Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.1 Tukang Bakso

Ada kalanya hidup penuh dengan peluh dan payah. Seperti siang hari ini. Panas matahari tidak bisa ditoleransi. Perut, kerongkongan, dan mulut juga tidak mau kalah untuk menyusahkan pemiliknya ini. Dasar para anggota tubuh yang durhaka!

Kalian tahu kaliren? Iya, seperti itu keadaan gue di siang hari ini. Ummi belum pulang dari mengajar, Mas Taeyong dan Mas Yuta masih ada di kampus mereka, mungkin. Ayah ... tentunya masih kerja. Sedangkan gue harus terkapar bersama kedua adik yang sedang merasakan hal yang sama seperti gue, kaliren.

Sensasi krucuk-krucuk itu menguar sampai kerongkongan. Perut terasa dililit ular anakonda dan tubuh terasa seperti ditimpa kingkong. Gue menutup kedua mata dengan bantuan lengan kiri. Rasanya terlalu kasihan kalau harus ditaruh di atas perut.

"Mbak, aku mau makan." Itu ucapan Chenle yang sudah memosisikan kepalanya di tangan kanan gue. Ikutan rebah sambil memandang kipas angin yang berputar di langit-langit biru ruang tengah.

"Makan aja. Gak ada yang masak kok." Gue mulai menutup kelopak mata. Dari kisah-kisah tauladan yang pernah gue baca, kalau sedang merasakan hal seperti ini, ada baiknya untuk tidur saja. Satu, biar kaliren-nya enggak terasa. Dua, biar hemat uang dan tenaga. Gue yakin Ayah sama Ummi pasti bangga pas pulang dan lihat kebijakan gue mempraktekkan kisah yang dulu dibacakan mereka berdua pas gue masih kecil. Gue pun tersenyum.

"Mbak, jangan gila! Aku tahu kalau laper bikin orang agak gimana. Tapi, Mbak jangan gila, ya."

Gue melirik asal suara itu, Si Sungchan. Polos, sih, polos. Ngeselin tingkat anak umur delapan tahun, iya. Pake banget malahan.

"Gak boleh bilang 'gila', Chan! Nanti kamu gak dimasakin sama Mbak Fay tahu rasa lho." Chenle memiringkan badannya dan memelukku. "Mbak mau masak 'kan? Aku udah laper banget ini." Plus, satu ciuman di pipi.

Modus. Sama kayak ayahnya kalau mau dibuatin mie instan. Sama juga kayak umminya kalau mau dibuatin teh lemon. Sama kayak dua masnya kalau mau nasi goreng Cak Dul. Sama juga kayak si bontot yang pengin permen Sugus yang mulai langka itu.

Gue mengerang dalam hati. Mau jawab 'enggak', tapi gak tega. Mau jawab 'oke', tapi males banget. Ya Allah berikanlah keajaiban. Gue berdoa dengan sangat khidmat di dalam hati. Gue yakin, 'iman itu ajaib. Kalau keimanan kita hanya sebatas tahu sebab akibat, kita gak akan pernah merasakan keajaiban iman.' Itu perkataan Ustadz Jeffery Al-Kautsary di radio kapan lalu. Dan sekarang gue mau membuktikannya.

"Mbak, ada yang ketok pintu." Sungchan menggoyang-goyangkan badan gue antusias. Padahal, gue gak denger ketokan apapun dari sana. Oh my God, yang bener aja adik bontot gue jadi anak indie. Ah, tidak mungkin.

"Hp-nya Mbak itu, Chan. Cepetan ambilin!" Chenle yang memerintah. Syukurlah ada anak ini. Gue gak perlu keluar urat buat mengahadapi Sungchan.

Gercep. Very very gercep. Gue yakin hp gue tadi ada di kamar Ummi. Gak sampai dua detik kayaknya, Sungchan sudah menyodorkan benda itu ke gue.

"Apa, Chan?" Gue bertanya malas. Dengan mata yang setengah merem, gue terima juga hp itu.

"Ini telpon dari Mas Haelmi."

Gue ber-o ria sambil berusaha mati-matian untuk duduk. Mekanya Sungchan gak mau angkat. Mereka berdua kalau ketemu udah kayak anak seumuran. Gue ambil benda itu dan menekan ikon hijau lalu speaker di sana.

"Apa?" tanya gue to the point.

"Mangkok, sendok, garpu, es teh. Berapa orang?"

"Tiga," jawab gue dengan nada malas, lesu, dan pucat serta mata yang masih setengah terbuka. Akan tetapi, ada seberkas cahaya ilahi yang mau menerangi gue samar-samar.

"Oke. Bukain pintunya sekarang, dodol! Panas banget ini!"

Kesadaran gue pun segera kembali sepenuhnya saat gemerincing kunci yang menempel di pintu utama terdengar seperti mau lepas. Pintunya juga. Gue segera menepuk-nepuk paha Chenle yang duduk di sebelah gue dan berisyarat untuk membukakan pintu.

Aslinya, gue malas mempersilakan orang itu masuk, tapi gue masih mempunyai hati nurani. Untung Allah masih membagikan kasih sayang-Nya kepada gue. Iya, gue gak sampai hati membayangkan anak orang kepanasan di luar sana. Di dalam ruangan saja panasnya innalillahi, apalagi di luar. Sungguh gue masih punya hati. Belum gue donorin, sih.

Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Coba saja kalau Dia tidak memberikan hidayah-Nya kepada gue untuk berbelas kasih menepuk paha Chenle agar membukakan pintu, tidak akan ada empat mangkok bakso di meja ruang tengah sekarang. Iman memang ajaib. Pakai 'super' pula.

Dengan lahap Chenle dan Sungchan memakan milik mereka sampai tersedak beberapa kali. Gue? Mengomeli mereka, lah, sebagai ritual rutin sebelum gue makan. Mereka kalau makan kayak anak cacing yang gak dapat inang selama seratus hari. Jangan dilihat pokoknya. Nanti gak tega makan milik kalian. Bawaannya pengin beri karena kasihan. Tapi, karena gue sudah biasa dengan hal itu, ya, gue makan aja punya gue dengan khidmat setelah bismillah.

"Bilang apa?" Haelmi alias si Haechan ini mengusak rambut si bontot.

"Makasih. Jazakallahu khairan." Beginilah anak Bapak Suho dan Ibu Irene. Manis kalau ada maunya. Gemoy kalau dimanjain perutnya.

"Amiin." Haechan mengambil sendoknya dan mulai makan. "Gue heran, kenapa lo main kabur aja pas gue ajakin keluar tadi. Padahal 'kan niatnya mau beli ini."

Mampus. Ketahuan ternyata. "Ya ... ya ... gue kira lo mau ngajak gue ke tempat band lo itu. Gue males, lah. Bisa-bisa gue pulang bawa kuping berdarah."

"Bandnya Mas Haelmi jelek banget, ya, Mbak?" Polos, tapi nyebelin. Itulah Sungchan. Sudah gue bilang di awal 'kan? Dia pun mendapat jitakan dari lelaki berkulit tan itu. Untung Chenle tahu diri dan duduk di sebelah gue. Soalnya Haechan pernah bilang kalau gak mau deket-deket Chenle karena ada efek kontras.

"Mas Haelmi lho suaranya bagus, Chan. Kamu aja yang gak pernah denger suaranya." Oke, anggap saja Chenle ini anak yang baik. Sangking baiknya hingga Haechan tersenyum tengil sambil sok haru sombong ala kambing lagi lepas gigi satu. Beneran pengin nabok.

"Lo mau bakso lagi?" tanyanya kepada Chenle. "Nambah sana, boleh."

Mata Chenle berbinar. Mangkoknya hampir bersih. Satu porsi bakso tidak cukup mengenyangkan untuk anak tiga belas tahun ini. "Beneran, Mas?"

Anggukan Haechan menjadi pemacu anak ketiga Bapak Suho itu untuk segera berlari ke depan rumah. Dia tidak lupa kok membawa serta mangkok yang masih tersisa sedikit isinya. Dari irama derap kakinya bisa diketahui kalau dia tidak hanya sedang bersemangat, tapi juga napsu.

Sungchan cemberut. Kalau soal makanan, anak bontot ini tidak akan pernah mau kalah. Tidak heran sih, ada yang ditiru soalnya. Siapa? Gue? Enggaklah. Sungchan persis Mas Yuta. Makannya nggebhes.

"Mau nambah juga?" Haechan mengelus rambut adik gue yang mulai berhenti makan karena ngambek. Anggukan si bontot itu malu-malu, minta dicubit. "Bilang apa dulu?"

Sedikit lama keadaan hening. Mungkin sekitar lima detik. "Mas Haelmi ganteng, aku boleh nambah bakso juga?"

Tengil. Haechan lagi-lagi tersenyum sok haru plus sombong. Dengan anggukan gemas dia berkata, "Iya, sana. Cepetan balik, ya. Di luar panas."

Seketika itu, buntut Ibu Irene terakhir itu berlari lebih cepat daripada kakaknya. Gak, dia gak bakalan lupa dengan mangkoknya.

Tersisalah di sini, gue dan Haechan yang menikmati bakso kami lagi. Tidak ada percakapan apapun hingga secara tidak sengaja mata kami bertemu.

"Kenapa mereka gak balik-balik, ya, Fay?"

"Ya, mana gue tahu. Tukang baksonya lagi banyak pembeli, kali." Jawaban gue seadanya. Heran, Haechan malah mengedipkan kedua matanya sambil menelan ludah.

"Gawat. Gawat. Gawat. Sumpah gawat." Dia komat-kamit sambil segera berdiri dan melangkahkan kaki untuk keluar.

Gue masih terdiam di tempat duduk dan mencoba mencerna apa yang ada di pikiran anak Bapak Johnny itu. Karena gak menemukan jawaban yang normal selain 'mungkin kasihan kalau kepanasan', gue lanjut makan saja.

Tawa menggelegar Haechan terdengar bersama kericuhan yang bersahut-sahutan dari mulut kedua adik gue serta tangan mereka. Gue menoleh. Haechan membuka pintu sambil kesusahan jalan karena ditawur oleh dua bocah itu. Kening gue terlipat-lipat.

"Iya, iya, maaf. Nanti Mas Haechan beliin es krim. Beneran ini mah. Kalau ini gak bohong." Lalu, tawa Haechan mengisi rumah gue yang sepi ini.

"Kenapa?" tanya gue simpatik dengan muka Chenle yang sudah kusut banget. Dia menaruh mangkoknya dengan agak kasar di atas meja. Isinya yang bikin melongo. Kosong. Dia meletakkan kepalanya di atas paha gue dan melungker. Alamat pudung.

"Tauk!!!"

Haechan menggendong Sungchan pakai satu tangan menghadap ke depan dan tangan yang lainnya digunakan untuk membawa mangkok bocah itu. Dia membawa Sungchan rebahan di sofa setelah mengamankan barang pecah belah itu.

"Napa sih, Chan?" tanya gue yang bener-bener penasaran.

Haechan masih menikmati sisa tawanya sambil mengelus-elus Sungchan yang ada di pelukannya. Kayaknya adik gue nangis deh. Dia malah terlihat geli saat melihat Chenle di pangkuan gue.

"Tukang baksonya di sebelah sekolah. Ada sih, tapi di depan komplek sono, noh." Cowok itu tertawa lagi.

"Mas Haelmi mbijukan." Chenle menggerutu. Kelihatan kecewa banget. Jadi gak tega.

"Masih laper?" Gue mendekat ke kepala Chenle lalu mencium pipi gembulnya.

"Ya, iyalah. Mana cukup bakso satu mangkok. Pake ditipu lagi. Mana di luar panas banget."

Gue melirik ke Haechan sambil mencep. Dia memukul-mukul sofa sambil menahan tawanya agar tak bersuara. Seenggaknya dia masih punya hati untuk tak membuat Chenle semakin pudung. Emang mantan penghuni rahim Ibu Doyoon itu keterlaluan juga sih. Tapi, lumayan juga buat hiburan.

Fay, astaghfirullah. Berbelas kasihanlah kepada para bocah.

Baiklah, gue tarik. Gue memutar otak untuk memilih usaha demi menghibur dua bocah itu. Tapi, nihil. Uang jajan gue habis buat iuran di sekolah tadi. Di rumah, gak ada apa-apa. Mie instan sudah tak punya keturunan lagi di lemari dapur. Mas Taeyong dan teman-temannya yang membabat habis mereka kemarin. Beras pun gak ada. Ayah lupa pesen ke Pak Changmin. Keburu habis diborong oleh warung ayam gepreknya Pak Agus Gula. Mana Ummi tidak meninggalkan uang lebih buat siang ini. Katanya mau pulang ngajar cepet. Tapi, sampai sekarang beliau belum juga datang.

Haechan melemparkan kunci sepeda motornya ke gue. "Apa?" Gue bertanya tanpa suara.

"Sepeda motor gue. Gue bawa bungkusan ayam geprek Pak Agus." Dia juga berbicara tanpa suara juga. "Itu titipan dari emak lo." Dia menunjuk-nunjuk ke gue.

Gue mendengkus dan Haechan puas menertawakan gue yang kelewat sebel sama kelakuan dia. Keterlaluan banget. Mana dua adik gue sampai pudung begini.

"Sungchan, lihat tuh. Mbak Fay mau keluar beli ayam geprek Pak Agus." Dia, dengan sangat sok lembut, mengelus kepala adik gue yang sedari tadi nyungsep di dadanya. "Sungchan level setengah 'kan? Kalau level satu kepedesan." Kemudian dia pun merintih karena digebuk bocah itu.

"Aku bisa makan level satu!"

Haechan tertawa lagi.

Gue menghembuskan napas jengah. Masih aja sempet goda. Mana yang digoda juga gampang ngambek. Sudahlah, dasar tuyul Pak Johnny.

"Le, makan baksonya Mbak, gih." Gue berusaha membangunkan makhluk yang masih meringkuk di pangkuan gue ini. "Masih ada separuh. Mbak juga mau makan ayam geprek. Nanti gak muat." Bohong. Aslinya muat-muat aja. Cuma untuk mengangkat kepala anak ini susah banget kalau lagi dalam keadaan gini. Sumpah, gue pengin melambaikan tangan ke kamera. Chenle memang mau duduk setelah itu, tapi, "Aku yang level 3 dan nasinya dobel, ya, Mbak."

Dan kalimat itu sukses membuat cowok yang sedang tiduran di sofa tertawa terbahak-bahak tanpa mengeluarkan suara. Dia memukuli punggung sofa sambil terus menertawai gue.

"Iya." Hanya itu yang bisa gue keluarkan sebagai jawaban agar Chenle gak melungker lagi. Kalian tahulah pastinya kalau dia melungker berarti pertanda apa.

Gue pun beranjak saat Chenle sudah duduk untuk memakan bakso gue. Sebelum keluar, gue memberikan acungan bogem ke Haechan. Cowok itu menjulurkan lidahnya.

********

Gak tahu mau jadi kek gimana. Moga yang lain cepet nyusul juga.

Maunya ini random aja sih. Tapi, keknya kurang mangtep kalau gak ada bumbu lain.

Kalau nurut tebakan kalian, ini bakalan campuran ama genre apa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro