Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. kencan


Pasangan suami-istri satu ini jarang sekali berkencan. Bahkan ketika belum memiliki anak sekalipun. Paling hanya saat belanja bulanan saja. Eh, itu bisa disebut kencan?

Baik Sori maupun [Name], keduanya itu orang sibuk. Lebih tepatnya sok sibuk. Dari dulu tak ada yang spesial pada rumah tangga mereka. Bahkan Supra saat itu sampai berani berkomentar jikalau rumah tangga mereka sangat hambar.

Sudah punya anak, rasanya malah semakin hambar hubungan mereka. Ah, hambarnya dalam artian bagaimana, ya ... lebih seperti aura suami-istri mereka tak begitu terlihat ataupun tercium. Benar-benar terlihat seperti teman atau saudara.

Karena itu, mereka sering disalahpahami. Pernah Sori hampir digaet mbak-mbak centil karena dikira belum menikah. [Name] juga pernah dikira saudaraan ketika jalan untuk belanja bulanan dengan Sori.

Ini efek nikah muda atau memang karena sudah terbiasa menjalani status sebagai bestie? Astaga.

Makanya, hari ini papih muda kesayangan kita semua mau ajak mamih ngedate, si anak dititip aja ke yang ahlinya―walau sebenarnya dia belum punya anak dan belum nikah.

Emang, ya, inisial G.

"Mih, udah siap?"

"Sori, stop Mamih-Mamih."

Mual banget [Name] dari semenjak Adit lahir dia selalu dipanggil mamih sama Sori. [Name] kan belum terbiasa, gitu. Kalaupun mau pake gituan, ya yang kayak biasa aja.

"Enggak ah, ini lucu. Pake ini aja terus."

Nyengir, lo?

Ya sudah, sih ya. Diomongin berapa kalipun juga Sori tetap bertahan pada keputusan yang sudah dia buat. Semoga aja pas besar Adit ada inisiatif buat ganti nama panggilan orang tua dan namanya sendiri.

"Sebentar lagi aku selesai, Sori. Kamu tunggu dibawah aja, deh. Aku gak akan lama."

"Okey! Aku nyalain mobilnya, deh."

Sori percaya, kok. [Name] memang kalau menghias diri tak lama. Memang dianya aja yang tak sabaran.

Untuk kencan kali ini, [Name] memutuskan untuk memakai dress berwarna cerah, secerah hari kencan mereka ini sekaligus secerah masa depan kita semua.

Katanya sekalian biar serasi sama outfit Sori hari ini. Lemari Sori itu kebanyakan pakaian dengan warna cerah, sih. Kalau mau serasi pasti nyamainnya sama outfit Sori. Karena pernah sekali dipakaikan baju dengan tema gelap―dan ternyata tak begitu cocok dipakai oleh Sori.

Tak butuh waktu lama, selesai memberi sedikit bedak pada pipinya, [Name] langsung mengambil tas kecilnya dan menghampiri Sori yang sepertinya sedang menyalakan mobil.

"Mau ke mana?"

Informasi sedikit saja. [Name] ini diajak kencan oleh Sori tadi malam. Namun, tempat kencan mereka tak diberitahu oleh Sori. Katanya biar jadi kejutan. [Name] sih iya-iya aja.

"Kita makan durian dulu, yuk?"

"Enggak! Masih pagi, aku baru sikat gigi."

[Name], sih ogah ya. Dia tak begitu menyukai durian. Malahan dulu benci durian, tapi semenjak bertemu Sori dan disuguhin durian terus―ya, lama-lama biasa aja.

"Yah, terus ke mana?"

"Loh, kan kamu yang ngajak???"

"... Iya, sih."

"Ya sudah, kita langsung ke tempat yang kamu bilang 'biar surprise' itu aja, deh."

"Ihhh kepagian tau. Yaudah deh, gapapa."

"Emang harus kapan..."

"Sorean dikit gitu...."

"YA TERUS KENAPA LO NGAJAK JALAN JAM SEMBILAN PAGI GUE TANYA????"

Aduh, Sori.

――BESTIE。

Pukul 15:24.

Keduanya baru saja sampai di tempat kencan utama mereka. Setelah dari jam sembilan tadi mereka sedikit ada drama, setidaknya sudah terselesaikan. Karena saat itu mereka sudah rapi, akhirnya Sori ajak saja [Name] sarapan lagi. Padahal di rumah sudah sarapan.

Lalu, saat jam menunjukkan pukul sebelas siang, Sori ajak [Name] main di Time*one dulu sampai masuk jam dua belas siang, dan mereka istirahat siang. Setelahnya, baru deh menuju ke tempat ini. Memang, sedikit memakan waktu untuk sampai di sini.

"...."

"Hehehe."

Heran [Name], tuh. Mereka sudah rapi, dan jauh-jauh ke sini sampai makan waktu dua jam―karena macet―eh ternyata cuman taman. Ya, emang bagus sih tamannya, cuma kenapa harus jauh banget gitu, loh. Padahal di komplek sebelah juga ada yang sebelas dua belas kayak ini.

"Ekhem!"

Sori menarik pergelangan [Name] dengan pelan, ia bawa menuju taman yang saat ini masih menjadi tanda tanya di dalam pikiran [Name]. Sayangnya, wajah Sori seperti tak ingin menjelaskan apa tujuannya dan kenapa di taman ini.

"Ini keliatannya biasa aja. Tapi sebenarnya ini tamanku, loh. Dari sejak SMA. Aku minta Ayah tanah sedikit buat bangun taman waktu ulang tahunku yang ke enam belas. Terus habis dikasih Ayah tanah, aku langsung bikin taman sendirian. Aku tanam sendirian semuanya ini. Kadang dibantu Kak Duri, sih.

Kalau aku sibuk, biasanya yang nyiram Kak Ciel atau Kak Duri. Memang ini lokasinya jauh banget dari rumah kita, tapi lumayan dekat dari rumahnya sepupuku. Makanya Kak Duri juga bisa bantu. [Name], kamu gamau tau gitu alasan aku bangun taman pas SMA?"

[Name] mengerutkan alisnya bingung. Memang itu hal yang wajib ia pertanyakan selesai Sori bercerita? Tidak, kan?

"Wajib?"

"Ih! Tanya ajaaa."

"... Ya sudah, kenapa?"

Ayah dari satu anak itu tertawa pelan, gemas rasanya ketika melihat sang istri dengan pasrah hanya menuruti apa kemauannya.

"Aku mau serius ngomong habis ini, dengerin ya, [Name]. Mungkin bakal panjang."

Sebenarnya [Name] tak begitu mengerti, tapi Sori seperti sedang ingin serius dan tak main-main saat ini. Jadi diiyakan saja, deh.

"Ini karena dulu aku suka kamu, [Name]! Aku suka kamu dari dulu―dari sebelum kamu suka Gentar. Pikirku, aku mau buat taman spesial buat lamar [Name] nanti kalo sudah waktunya, gitu. Tapi ternyata itu naif banget.

Pas aku sudah ada niat begitu dan Ayah sudah ngasih yang aku mau, eh tapi kamu tiba-tiba bilang kalo suka Gentar. Agak sakit, sih. Ditambah kamu dulu selalu ngomongin seberapa kerennya Gentar di depan aku yang statusnya waktu itu pengagum rahasia??

Kamu selalu happy tiap sama Gentar, tiap sama aku yang selalu kamu curhatin Gentar, apa-apa selalu Gentar. Rasanya aku udah gak ada harapan banget waktu itu, [Name]. Aku sampe selalu merhatiin kelakuan Gentar tiap hari dan mikir, letak keren anak tengil kayak Gentar itu di mana? Gitu. Padahal kayaknya aku juga tengil ya, hehehe.

Tapi enggak lama, pas kita mau lulus; tiba-tiba kamu bilang kamu mau stop berharap sama Gentar. Kamu bilang kamu sudah confess dan ternyata jadi canggung gitu. Di situ aku mulai ngerasa kayak... Oh, kesempatan?

Dari situ, aku balik lagi ke kamu―detik-detik aku mau uncrush kamu padahal, hehehe. Soalnya kupikir kisah kita udah selesai, cukup di SMA aja. Eh ternyata malah gitu dan kita juga masuk kuliahnya ketunda setahun.

Dari situ―aku ngerasa happy dan ada harapan banget, [Name]. Karena udah gak ada lagi nama Gentar yang terus kamu curhatin, udah gak ada lagi nama Gentar yang selalu kamu tangisin karena dia enggak peka. Cuma aku.

Egois banget, ya? Pokoknya, aku senang. Aku―Sori, bahagia karena bisa bangun rumah tangga bareng kamu, [Name]. Maaf kalau hubungan kita ini memang hambar kayak yang dibilang Supra. Maaf kalau aku kurang ilmu dalam rumah tangga. Maaf kalau aku belum bisa jadi suami sekaligus ayah baru yang baik di mata kamu dan keluargamu."

Sori menyudahi kalimatnya yang terlewat panjang itu. Bahkan sepertinya bisa dibilang curhat. Setelah selesai berbicara, tenggorokan Sori langsung kering, ia butuh air.

"... Sudah?"

"Sudah, [Name]."

Wanita itu memilih duduk di kursi taman milik Sori. Setelahnya, ia menepuk kursi kosong di samping dirinya―bermaksud meminta Sori untuk duduk di sana.

Dua menit mereka hanya diam duduk seperti ini, membuat Sori sedikit takut, apa kalimat panjangnya tadi malah membuat [Name] marah? Atau [Name] tak suka karena alay baginya?

"... Kamu jelek."

Itu dua kata yang keluar dari mulut [Name] setelah diam dua menit.

"... Hah?"

"Jelek banget. Kenapa dari dulu gak bilang kalo suka? Karena gak mau pacaran? Suka kan gak perlu pacaran juga. Sorry karena dulu gak pernah peka atau nyoba buat peka. Aku serius enggak tau, Sori. Kamu selalu support aku buat sama Gentar, bahkan juga bantuin aku pdkt. Tapi ternyata kamu sendiri punya rasa kayak gitu? Astaga.

Aku memang agak kaget pas kamu lamar kayak gitu, kamu ngajak nikah kayak ngajak ke kantin aja. Anehnya, aku malah ngeiyain juga. Kalo mau yang jujur, bagiku juga hubungan kita ini hambar. Serasa cuma sebatas teman dan nikah cuma sekedar status di kertas.

Kamu selama ini selalu berusaha buat rumah tangga kita aja udah cukup buatku, Sori. Mungkin memang kelakuanmu rada-rada bikin aku naik darah, tapi seenggaknya kalo ada masalah atau gimana kamu selalu ikut bantu cari jalan keluarnya.

Cukup jadi kayak Sori yang kukenal aja. Itu udah cukup banget, kok. Hubungan kita yang hambar ini juga ... pasti bisa dibikin jadi manis. Tambahin gula aja dikit."

Titik. [Name] selesai berbicara, wajahnya sedikit memerah, sih. Seperti ia kurang percaya jika akan berkata begitu pada suaminya.

"Sudah?"

"Ya ... sudah."

Sori terkekeh, ia sendiri sebenarnya merasa canggung setelah berbicara serius seperti ini dengan [Name].

"Kamu bilang aku ngelamar kamu kayak ngajak makan ke kantin. Apa perlu ku lamar ulang di sini? Eh tapi aku gak bawa kotak cincin, sih ... oh!"

"Hah enggak perlu―"

"―sshht!"

Sori bangkit dari tempat duduknya. Ia menuju ke bunga-bunga yang sudah ia tanam, satu persatu ia kumpulkan hingga terbentuklah satu buket bunga, lalu ia menatap [Name] yang masih duduk di kursi.

Pelan-pelan ia hampiri wanitanya. Berlutut di hadapannya bak pangeran, dan ia perlihatkan bunga yang sudah ia satukan tadi.

"[Full name], aku sudah lama menyimpan rasa padamu. Jika Vicky Prasetyo bisa membuat puisi untuk wanitanya. Aku; Sori, bisa membuat taman untukmu. Taman ini kupersembahkan hanya untukmu, si cantik yang tanpa sadar memikat hati seseorang; maksudnya, aku―Sori. [Full name], mau menikah denganku?"

Malu. Rasanya malu ketika dilamar secara romantis seperti ini. Tapi ini semua sudah disiapkan oleh Sori dari dua bulan lalu. Ia sudah mempelajari ini semua dari Solar dan orang tuanya. Kata-kata yang sedikit mustahil bisa ia ucapkan tadi itu sudah ia pelajari dan dihafalkan sejak bulan lalu.

[Name] sendiri hanya diam dengan wajah yang sangat merah. Rasanya ia ingin kabur saja karena malu. Namun, semuanya akan hancur jika ia kabur. Makanya―

"... Kita emang udah nikah, gajelas."

―[Name] jawab begitu saja, dengan senyum dicampur tawa kecil karena malu. Ia bahagia, karena dilamar seperti ini oleh orang yang ia sukai―walau sedikit terlambat―itu.

"Yaah, suasananya dihancurin."

Biarlah, setidaknya semua yang disembunyikan oleh Sori selama ini sudah terucapkan semua. [Name] juga nampak bahagia begitu semuanya keluar dari mulut Sori.

Biarkan saja mereka bahagia saat ini.

[Name] terima bunga dari tangan Sori, lalu ia kecup pipi kanan suaminya. "Makasih."

"...?!?!! MINIMAL ABA-ABAAA!"

"HAHAHAHA MAAF."

____

Walah, aku nulis apa ini 😔

Kayaknya agak hancur deh, karena aku maksain dikit ngebikin ulang plot gatot beberapa bulan lalu yang harusnya jadi punya Solar. 😔

Ini panjang banget kali ini, 1700+ words lebih. Semoga enggak bosen, ya. 😭 biasanya kan aku cuma sekitar 1000+ words aja biar gak terlalu bosen gitu.

Anw


Ini akan diupdate setelah sori tamat besok, iya guys, satu chapter lagi tamat!

See u nanti!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro