Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3.1 Tanaman Mas Taeyong

Dasar Mas Yuta. Emang kalau udah dari sononya ngeselin, ya, bakalan terus ngeselin meskipun malamnya gue sempet terharu dengan tindakan dia yang langsung nelponin Joan karena tahu gue kangen. Paginya, dengan tanpa memikirkan perasaan gue, dia mengumbar cerita gue ke semua anggota keluarga pas sarapan.

"Jungwoo, Yah, yang cerita ke Yuta," jawabnya saat dia ditanya sumber berita.

Gue menunduk. Dalam hati, gue mengumpat dengan berbagai bahasa yang pernah gue pelajari. Gak, gue gak seberani itu untuk sekedar mengucapkan, "Kurang ajar!" di depan Ayah walaupun hanya keceplosan. Apalagi di depan Ummi. Induk keluarga gue serem kalau melotot, meskipun tetap cantik.

"Baru aja dua bulan, udah kebawa mimpi. Tunggu aja kalau udah bertahun-tahun, nanti Ayah kayaknya bakalan bawa kamu ke tempat Joan buat sambang."

Sungguh itu bukanlah jawaban yang gue perkirakan. Barusan, Ayah 'kan yang berbicara? Hal itu membuat gue tersenyum meskipun gue tahu Ayah tak sepenuhnya sungguh-sungguh dengan ucapan beliau. Setidaknya, beliau ada di pihak gue, tidak memojokkan seperti Mas Yuta dan dua buntutnya. Siapa lagi kalau bukan duo bontot, Chenle dan Sungchan. Ummi dan Mas Taeyong hanya tersenyum.

Ah, tidak. Lebih tepatnya, kakak pertama gue itu terlihat tidak peduli. Gue menarik napas dalam. Kok berasa agak kecewa gitu, ya?

"Makan, Fay." Ummi mencubit pipi gue pelan.

Gue yang sedari tadi mengamati Mas Taeyong pun menoleh. "Iya, Mi." Gue menyuguhkan senyuman yang manis biar gak kalah dengan milik Ummi.

Kami pun meneruskan acara sarapan dengan tenang setelah Ayah menegur kelakuan gue dan Mas Yuta yang saling ejek dengan gestur bibir. Tidak. Jangan tanya apa yang terjadi jika kami tidak menurut. Ayah kami bisa lebih kejam dari Ummi untuk memotong uang jajan kami.

"Aku duluan."

Semua atensi menuju ke Mas Taeyong yang tiba-tiba berdiri dengan membawa alat makannya yang kotor. Kecuali Sungchan dan Mas Yuta, sih. Mereka lebih perhatian dengan makanan yang masih belum masuk ke perut mereka.

"Ke kampus?" tanya Ummi. Kami menunggu jawaban. Suasana menjadi lebih serius.

"Ke halaman belakang." Mas Taeyong berlalu untuk menaruh piringnya di washtafel.

Ayah dan Ummi mengangguk. Akan tetapi, gue masih ingin bertanya. "Kenapa?" Gue sengaja memelankan suara dan mendekatkan bibir ke telinga Mas Yuta.

"Ngambek. Kayak lu."

Gue menjepit daging paha Mas Yuta di antara jempol dan telunjuk gue. Sebal. Mau tidak mau, dia harus menahan rasa sakit itu agar tidak kena penalti Ayah lagi.

Kami selesai makan tidak lama setelah itu. Gue menjalankan tugas fardlu ain gue sebagai tukang cuci piring. Sesekali gue mencuri pandang ke Mas Taeyong yang sedang jongkok di sana. Sebenarnya Mas Taeyong kenapa, ya?

*******
"Mas." Gue jongkok di samping Mas Taeyong yang menghadap ke tembok halaman belakang. Dia sedang membenahi tata letak pot-pot yang berukuran sedang di sana. Itu pot yang tempo hari penuh dengan tanaman kecil.

"Hmmm." Tanpa menoleh.

Gue menghela napas. "A-aku ... aku mau pamitan berangkat."

"Minta dianterin?" Sebenarnya itu adalah tawaran, tapi terdengar seperti sindiran dengan nada datar.

"Enggak. Enggak, kok. Cuma mau pamitan doang." Gue celingukan, mencari alasan. "Tangan Mas kotor, ya? Ya, udah. Aku duluan, ya. Dada Mas Taeyong." Gue membalikkan badan sambil menggigit bibir bawah gue. Di dapur sana ada Chenle yang menatap gue dengan penuh harap. Gue berisyarat dengan lambaian tangan kecil di depan dada lalu menyilangkan tangan. Chenle mengerucutkan bibir dengan wajah masam.

Iya, itu tadi modus. Sungchan dibawa Ayah dan Ummi sekalian jalan karena akan menghadiri akad nikah Ustadz Jeffery Al-Kautsary. Fun fact, ternyata ustadz yang biasanya gue denger ceramah dan kata mutiaranya di radio itu kenalan Ayah dan Ummi. Ternyata gue berada dalam tempurung kehidupan selama ini. Tahu gitu, gue bakalan menitip ke Ayah atau Ummi untuk minta tanda tangan beliau. Tapi, kayaknya gak epik, deh, kalau cuma tanda tangan. Kapan-kapan gue bakalan nitip doa.

Oke. Kembali ke gue dan Chenle yang sekarang berjalan gontai, keluar rumah. "Tu orang kenapa, sih? Sebel amat kalah ama tumbuhan." Chenle memulai gerutuannya. "Sumpah cemburu gue. Mana si Yuta juga sok sibuk."

Gue memukul lengan kanan adik gue itu. "Kalau ngomong gak bisa direm. Gitu-gitu masih mending dia mau lo titipin burcangjo tadi." Gue sedikit melotot. Tangan gue menarik gerbang untuk ditutup.

"Pret. Iya kalau keinget. Mana ada Yuta inget titipan gue kalau udah urusan pacarnya aja nomer satu."

Gue mengernyitkan dahi. "Pacar?"

Chenle mengangguk. Kami mulai melangkah beriringan menyusuri pinggir jalan. "Siapa lagi? Inget cewek yang tempo hari kita temui di lesannya budhe BoA? Itu ceweknya Mas Yuta."

"Mas Yuta pacaran?"

"Kagak."

"Lha terus?"

"Kawin! Ya, pacaranlah. Tapi, sembunyi-sembunyi. Takut ketahuan Ayah sama Ummi terus disuruh nikahin anak orang beneran. Mana belum kerja. Masmu, Mbak. Gak nggenah karo."

Gue mencubit Chenle yang pipinya agak menggembung karena kesal. Anak ini sebenarnya menggemaskan. Hanya saja dia mulai terkontaminasi kelakuan Mas Yuta dan kehidupan keras sekitar. Untung wajah polosnya masih ada. Masih bisa buat topenglah kalau di depan Ayah dan Ummi. Berbeda dengan Mas Yuta yang semuanya sangar.

"Cieeee ... jalan kaki ...." Suara itu memenuhi telinga gue dalan hitungan detik. Disertai kepala gue yang agak terdorong ke depan. Sangat cepat. Hingga gue baru menyadari kalau itu adalah seorang Haelmi Chanan yang duduk di jok belakang sepeda motor bapaknya. Menghadap bekalang pula. Dengan tanpa dosa, dia melambaikan tangan ke gue dan Chenle dengan kaki yang merenggang dan tangan kiri yang berpegangan kepada besi pegangan belakang jok motor. Bener-bener tuh anak. Gue mau menyumpah tapi banyak orang melihat. Mereka sampai geleng-geleng.

"Itu anak e Cak John, ya, nduk? Weeesss talah. Anak karo bapak gak ono bedane. Biyen bapak e mbuwulet saiki anak e sisan."

Itu perkataan ibu-ibu yang sedang menjaga tokonya di sebelah kanan kami. Gue dan Chenle menundukkan kepala untuk memberi penghormatan disertai senyuman canggung anak muda. Kalau tidak salah, beliau masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga gue. Tapi, gue lupa nama beliau siapa.

"Ati-ati, yo, nduk. Gak usah koncoan karo arek mbethik koyok ngunu."

Gue hanya tersenyum untuk merespons perkataan beliau. Gak boleh temenan sama Haechan, katanya, karena Haechan nakal. Yang ada, dia mah sudah dianggep sebagai anak susupan di keluarga gue. "Nggih, Budhe." Mungkin ini akan menjadi definisi nggih-nggih ra kepanggih yang terkenal itu. Selanjutnya, gue dan Chenle tertawa.

"Gak ngerti aja kalau Haelmi nempel terus kayak ikan gabus." Chenle berucap sambil mengusap peluh yang mulai keluar dari dahinya.

"Ya, mana beliau tahu, Le. Beliau 'kan tahunya Haechan bedhigasan."

"Terus?"

"Dan gue sebagai anak Pak Suho satu-satunya yang perempuan sangatlah kalem di mata beliau." Gue dengan bangga menyipitkan mata sambil tersenyum genit ke Chenle.

"Amit-amit. Amit-amit. Sumpah." Chenle menepuk-nepuk dahinya dengan ujung-ujung jemarinya berkali-kali.

"Awas lo, ya." Gue menjitak kepala adik gue dengan lembut. Chenle memang nyebelin, tapi gue juga gak bakalan setega itu untuk menyakiti adik gue yang gemesin itu. Terserah dia mau mengatakan berapa kali kalau dia sudah besar. Menurut gue, dia tetap aja anak manja. Buktinya, Mas Taeyong gak nganterin kita aja dia langsung ngambek.

Tiiiiiinnnn...

Gue dan Chenle terlonjak karena suara klakson yang sangat dekat dengan kita. Kami menoleh ke belakang sambil terus mengelus dada, menenangkan detak jantung kami yang sedang tidak baik-baik saja. Siapa juga yang tidak kaget jika ada yang melakukan seperti itu. Tak hanya mengagetkan, tapi juga menyebalkan.

"Masuk," pinta seseorang yang menyembulkan kepalanya dari kursi kemudi. Ternyata Mas Taeyong yang sedang memakai topinya terlalu rendah hingga menutupi separuh wajahnya.

Gue dan Chenle sempat terdiam beberapa saat dan saling memandang satu sama lain.

"Cepetan. Mas tinggal juga kalian."

Barulah kami berdua berlarian ke belakang untuk memasuki mobil yang dikemudikan oleh Mas Taeyong itu. Chenle langsung mengambil tempat di belakang. Gue melotot ke arah bocah itu dan hanya diberi juluran lidah olehnya. Dengan terpaksa dan menyembunyikan tampang ragu, gue memutar untuk duduk di depan, di samping jok pengemudi, DI SAMPING MAS TAEYONG YANG LAGI BERSUASANA HATI JELEK.

Gue merutuki diri dalam hati. Gue masuk dan tersenyum kepada kakak pertama gue itu. Sok cantik dan centil memang, tapi gue berharap dengan kelakuan itu bisa membuat tatapan mata Mas Teyong yang tajam itu menumpul. Dia masih melihat ke arah gue sampai gue mendapatkan posisi nyaman.

"Udah?" tanyanya dengan nada yang membuat gue menoleh ke arahnya. Gue gak salah denger, 'kan, barusan dia ngomong lembut banget?

Gue mengangguk kecil. Gue yakin banget kalau Chenle sekarang sedang menahan tawanya melihat gue yang kikuk dengan Mas Taeyong. Gue pun menoleh. Benar saja. Bocah itu sedang menggigit bibir bawahnya dengan dua lubang yang membesar karena menahan tawa. Awas saja nanti alau di rumah. Gue gak akan membiarkan bocah itu mendapatkan keinginannya jika meminta sesuatu.

"Maaf, Mas tadi harus buang beberapa sampah belakang dulu. Kalian udah jalan jauh aja."

Gue hanya diam dan sedikit menoleh ke belakang lagi. Chenle memajukan bibir bawahnya, tanda tak membenarkan perkataan kakak pertama kami.

"Sejak kemarin, pas kecambahnya Haelmi buang di belakang rumah itu, Mas udah yakin kalau bakalan mati semua. Lagian kenapa dia buang di tempat yang jelas-jelas Mas tanemin punya Mas?" Mas Taeyong menghela napas dalam. "Emang belum rejeki, sih."

Mas Taeyong dengan wajah bersalahnya. Itu membuat gue menatap lelaki itu dengan lamat. Tak tega juga. Tanaman yang sengaja ditanam oleh Mas Taeyong dengan baik harus hancur dan kekurangan gizi karena Haechan membuang sisa kecambah itu dengan asal. Untung Mas Taeyong masih berbaik hati dan tidak mencincang Haechan.

"Lagian, masih kecil juga. Mas bisa beli lagi bibitnya dan nanem lagi."

Gue semakin gak tega dengan Mas gue ini.

"Tapi, katanya itu bibit unggulan yang Mas beli dari Surabaya." Chenle angkat bicara.

Mas Taeyong hanya tersenyum singkat. "Namanya juga belum rejeki."

Ah, gue bener-bener gak tega lihat Mas Taeyong. Gue akui gue salah karena udah kesel sama Mas Taeyong yang masih meratapi nasibnya tadi pagi.

"Be-berapa emangnya, Mas?" Gue memberanikan diri untuk bertanya.

"Apanya?"

"Itu, uangnya. Mas Taeyong keluar berapa?"

Lagi, Mas Taeyong dengan senyum tegarnya. "Gak banyak, kok. Cuma lima puluh ribu."

"Satu pot isi sepuluh itu?" tanya Chenle lagi.

"Bukan. Satu biji."

Gue yakin Chenle juga sedang menelan ludah dengan susah payah seperti gue sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro