• SEBELAS •
Dua belas hari setelah kematian Karen.
Cowok bertubuh besar itu meneguk es markisa yang dipesan oleh anak buahnya dalam sekali tegukan. Ia mendesah puas dan membanting gelasnya yang sudah kosong dengan kasar ke atas meja. Menggunakan tangan yang sama, cowok itu menyeka sekitar bibirnya yang basah karena minuman berwarna kuning tersebut.
Matanya menatap kesal kepada dinding di hadapannya untuk beberapa saat sebelum akhirnya beralih pada gips berbahan fiber yang membalut pergelangan tangan kirinya. Hanya dengan menatap kondisinya yang menyedihkan saat ini, cowok yang dikenal sebagai senior paling ditakuti di SMA Nusantara itu sudah merasa marah.
Cowok dengan gips di tangan kirinya itu adalah Bani Prawira.
"Gue harus balas dendam sama Junot," tandasnya berapi- api.
Cowok berwajah tirus dengan tahi lalat di atas bibirnya itu menyilang kedua tangannya di dada dan merespons. "Namanya Juna, Bos." Dia adalah Edwin, senior yang jago banget main basket di SMA Nusantara. "Lagian, gimana caranya kita mau balas dendam sama dia? Juna udah mukulin kita kaya berandalan pasar waktu itu. Dia bahkan udah bikin Bos patah tulang kaya gitu."
Bani mendelik sinis pada Edwin. "Lo ngeremehin gue?"
Hingga membuat cowok dengan jambul di rambutnya yang khas itu menunduk takut di tempatnya.
"Terus, Bos punya rencana apa?" tanya Gilang. Cowok yang dikenal suka bolos sekolah dan tukang palak di SMA Nusantara. Di antara mereka bertiga, hanya Gilang lah yang jarang sekali datang ke sekolah karena lebih suka membolos di warung internet demi game kesukaannya. "Kita nggak bisa lawan Juna kalau sembarangan. Bisa-bisa muka kita bonyok duluan sebelum nyerang."
Mereka bertiga dikenal sebagai senior paling disegani di SMA Nusantara karena terkenal dengan kekuasaan mereka. Selain kasar dan suka mencari masalah, mereka bertiga juga didukung oleh status finansial yang mumpuni karena keuangan orang tua mereka. Pihak sekolah bahkan seringkali menutup mata atas kelakuan Gilang yang paling parah di antara mereka karena ayahnya adalah seorang investor terbesar di SMA Nusantara.
Mereka bertiga seringkali disebut geng serigala oleh siswa-siswa yang lain. Dan sudah jelas, musuh bebuyutan mereka adalah Juna yang notabene nya junior mereka di sekolah.
Selama ini, tidak ada satupun siswa yang berani menentang perintah Bani, si ketua geng karena takut terlibat masalah. Sampai akhirnya Juna datang dan berani melawan geng serigala tersebut. Untuk pertama kalinya setelah 3 tahun berada di SMA Nusantara, Bani akhirnya memiliki saingan yang setimpal.
"Nyawa harus dibayar sama nyawa," kata Bani serius. "Tangan harus dibayar sama tangan."
Namun Bani tiba-tiba tersentak kaget ketika sosok yang telah membuatnya menderita selama hampir dua minggu ini muncul di tempat tongkrongan mereka. Juna tiba-tiba berdiri di depan gang, di dekat warung belakang sekolah. Tempat yang paling dihindari oleh siswa lainnya, karena siapapun yang berani melintas sudah pastilah harus berhadapan dengan geng serigala.
Tampaknya ancaman seperti itu tidak berlaku untuk Juna. Ia justru datang tanpa diundang, seolah menjemput kematiannya sendiri.
Edwin dan Gilang bahkan refleks berdiri dan mundur beberapa langkah ketika mata keduanya menangkap sosok Juna yang tengah melihat mereka bergantian. Bani sedikit kaget, tapi tidak sampai sepanik kedua anak buahnya. Ia masih duduk di sebuah sofa tua yang disediakan oleh pemilik warung dan memandangi Juna dengan sisa keberaniannya.
"Mau apa ke sini? Cari mati, hm?" tanya Bani ketus.
Ia sungguh ingin menghajar Juna untuk membalas semua penderitaannya jika saja tangannya tidak lagi terasa sakit dan gips yang melilit pergelangan tangannya itu sudah terlepas. Namun dengan kondisi seperti ini, yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha bertahan dan menggertak. Bagaimanapun juga, Bani masih sayang dengan tubuhnya sendiri.
"Lo udah sembuh?" tanya Juna sarkastik. "Kenapa nggak masuk hari ini?"
Bani mendengus geli dan melihat kedua anak buah yang masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi takut bergantian sebelum kembali menghadapi Juna. "Apa peduli lo memangnya?"
Juna maju satu langkah dan membuat Bani menegakan tubuhnya di sofa. Ia tidak takut, tapi tetap harus waspada dan bersiap-siap untuk lari jika saja Juna kembali menyapanya dengan satu pukulan telak.
"Jangan maju lagi," kata Bani tiba-tiba. Ia berusaha dengan susah payah untuk tidak terlihat payah di hadapan kedua anak buahnya yang sudah hampir kena serangan jantung di belakangnya. "Jangan coba-coba lo berani deket sama gue. Atau--"
"Atau apa?" Juna menaikkan satu alisnya tanpa sedikitpun melepaskan raut dingin di wajahnya yang tampan. "Lo mau coba nonjok gue pakai tangan lo yang diperban itu?"
"Ini namanya gips," kata Bani mengoreksi.
"Sama aja," timpal Juna malas.
"Beda, dong." Bani menunjuk gips yang membalut tangan kirinya dan menatap Juna tak terima. "Gips ini harganya lebih mahal daripada uang jajan lo sebulan asal lo tahu."
Juna mendesah kasar dan kembali ke posisinya semula. Ia melihat Bani, Edwin dan Gilang bergantian sebelum memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap sang pemimpin dengan tatapan tajam. "Lo masih pacaran sama Ganisa?"
Bani terkesiap. "Ngapain lo nanya-nanya soal dia?" Ia lalu mengangkat satu alisnya penasaran. "Lo suka sama dia?"
"Mendingan lo jagain pacar lo sebelum tangannya juga berakhir kaya lo," titah Juna dengan suara yang mengintimidasi dan dalam. Membuat Bani justru mengernyitkan keningnya karena sama sekali tidak mengerti dengan maksud ucapan cowok bertubuh atletis itu barusan. "Sekali lagi gue lihat dia berulah dan berani sentuh teman-teman gue, gue nggak akan diam lagi."
Gilang tiba-tiba menyela, "Bos, kita bilang juga apa. Mendingan Bos putus aja sama dia," dengan suara yang gugup dan cemas. "Gue udah bilang soal Ganisa waktu itu, 'kan?"
Lalu, di tengah-tengah suasana yang membingungkan ini, Edwin juga menambahkan, "Iya, Bos. Ganisa benar-benar berani nyiksa orang." Edwin melihat Gilang dan mengangguk sepakat. "Dia udah hampir bikin cewek culun itu mati, Bos."
"Cewek culun?" sela Juna penasaran. Membuat Bani, Edwin dan Gilang menoleh heran kepadanya. "Karen maksud, lo?"
"Pokoknya cewek yang selalu dirisak sama dia," kata Gilang memberi tahu. "Gue dengar cewek culun itu udah meninggal beberapa hari setelahnya."
Namun ekspresi Juna yang benar-benar penasaran justru membuat Bani kesal. Ia pun bangkit dan berdiri menghalangi Gilang dengan mulut besarnya itu. "Mendingan lo pergi dari sini sekarang," suruh Bani dengan nada tak senang. "Urusan gue sama Ganisa itu nggak ada hubungannya sama lo."
Juna menarik napas pendek sebelum menarik kedua kerah seragam Bani yang berdiri tepat di hadapannya. "Kali ini lo harus benar-benar kasih tahu cewek lo yang gila itu. Berhenti buat jadi manusia nggak waras dan jangan coba-coba dia berani sentuh teman-teman gue terutama Stella, atau gue bisa buat dia lebih menderita daripada lo. Paham?" []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro