Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2.1 Warna Tubuh

Mata gue terasa sangat gatal. Sedari keluar rumah sampai di sekolah tetap saja terasa gatal. Haechan sampai berkali-kali tanya tentang keadaan gue.

"Udah jangan dikucek-kucek. Nanti beli Insto." Dia menyita tangan gue di pinggangnya dan menyetir dengan satu tangan. Gue pun hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata dengan sedikit tekanan saat merem.

Tiba di sekolah. Gue turun dari boncengan dan merunduk untuk menghayati mata gue yang terasa nikmat saat gue kucek. Enak banget. Puas, setelah setengah jalan tadi gak gue kucek.

Terdengar suara jagang yang diluruskan. Lalu, gue merasa ada yang menarik kepala gue dan didongakkan. Refleks, gue menurunkan kedua tangan gue dan pasrah.

"Kenapa mata lo?" tanya Haechan yang agak merundukkan kepalanya untuk melihat mata gue.

"Gak tahu. Gatel." Gue mencoba untuk menundukkan kepala untuk menguceknya lagi, tapi kepala gue ditahan.

"Lihat atas!"

Lantas, gue mengarahkan pupil gue ke langit. Gue mengerjap-ngerjap cepat saat tiupan angin dari bibir cowok itu mengenai mata gue. Percuma. Mata gue masih gatal. Tangan gue kembali ditampik untuk tidak ikut campur. Haechan menarik kantong mata gue dan melihat-lihat dalamnya. Dia meniup mata gue lagi.

Yang gue rasakan? Ya, perih, lah. Kering seketika. Gue memejamkan mata dengan sangat erat untuk menahan rasanya.

"Anjir, mau cipokan lo!" Teriakan itu membuat gue membuka mata. Kepala Haechan oleng ke kiri dan tangannya dengan cepat menarik tubuh tersangka dalam pitingan. Itu Jeno. Dia sedang memukul-mukul lengan Haechan agar melepaskannya.

"Koyek! Koyek! Koyek!" Kepalan tangan kanan Haechan menjitak kepala Jeno berkali-kali dengan tekanan di setiap ketukannya dan berakhir digeser kuat yang pasti menciptakan sensasi panas. Terlihat dari cara Jeno menutupi bekas jitakan di kepalanya itu.

Gue diam saja, masih sibuk merasakan sisa perih di mata sambil mulai menguceknya lagi. Melihat dua orang di depan gue gelut seperti ini sudah biasa. Tapi, yang tidak biasa adalah seseorang yang sedang terkekeh di sebelah mereka berdua. Dia menggunakan seragam yang sama dengan milik kita, tapi betnya berbeda. Dia kakak kelas kita bertiga sekaligus kakak Jeno, Kak Mark. Gue tahu dia memang receh. Tapi, kenapa recehnya dia terlihat menawan dengan siraman sinar matahari dan hawa pagi yang teduh?

Gue mengerjap-ngerjapkan mata. Sudah tidak perih lagi. Gak perih, tapi tetap gatal.

"Hai, Fay!" Dia menyapa dengan mengangkat tangannya setara dada disertai sebuah senyuman.

"Hai juga, Kak!" Gue sedikit menundukkan kepala. Tangan gue masih sibuk dengan mata.

"Mata kamu kenapa?" tanyanya sambil berisyarat dengan telunjuknya.

"Hah?" Bukan karena kaget. Cuma tiba-tiba gugup.

"Mata kamu. Gak papa?" Dia bertanya lagi. Tangannya terjulur ke depan dan langsung ditampik oleh Haechan.

"Heit! Heit! Tangannya, lik!" Dia sudah melepaskan Jeno dari pitingannya.

Kak Mark menarik lagi tangannya. Dia melirik Haechan sebentar. Senyumannya hilang sejenak.

"Mataku gak papa kok, Kak. Cuma gatel aja," kabarku yang sebenarnya ... gak penting juga, sih.

"Jangan dikucek terus." Dia melarang. Gue menurunkan tangan. "Nanti tambah iritasi, loh."

Kedua alis gue terangkat. Gue tersenyum dan mengangguk paham.

"Ya ... dari tadi itu yang gue bilang." Haechan memegang bekas pukulan yang baru saja gue layangkan di sisi kanan perutnya. Gue melanjutkan senyuman manis gue ke Kak Mark.

Mata Jeno melengkung, ikutan bibirnya yang tersenyum. "Fay, lo kapan-kapan ke rumah gue, gih. Gue kenalin sama Bunda."

"Buat apa?" Terkadang, otak gue memang suka enggak bisa diajak kerja cepat.

"Gak! Gak!" Haechan menyahuti dengan cepat. "Rumahnya Jeno banyak hantunya."

"Kan gue gak takut hantu," jawab gue dengan enteng.

"Rumah dia juga banyak kecoaknya." Kepala Haechan ditempeleng Jeno.

"Sembarangan lo! Emang rumah lo yang penuh cicak peliharaan Cak John!"

Kedua alis gue bertautan. "Om Johnny ternak cicak? Buat apa? Kenapa gak tokek aja? Atau biawak gitu. Kan ada harganya. Kalau cicak? Emang mau dibuat apa?"

"Sate!" Haechan dan Jeno berseru garang, serempak. Kemudian, mereka saling memandang terharu.

"Gak bener!" Kak Mark menggeleng. "Jalan aja, yuk!" ajaknya yang langsung gue sambut dengan anggukan. Kami mulai melangkah beriringan dan mendapatkan tatapan tajam dari Haechan dan Jeno. Mungkin mereka merasa seperti kacang.

"Mata kamu udah gak papa?" Mark agak melongok ke depan.

Gue mengedip-ngedipkan mata dan mengecek rasanya. "Udah gak papa. Udah gak gatel lagi, kok."

"Kayaknya efek lihat gue." Jeno menyahuti dari belakang. Dua makhluk itu ternyata membuntut. "Mekanya, lo jangan bareng Haechan terus. Nanti mata lo sepet kayak tadi."

Gue yang sebenarnya mau menoleh untuk memberikan senyuman miring ke Jeno, jadi tertawa puas. Kak Mark menyentil dahi adiknya yang bermulut longgar itu, cukup keras. Suaranya nyaring.

"Kak, sakit!" Jeno memegangi dahinya dengan kedua tangan.

"Dari tadi ngomongnya ngasal terus."

Haechan yang ada di samping Jeno, tersenyum miring. "Kenapa?" tanya gue sambil mendongak ke belakang. Dia menggeleng dan mengembalikan posisi kepala gue. Dia mendorong bahu gue dari belakang untuk berjalan lebih cepat, meninggalkan Kak Mark dan Jeno.

"Ayok jalan! Gak baik deket-deket telurnya Pak Dong. Mereka bau KDRT."

*******

Gue membuka mata. Yang pertama kali gue lihat adalah langit-langit putih. Hidung gue membau sesuatu yang paling gue benci, obat. Benar saja, gye di klinik. Badan gue ada di atas kasur dengan kepala yang masih belum gue angkat.

Gue menutup dan membuka mata berkali-kali dengan tempo lamban. Mungkin ada memori yang terputus. Masalahnya, gue gak inget kenapa gue bisa berada di ruangan ini.

"Udah bangun?" Suara Pak Gongmyung menyapa, membuat gue menoleh. "Masih pusing?"

Gue terdiam sejenak lalu mencoba untuk bangkit dari rebahan. Ternyata sisi kepala gue ngilu banget. Pak Gongmyung dengan baik hati menolong gue untuk duduk. "Pelan-pelan," pinta beliau.

Gue hanya diam. Gue menatap Pak Gongmyung dengan pandangan bertanya. Beliau tersenyum.

"Tadi kamu tabrakan sama Jungwoo. Terus, kamu dibawa ke sini."

"Saya pingsan?" Gue terheran-heran.

Pak Gongmyung mengangguk.

"Kok bisa, Pak?"

Bapak dokter klinik sekolah yang baik hati itu pun terkekeh setelah memundurkan kepalanya cepat, merasa aneh. "Ya, mana saya tahu. Kamu sudah sarapan apa belum?"

"Sudah." Gue mencari posisi yang enak untuk sandaran.

"Pakai?"

"Nasi sama lauk dan sayur. Minum susu juga, kok." Gue gak bohong. Untungnya tadi pagi gue minum susu. Menurut pengetahuan gue, Pak Gongmyung memang mengurus para siswa dengan longgar hati. Akan tetapi, beliau gak akan segan juga untuk menginterogasi para siswa apa mereka sarapan dengan menu empat sehat lima sempurna. Gue baru pertama kali ini mengalami. Teman gue, Yeji, pernah kena ceramah satu jam karena dia ketahuan gak minum susu, padahal dia sudah sarapan roti lapis tiga potong. Ya, pas itu dia pingsan waktu upacara bendera doang, padahal. Intinya, Pak Gongmyung ini terlalu mempermasalahkan sarapan.

"Anak pintar."

Gue diam-diam menghela napas lega. Bisa berdarah kuping gue kalau sampai dapat ceramah. Belum lagi nanti bakalan ada orang-orang yang—

"FAAAAAYYYYY!!!!!!"

—lebay.

Suara pintu klinik dibuka sangat kasar sungguh mengganggu telinga. Belum lagi dua makhluk yang berlarian masuk ini sungguh tidak berperi kemanusiaan. Mereka menghimpit gue.

Sesak.

"Kalian ngapain, sih?!" Gue kesal. Kepala masih pusing juga, ini dua ketek Doraemon ngapain.

"Lo gak papa, kan?" Bahu gue dipegang erat untuk menghadap ke kanan.

"Yang luka mana?" Kedua pipi gue ditangkup untuk menghadap ke kiri.

Gue udah kayak pensil inul yang bisa di mleyotin ke mana-mana. T_T.

"Heh, anak orang jangan dikasarin!" Pak Gongmyung panik.

Mata gue yang tadinya terpejam karena pipi gue diplenet pun berusaha gue buka. Gue segera menjauhkan tangan-tangan dhalim itu dari tubuh gue.

"Gue abis rebahan bukannya tambah healing tapi tambah rompal."

"Tapi, kita 'kan khawatir sama lo! Lo gak papa 'kan?" Ini Yeji. Lebay akut sebelas duabelas dengan kembarannya, Hyunjin. Gue menyingkirkan tangannya yang mau menjamah gue lagi.

"Sayangku. Cintaku. Manisku. Lo gak ada yang luka 'kan?" Kalau ini percuma menghindar. Joan kuat banget. Lebaynya kronis. Makanya gue dan Yeji biasa panggil dia Om Joe. Dia memeluk gue erat.

Lagi. Dari arah pintu terdengar derap kaki dan suara daun pintu yang tertabrak dinding. Gue yang sedang bertahan dalam pelukan maut Joan pun melirik. Gue menghela napas melas.

Ini rajanya lebay. Haechan. Dia ngos-ngosan sambil cepat-cepat memasuki ruangan.

"Lo gak papa?"

Gue menoleh ke Pak Gongmyung dengan mata memelas. Untung beliau tahu maksud gue. Beliau melepaskan tangan Joan dari badan gue dan merentangkan tangan di hadapan tiga makhluk Tuhan paling lebay ini untuk menjaga jarak dari gue. "Dia masih pusing. Tapi gak papa." Beliau bertutur. "Kalau kalian terus ganggu Fay, dia gak bisa cepat-cepat beradaptasi dengan pengelihatan barunya."

"Heh?" Gue gak paham.

"Tenang, ya, Fay. Kamu tutup mata kamu dulu." Pak Gongmyung meminta.

Gue merasakan ada sesuatu yang menempel di kelopak mata gue. Oke. Sepertinya itu tangan Pak Gongmyung. "Buka mata pelan-pelan dan jangan teriak. Masih ada beberapa kelas yang belum kelar."

Gue menuruti pinta Pak Gongmyung. Yang pertama kali gue lihat sekarang adalah wajah dokter klinik gue. Akan tetapi, ada yang berbeda. Ada yang beda, tapi apa? Gue gak bisa mendeskripsikan.

"Lihat temen-temen kamu," arahan dari Pak Gongmyung.

Gue melihat Joan, Yeji dan Haechan dengam bergantian. Wajah mereka terlihat khawatir tapi agak harap-harap cemas gimana gitu. Wajah mereka masih sama. Tapi, sekali lagi, ada yang berbeda.

"Aneh." Gue berucap lirih, masih berpikir apa yang membuat gue mengucapkan kata itu.

"Ada yang beda? Bisa lihat bedanya?" tanya Pak Gongmyung yang membuat gue lebih giat untuk memandangi empat manusia di sekeliling gue ini secara bergantian.

"Ada warnanya," bisik gue. Mereka menarik napas lega. Gue tambah gak paham.

"Untung dah nyadar." Tiga makhluk itu melepas napas lega.

"Maksudnya?"

"Lo bisa lihat warna kita. Itu udah syukur." Haechan duduk di sisi ranjang yang gue tempati. "Lo lihatt warna sekeliling gue apa?"

Gue melihat Haechan dengan agak intens. Cukup lama, sekitar lima detik. "Orange." Gue menjawab dengan agak ragu.

Haechan menoleh ke Yeji dan Joan. Mereka berdua mengangguk.

"Emang gue bisa salah?" Kepala gue kena dorongan telunjuk Haechan.

"Anjir, baru juga bisa lihat, udah songong."

"Ya, kan gue gak tahu. Mekanya tanya."

"Punya gue?" Joan menunjuk dirinya sendiri.

"Hijau muda."

Yeji bertepuk tangan. Dia terlihat bersemangat. Dari reaksi yang lainnya, kayaknya gue bener deh. "Kalau gue?" Giliran dia bertanya.

"Kuning."

Dia Joan dan Yeji langsung maju untuk membuat gue sesak lagi dengan pelukan. Haechan pun tersingkirkan. "Akhirnya." Mereka terlihat seperti ... sangat bahagia.

"Kenapa sih?"

Gue menoleh ke Pak Gongmyung yang menghela napas. Terlihat lega sekali. "Jadi kalian udah pada makan kecambah yang bapak beri?" tanya beliau dan mendapat anggukan mantap dari Joan dan Yeji.

Dahi gue mengerut. Sekilas, gue bisa melihat Haechan yang menggigit bibir bawahnya. Dia melirik gue dan menyuguhkan senyuman dengan hehehe dan wajah yang tampak berhak sekali untuk ditampol. "Kecambah itu?" tanya gue dan langsung di beri anggukan oleh anak bapak Johnny itu. "Kenapa lo gak bilang?!!!"

"Gue bingung mau ngomong kayak gimana ke lo. Jadi, mendingan lo makan dulu aja. Penjelasannya baru abis itu." Tangan Haechan menggenggam tangan gue yang tadi refleks melayang ke arahnya. "Awalnya gue juga kayak gitu. Lama-lama samar sendiri kok. Tanya aja ke mereka."

Gue menoleh ke Joan dan Yeji. Mereka mengangguk.

"Lama-lama terbiasa kok. Gak bertahan lama. Gue aja sekarang udah gak bisa lihat warna orang seterang dulu."

Guratan di kening gue semakin dalam. "Udah dari kapan, hah?"

Yeji melipat bibirnya ke dalam. Dia bersembunyi di balik bahu Joan.

"Intinya," Joan mengambil alih tangan gue dari Haechan. "Lo gak usah khawatir. Kita udah pernah ngalamin semua dan efeknya gak sampai dua hari. Mungkin besok udah selesai. Atau mungkin lusa." Kepala Joan digetok oleh Haechan.

Gue rasanya ingin menangis saja. Jadi selama ini gue diakhirkan dan gak dianggep sebagai temen atau gimana sih? Seseorang bisa jelaskan?

"Ini gak seperti yang lo perkirakan, Fay. Gue sama Pak Gongmyung udah diskusi panjang lebar. Karena lo yang paling rentan, jadi lo yang paling akhir. Kita nyoba dulu. Biar kalau lo dah makan, kita tahu apa yang harus kita lakuin ke lo." Haechan mencoba menjelaskan yang menurut gue itu malah membuat gue merasa terhinakan.

"Gue selemah itu, ya, di mata kalian?" Gue udah gak bisa menahan air mata. Sakit hati, iya, mah.

"Bu-bukan kayak gitu. Haisshhh ...." Haechan mengusak rambutnya.

"Kalau mau nyalah-nyalahin, salahin Pak Gongmyung aja, Fay. Bapak yang usul pertama kali buat mengakhirkan kamu." Tangan Pak Gongmyung mendarat di pundak gue. Gue cuma bisa mengangkat kepala sambil menatap pengurus klinik itu dengan air mata. Lebay, sih. Tapi, gak papa.

"Saya masih belum bisa menemukan dengan jelas potensi dalam diri kamu."

"Potensi apa sih, Pak?" Mata gue mulai berkaca-kaca.

"Potensi yang akan berkembang di diri kamu."

Gue menangis.

"Fay, maafin kita." Joan dan Yeji lebih mendekat lagi. "Kita bingung mau ngomong gimana ke lo. Jadi, kita ikut aja ama instruksinya Pak Gongmyung. Maafin kita, ya."

Gue menyeka air mata gue. "Iya. Tapi, masalahnya," Gue menatap mereka satu per satu. Wajah mereka terlihat sangat bersalah yang malah buat gue semakin ingin menangis. "Masalahnya, gue gak paham yang kalian bahas itu apaan."

Gue pun terisak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro