehehe ... udah." Gue menampakkan gigi gue. "Mau terusin sekarang atau kita santai dulu di sini?" Gue ngomong apa, sih, astaga. Dari tadi juga gue sama Kak Mark cuma diem sambil minum pesanan masing-masing. Sesekali aja dia ajak gue omongan. Itu pun tentang bunga mawar yang gak gue ngerti kecuali sepuluh persennya.

"Udah jam segini." Kak Mark menurunkan tangannya yang baru saja dia gunakan untuk menilik arloji yang nangkring di sana. "Emang kamu gak mau ketemu Yeji? Ajak ketemuan gitu? Mumpung di sini."

"Heh?" Gue terkejut dengan refleks gue sendiri. "Eh, maaf. Ma-maksudku ... I-iya juga, ya. Hehehe." Gue sengaja memalingkan wajah ke arah lain dan memejamkan mata buat manahan rasa malu gue. Ini yang gak gue suka kalau jalan sama orang yang enggak begitu gue kenal. Gue gak tahu mau bersikap gimana. Mau senatural apapun, naturalnya gue, ya ... agak kagok. Dahlah.

"Aku telepon dulu, ya, Kak," ucap gue sambil pamitan.

"Iya. Aku tinggal ke parkiran dulu, ya. Ambil motor. Biar pulangnya enak. Gak kejauhan. Kamu di sini dulu sendirian, gak papa?"

Gue mengangguk cepat. Iya, ih. Cepetan sana pergi dulu, Kak. Gue dah malu banget. "Iya, Kak. Gak papa. Aku mau telepon Yeji juga." Pun aku mau overthinking sebentar habis ini.

Kak Mark tersenyum. "Oke kalau gitu. Hati-hati." Dia memang cuma menepuk pundak gue pelan. Gak kayak Kak Jungwoo yang main usek kepala kayak tadi pagi. Cuma yang membuat gue menderita adalah efeknya itu nembus sampai dada gue sesak karena jantung gue mau lompat. Kaget, tau.

*******

Hai, aku kembali lagi dengan cerita absurd ini di sela kesibukanku nulis di platform ungu sebelah. Kalau kalian mau baca juga di sana, ketik aja namaku. Lily Arriva gitu. Judulnya You are The Reason Why.

Yah, malah promo. Ya, udah cuma gitu aja. Sekedar pemberitahuan kalau aku up date-nya mbuh-mbuhan.

Makasih banyak buat kalian yang masih mau baca work-ku ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro