2.2 Sadar
"Fay! Bangun!" Kata-kata itu berulang kali terdengar di telinga gue. Tubuh gue pun seperti mengalami gempa.
Perlahan, gue buka mata.
Yang pertama kali gue lihat adalah wajah kakak kelas gue yang gak asing lagi buat gue, Kak Jungwoo. "Kamu gak papa 'kan?"
Pusing. Itu yang gue rasakan. Gue menatap heran sekeliling. Gue ada di klinik. Lhah?
"Pak Gongmyung mana?" tanya gue dengan randomnya.
"Mana ada? Hari ini beliau 'kan lagi cuti. Istri beliau lahiran." Kak Jungwoo masih menatapku dengan wajah khawatir. "Maaf, ya."
Gue memiringkan kepala. "Untuk apa?" Seketika gue sadar lagi dengan rasa berat di kepala gue. "Oh—"
Kak Jungwoo memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. "Gak sengaja lempar. Malah kena kamu."
Gue mengangguk. "Yang bawa aku ke sini siapa?"
"Haelmi."
"Terus, dia sekarang di mana?"
"Di kelas. Aku yang menawarkan diri buat jagain kamu."
"Oh, dulunya PMR, ya, Kak?"
"Kok kamu tahu, sih?" Nada Kak Jungwoo sudah mulai tak benar.
"Karena melihat kamu bisa menyelamatkan hatiku."
"Hahahahah. Anjay." Suara tawa khas Kak Jungwoo memenuhi ruangan. Dia mengelus kepala gue pelan. "Jangan bilang ke Mas Yuta, ya. Nanti aku didamprat." Lalu, dia terkekeh sendiri.
Iya. Gue kenal Kak Jungwoo karena Mas Yuta. Kita kenalan saat gue diajak Mas Yuta ke tempat futsalnya. Gue di sana mana mungkin main bola. Yang ada, gue duduk di pinggir lapangan sambil minum es dan makan jajan. Waktu itu, gue baru pulang les dan di rumah gak ada siapa-siapa selain Mas Yuta. Dari pada sendirian, gue mengiyakan ajakan Mas Yuta untuk ikut dia. Walaupum berakhir gabut juga tapi, untungnya ada Kak Jungwoo yang berbaik hati menemani dan mengajak cerita. Dia receh dan candaannya nyambung dengan gue.
Suara pintu klinik yang terbuka, membuat gue dan Kak Jungwoo otomatis menoleh ke sana. Haechan masuk.
"Lo gak papa? Pusing gak? Udah minum?" Dia berdiri di samping kasur yang gue duduki.
Gue menatap dia lama. Gue mau minta penjelasan ke dia. Mata gue memincing. "Lebih baik lo jelasin dulu semuanya ke gue sebelum gue ngambek."
"Heh?" Satu sisi bibirnya terangkat. Matanya melebar dengan tanda tanya.
"Iya, jelasin ke gue. Maksud lo ngasih kecambah ke gue kemarin apa? Lo sengaja ngasih gue yang terakhir 'kan dan buat gue gak tahu apa-apa? Lo ngeselin banget, sih, Chan. Lo ngasih kecambah ke Joan ma Yeji dulu dari pada gue." Gue sebal. Gue bilang.
Haechan melihat gue dan terdiam dengan muka datar. Beberapa detik kemudian, dia meletakkan tangannya di dahi gue. "Lo gak panas, Fay. Kenapa lo sinting gini, ya?" Dia membolak-balikkan telapak tangannya. "Kak, lo kudu tanggung jawab. Gegara bola lo, nih." Dia berucap ke Kak Jungwoo sambil menunjuk gue.
Gue menggenggam erat. Masih gak mau jujur, nih, anak. "Yang harus tanggung jawab, tuh, lo. Lo yang bikin gue makan kecambah itu kemarin. Sekarang lo tanggung jawab mata gue dari tadi pagi gatel dan gue bisa lihat warna tubuh orang."
Haechan dan Kak Jungwoo saling memandang lalu melihat ke gue dengan wajah ingin mengerti. Sok-sokan akting jadi orang bego.
"Aura maksudnya?" tanya Kak Jungwoo.
Gue mengangguk kuat.
"Emang warna tubuh gue apa?" Haechan menunjuk dirinya sendiri.
"Or—" Gue mengangkat telunjuk dengan percaya diri. Gue memandang Haechan dengan intens dan— gak ada.
Gue menurunkan tangan gue dan memperhatikan Haechan lagi. Tangannya gue tarik dan gue putar-putar badan dia. GAK ADA.
Gue menjauhkan tangan gue dari badan dia dan menatap selimut yang menutupi setengah badan bawah gue. Kok bisa gak ada?
Lagi, Haechan dan Kak Jungwoo saling memandang. Kali ini dengan tatapan yang lebih 'heran'.
"Kalau aku?" Giliran Kak Jungwoo menunjuk dirinya sendiri.
Gue menatap Kak Jungwoo. Lama. Tapi, tetap saja gak ada warna yang gue lihat di sana. "Apa emang bener kata Yeji ma Joan kalau itu gak bertahan lama. Bahkan belum sehari udah ilang. Apa gue selemah itu?" Gue menengadahkan wajah, menatap sayu ke arah Haechan. Gue jujur sekarang. Rasanya mau nangis.
Haechan tertawa terbahak-bahak sambil mendekati gue. Dia memeluk gue dan menyandarkan kepala gue di pinggang dia. "Cuma mimpi, Fay. Mimpi." Dia meneruskan tawanya sambil menepuk-nepuk pundak gue. "Lo cuma mimpi, Fay. Mana ada Joan di sini? Dia udah ke Amerika, noh. Yeji juga sekolah di luar kota sama Hyunjin. Lo kangen sama mereka, ya?"
Gue menangis. Anjir, iya. Mereka 'kan temen SMP gue. Sekarang gue udah kelas satu SMA. Kenapa gue bisa lupa.
Tangisan gue semakin menjadi-jadi saat gue menyadari kekosongan di hati gue. Iya, gue kangen mereka. Gue memeluk Haechan. Gue merasakan ada tangan yang lain mengelus kepala gue. Astaga, gue lupa kalau ada Kak Jungwoo di sini. Malu banget.
"Atutu ... gemes banget, kangen sampai kebawa mimpi."
Gue gak mau melihat Kak Jungwoo. Sumpah malu. Gue menenggelamkan wajah gue di perut Haechan. Moga dia gak cerita ini ke Mas Yuta. Bisa jadi olokan setahun gue di rumah.
"Ke kantin, yuk. Gue beliin bakso pakai sawi yang banyak." Agaknya dia mau menenangkan gue dari tangisan. "Tapi, lo yang bayar sendiri. Gue yang ngambilin doang."
Serta-merta gue memukul punggul anaknya Pak Johnny itu. Ngeselin. Apalagi mendengar suara tawanya yang menggelegar di klinik kosong ini bikin tambah ngeselin. Seakan dia mengajak seisi klinik untuk mengejek gue. Meskipun kliniknya sekarang kosong.
"Aku keluar duluan, ya? Takut gak kebagian sate kerang." Kak Jungwoo berpamitan dan gue masih menetap di perut Haechan. Malu. Apalagi wajah gue campur tangis kayak gini pasti acak-acakan.
"Get well soon, hatinya Fay." Sumpah tambah malu. Kenapa harus Kak Jungwoo, sih? Kenapa harus temennya Mas Yuta?
Setelah Kak Jungwoo keluar dan menutup pintu klinik, Haechan perlahan melepaskan pelukan gue dan duduk di sisi kiri ranjang. Kakinya masih di bawah. Dia menghadap gue.
"Iya, gue ngerti. Gue malu-maluin."
Haechan terkekeh pelan. "Kan bisa vidcall."
"Iya, tapi itu tadi malu banget. Dih, kalau sampai Mas Yuta tahu, kelar hidup gue di rumah."
"Hahahaha. Ya, 'kan hidup emang buat dikelarin."
Gue mengangkat tangan kanan yang terkepal ke arah Haechan. Lelaki itu tersenyum jahil. Tapi, entah apa yang merasuki dia. Tangannya langsung mengusak rambut gue dan menghapus sisa air mata yang ada di pipi.
"Gue masih di sini. Gue gak ke mana-mana. Joan nuruti permintaan orangtuanya buat tinggal bareng. Yeji juga pasti kangen sama Hyunjin, kembarannya." Haechan menatap gue dengan seksama.
Gue menatapnya dengan bibir agak maju.
"Gue bakalan tetep di sini. Si Jeno juga."
Gue menunduk. Plis, deh. Jangan diingetin kalau gue masih punya kalian. Rasanya malah pengin nangis lagi. "Ya, tetep si Somi sibuk ama dunianya."
"Mau gimana lagi?" Dia mulai menata rambut gue yang tadi diberantakin. "Somi di-casting jadi model juga itu impian dia. Masa lo gak bangga kalau temen lo bisa raih cita-citanya?"
Ada jeda beberapa saat. Rasanya beneran seperti tidak ada kehidupan.
"Gue egois banget, ya?" Gue melirik Haechan, mengharap jawaban yang mungkin akan menghibur gue.
Dia tersenyum tipis agak miring. Kayaknya gak habis pikir dengan kelakuan gue. "Terus lo sebut apa kalau bukan egois, hah?"
"Rese!" Gue mengambil bantal dan memukuli bocah itu. "Bilang enggak kek. Atau apa gitu buat nyelimurin hati gue. Ini malah!" Percuma. Sumpah percuma berharap ke anak ini. Gak bakalan memenuhi ekspektasi sama sekali. Capel banget. Pake K!
Haechan membuat perlindungan dengan tangannya. "Ya, gue gak mau aja gitu PHP."
"Gak PHP, sih, iya. Tapi, kejam!"
Dia malah tertawa keras. DASAR BUNTUTNYA PAK JOHNNY. SAMA NGESELINNYA.
Malam harinya, gue merenung sendiri di atas meja makan. Bener juga, ya. Kalau gue dijawab 'enggak' sama Haechan. Bisa-bisa gue lebih menuntut dan gak bisa memaklumi keadaan mereka. Haduh ....
***
Hai, aku balik. Maaf, lama banget, ya? Aku usahain bakalan up date cepet. Makasih udah baca. Jangan lupa tekan bintang, follow, dan juga share cerita ini. Sekali lagi, makasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro