Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03. komunikasi


"Jadi kamu kenapa ke sini? Mana [Name]?"

Pria paruhbaya itu menatap sebal pada menantu laki-lakinya yang saat ini berada di depannya. Bayangkan saja, pagi-pagi seperti ini―yang seharusnya ia bersantai sembari melihat tanamannya, malah diganggu oleh si mantu.

Anaknya gak ada lagi. Cuman si mantu. Kan bapak jadi bingung, ngapain ke sini?

"Sori mau curhat, Pah."

Wajah Sori terlihat seperti orang putus asa sekali, seperti sudah tak ada harapan lagi, seolah si mertua harapan terakhirnya.

Dari wajahnya saja, ayah [Name] bisa menebak. Pasti anak dongo ini tiap hari istighfar terus karena hidup sama [Name]. Si ayah tahu, kok. Dia sudah berpengalaman hidup dengan [Name] selama dua puluh tahun lebih.

"Kenapa? Kamu diusir? Disuruh tidur di luar? Cuma dianggap temen? Didiemin?"

Aduh, mendengar tebakan mertuanya, Sori langsung terasa seperti ditusuk anak panah. Tebakannya benar semua, rasanya Sori jadi kesal.

"Mana bener lagi...."

Ayah [Name] tertawa kencang, "karena apa? Lupa buang sampah? Gak cuci piring sendiri?" iya, ayah yang satu ini sangat mengenal anaknya. Karena dulu dia korban seperti Sori juga.

"Lupa buang sampah, Pah."

Tuh, kan.

"Gak heran kalo habis itu kamu didiemin, Le. Jangan lupa buang sampah sama cuci piring sendiri kalo gak mau gini lagi."

Sebenarnya kasihan juga, sih. Ribut hanya karena lupa buang sampah. Sepele, tapi ributnya panjang.

"Terus Sori harus apa, Pah?"

Sori mau manja-manja sama [Name], tapi [Name]-nya lagi gitu, mana bisa manja. Sudah minta maaf juga, [Name] tetap diam. Harus apa? Tanya bapak mertua.

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Sori membuat sang ayah memiliki ide bagus, yang mungkin tak akan disukai oleh anak perempuannya.

"Saya ada ide. Tapi kamu siap?"

"Sori selalu siap kalo itu bisa bujuk [Name]!"

Segera, ayah [Name] memberi kode kepada Sori untuk lebih mendekat kepadanya, yang mana langsung diangguki oleh Sori. Ia berdiri dari tempat dia duduk. Menuju ke arah ayah mertuanya yang sedang memandang dirinya dengan raut tak bisa ditebak.

"Bisik-bisik aja."

"Rahasia banget ya, Pah?"

"Iya."

Dan pagi itu, awal dari hal ini terjadi.

――BESTIE。

Aneh.

Satu kata yang cocok untuk mendeskripsikan Sori saat ini. Pria itu tak seperti biasanya. Tak ada suara merengek yang terdengar di telinga [Name] setelah Sori kembali entah dari mana.

Yang ada hanya sebuah semburan merah tiap kali mereka berpapasan ataupun duduk di tempat yang sama. Dari jam delapan pagi hingga kini, jam delapan malam―Sori tetap mempertahankan keanehannya itu.

Membuat [Name] menjadi tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya kepadanya. Dia menatap Sori yang dihiasi rona merah. Pria itu sedang fokus pada bukunya, mencoba untuk tidak salah tingkah karena dirinya sadar jika ditatap seperti itu.

Ini juga aneh, Sori jarang membaca buku pada malam hari. Biasanya, pria ini lebih sering menghabiskan waktunya pada malam hari dengan bermain video game. Ini salah satu bukti jika ada yang salah dengan Sori.

Lantas, [Name] membuka suara.

"Kamu kenapa, sih?"

"G-gapapa, tuh."

Dalam hati, sebenarnya ingin Sori jawab seperti ini, 'kamu yang kenapa! Aku kok didiemin terus?? Emang aku salah banget, ya? Aku kan cuma lupa, namanya juga manusia, pasti ada, deh lupanya. :('

"Kamu ngambek? Karena aku diemin kamu?"

Malu-malu, laki-laki dengan piyama tidur itu mengangguk pelan. Rona merah yang tadinya hanya sedikit, kini memenuhi wajahnya. Sori malu.

"Aku kan sudah bilang gapapa asal gak diulangin lagi. Kan sudah kumaafin."

"Tapi [Name] jadi beda ... kayak kurang sudi, gitu. Aku jadi bingung, tau! [Name], kamu gantungin cowok."

"Kenapa bingung? Kan aku udah maafin."

"[Name] diemin aku dua harian...."

Bibir pria itu melengkung ke bawah, maniknya nampak memancarkan aura kesedihan pada sang istri―tapi, ketika ia menutup bukunya dan memberikan seluruh kefokusannya pada [Name] dengan raut yang sama, [Name] bisa membaca kodenya.

Seperti―'kalau gak marah, peluk aku, cium aku. Jangan jauh-jauh kayak jaga jarak. Aku sedih, tau. Aku kangeen mau peluk.'

Tak memakan waktu lama, gadis yang saat ini sedang disalahpahami oleh Sori terkekeh, ia berjalan mendekat ke arah suaminya. Memeluk sosok yang lebih besar darinya dari belakang, bermaksud memberikan kepastian.

Habisnya, kata Sori ia menggantung Sori, sih.

"Aku enggak marah, aku diem karena kamu aneh. Takutnya aku yang marah-marah ke kamu cuma karena hal sepele kayak gitu aja bikin kamu sebel. Kita bestie-an mungkin memang udah lama, tapi belum tentu aku atau kamu tau semua hal yang ada di dalam diri ini―aku atau kita―cuma karena bestie.

Apalagi, status kita udah berubah. Setelah nikah, pastinya ada aja kebiasaan atau sifat di antara aku atau kamu yang belum diketahuin. Kayak hal sepele kemarin, contohnya.

Mungkin karena kita sudah bareng dari lama, kita mikirnya 'sudah kenal sampai akarnya' tapi pasti ada aja yang belum kita ketahuin kayak kemarin. Hahaha! Kayaknya kamu baru tau, deh. Makanya, aku diam karena kamu aneh. Bikin aku overthinking, tau."

Perkataan panjang dari [Name] sedikit membuat Sori lega. Lega mengetahui fakta jika sang istri memang tidak marah padanya. Hanya takut saja, karena ia aneh. Ya, ini hanya kesalahpahaman saja.

"[Name]...."

"Iya?"

"Kamu kenapa gak khotbah aja?"

Astaga, Sori.

"Aku cewek!"

Duh, padahal suasananya sedang serius. Namun Sori menghancurkannya dengan candaan garing yang ia pelajari dari salah satu saudaranya.

"Hehehe, habisnya serius banget. Aku jadi tegang juga. Dicairin dulu, deh."

Mendengar jawaban Sori, [Name] menggelengkan kepalanya pelan. Suaminya ini kenapa suka sekali seperti ini, sih?

"Ya sudah, tidur, yuk? Masih setengah sembilan, sih. Tapi hari ini aku mau tidur cepet. Kalo kamu mau begadang, jangan terlalu malam, ya."

"Umh ... sebenarnya masih ada yang mau ku bahas, sih."

[Name] mengerutkan keningnya, "apalagi?"

Dengan malu-malu, pria itu bangun dari duduknya. Berjalan mendekat ke arah sang istri hingga hanya menyisakan jarak beberapa centi.

Tangan kirinya menggapai pinggang sang istri, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk mengelus wajah cantik milik istrinya.

Tangan kanannya itu terus bergerak, menelusuri bagian-bagian yang ada pada wajah, sebelum akhirnya menyentuh bibir ranum milik si gadis.

Sori mengusap bibir gadisnya dengan penuh kelembutan, maniknya menatap manik sang gadis dengan penuh harap. Yang mana langsung diangguki oleh sang empunya bibir.

Sori mengecup bibir [Name]. Hanya sekedar dua bibir yang saling bertemu, tak ada lumatan di dalamnya. Benar-benar hanya menempel dengan lembut. Selang beberapa detik, ia menyudahinya. Menjauhkan bibirnya dari bibir [Name].

Wajahnya memerah, sama halnya dengan [Name] yang habis dikecup. Malu-malu, Sori mendekatkan wajahnya pada telinga [Name].

"Kalau aku minta lebih, diizinin?"

Malam itu―[Full name] secara utuh resmi menjadi milik Sori selamanya.

___________

Komunikasi itu penting, bgitue sjh sie.

maaf banget aku gak update rabu kemarin, aku ngilang dua hari 😔 insyaAllah gantinya besok atau selasa.

Hihii ini udah mau jam dua belas, sih. Tapi gapapa. See u nanti lagi, guys!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro