Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• EMPAT BELAS •

Tiga belas hari setelah kematian Karen.

Rumah Stella.

Jam dinding yang tergantung di kamarnya telah mengarah ke angka tujuh, yang artinya sudah dua jam setelah Stella pulang ke rumahnya, mandi dan berdiam di depan laptop yang ada di atas meja belajarnya.

Cewek yang saat ini tengah mengenakan piyama tidur merah bergambar doraemon itu menguncir rambutnya ke belakang dan duduk menatap layar 16 inchi dari Macbooknya dengan gamang. Ia menggigit bibirnya pelan dan mengernyitkan keningnya dalam-dalam. "Kenapa ya tadi gue kabur dari Juna?" Stella juga menyilang kedua tangannya di dada dan memiringkan kepala. "Kenapa juga gue harus deg- degan kaya gitu, ya? Aneh banget."

Stella buru-buru menepis pikirannya tentang Juna. Namun memang tidak bisa dipungkiri, Stella mulai merasakan keanehan dalam dirinya semenjak Juna mengungkapkan perasaannya beberapa hari lalu dan hal tersebut sedikit mengganggunya. Kemunculan Juna yang tiba-tiba seperti tadi, bahkan berhasil membuat jantung Stella berdetak lebih cepat dari biasanya hingga cewek itu refleks menghindar dan memutuskan untuk pulang dengan ojek pangkalan yang posisinya tidak jauh dari lokasinya berada tadi siang.

"Oke, niat gue melakukan ini adalah untuk menguak kebenaran di balik kematian Karen," ucap Stella penuh percaya diri. "Kalau Karen meninggal bukan karena bunuh diri, seseorang harus berani buat melakukan sesuatu, 'kan?" Cewek dengan wajah bulenya yang kental itu berbicara pada dirinya sendiri seolah ada orang lain di hadapannya. Ia pun mengangguk mantap dan membulatkan tekadnya. "Gue akan selesaikan kasus ini sendiri dan harus cepat, pokoknya gue harus tahu kebenaran di balik kematian Karen sebelum Om Antoni sama Tante Diana adopsi anak."

Stella lalu menarik laci teratas di meja belajarnya untuk mengambil buku catatan dan pulpen dengan gambar doraemon merahnya di bagian luar. Sekali lagi, keningnya berkerut tatkala mencoba menimbang-nimbang apa yang harus ia tulis di sana.

1. Samuel
2. Juna
3. Clara
4. Ganisa
5. Helena
6. Sera
7. Bani
8. Edwin
9. Gilang
10. Dimas

"Ini urutannya benar nggak, ya?" Stella mengetuk pulpennya ke atas kertas sebanyak dua kali. "Atau seharusnya gue taro Dimas di atas ya karena dia ada di circle persahabatannya Karen?" Cewek itu menimbang-nimbang dan memutuskan untuk mengganti urutan nama yang sudah dia tulis sebelumnya menjadi,

1. Samuel
2. Juna
3. Clara
4. Dimas
5. Ganisa
6. Helena
7. Sera
8. Bani
9. Edwin
10. Gilang

Stella mengulum senyum puas di bibirnya yang merah muda. Bahkan tanpa perlu menggunakan pemoles pun, bibir cewek itu sudah tampak sangat cantik secara alami. "Oke selesai," tukasnya bangga. "Sekarang, gue cuma perlu cari hubungan dan benang merah antara Karen dan orang - orang ini. Mulai darimana ya enaknya?"

***

Stella kini berdiri di depan gerbang rumah dengan melapisi pakaian tidurnya menggunakan sweater oversize berwarna hitam yang menjuntai sampai ke bawah bokongnya. Ia menggenggam ponsel di tangan kirinya sementara matanya yang hitam dan bulat mengamati cowok yang kini berdiri di hadapannya.

"Lo ngapain ke rumah gue malam-malam, Jun?" Stella melihat Juna dengan penuh selidik. Meski jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang berdebar dengan kencang, tapi cewek itu tampaknya paham betul caranya mengendalikan perasaannya sendiri dalam situasi seperti ini. Bagaimanapun juga, jika Stella bersikap berbeda, suasana di antara mereka berdua pastilah akan berubah canggung dan tidak nyaman. "Lo nggak akan nyuruh gue ngerjain tugas bahasa inggris lo, 'kan?"

Juna terdiam sesaat sebelum akhirnya mendengkus pendek dan menoyor kepala Stella dengan santainya hingga cewek itu mencebik sebal. "Sejak kapan gue peduli sama tugas - tugas sekolah, hah?"

"Iya juga, sih. Lo kan emang udah nggak ada otak ya buat ngerjain semua tugas dari sekolah," balas Stella tanpa rasa berdosa. Yang membuat Juna menyilang kedua tangannya di dada dan balas mencebik pada Stella. "Anyway, karena lo udah jauh-jauh ke sini, mendingan lo masuk aja ke dalam sekalian. Kita ngobrolnya sambil makan mi instan aja. Gimana?"

Juna melongo. "Mi instan doang?" dan matanya yang setajam elang memiringkan kepala, mengedarkan pandangan ke pemandangan rumah besar yang ada di belakang tubuh Stella. "Rumah segede gini cuma punya mi instan?"

Cewek itu kemudian berbalik dan membuka gerbang rumahnya lebar-lebar. Lalu menatap datar kepada Juna yang masih berdiri di dekat motornya. "Lo bisa masuk dalam hitungan ketiga. Satu, dua--"

"Mi instan juga boleh!" sela Juna buru-buru. Cowok bertubuh tinggi dengan kedua bahunya yang cukup lebar itu langsung menaiki motor sportnya untuk kemudian memasukkannya ke dalam garasi rumah Stella. "Ada telur sama kerupuknya nggak, Stell?"

Ketika Juna berbalik, Stella sudah menghilang karena masuk ke dalam rumahnya duluan setelah selesai menutup kembali pintu gerbang di rumah besarnya itu. Membuat Juna mendesah kesal dan mengutuki Stella sebagai cewek yang tidak berperasaan sebelum pada akhirnya ia pun berlari menyusul sang pemilik rumah ke dalam.

"Rumah lo sepi, Stell?" pertanyaan retorik, Juna seharusnya tidak melempar pertanyaan itu pada Stella yang kini duduk di sofa ruang tamu. "Bibi yang biasa masak di sini, nggak ada?"

Stella menghela napas panjang dan mendongak ke arah Juna yang masih berdiri di depannya dengan jengkel. "Setelah gue pikir-pikir lagi, mi instan juga kayaknya nggak ada, deh. Lo bisa makan di sini lain kali," ujarnya ketus.

Membuat cowok berusia 17 tahun itu tertawa geli dan ikut duduk bersebrangan dengan Stella di sofa. "Sensitif banget. Lagi merah, ya?"

"Udah, deh. Nggak usah basa - basi," kata Stella menyahuti. "Lo sebenarnya ke rumah gue malam- malam itu mau ngapain? Kalau nggak penting, mendingan lo balik aja, deh, Jun."

"Lo nggak suka gue di sini?"

"Menurut lo?"

"Serius?" tanya Juna tidak percaya. "Emang lo nggak senang akhirnya lo nggak sendirian lagi di rumah segede gini?"

Stella mendesah frustrasi dan melipat kedua tangannya di dada. "Apa harus gue jawab ya pertanyaan lo yang nggak penting itu?"

Namun bukannya menimpali kalimat ketus yang keluar dari mulut Stella dengan serius, Juna justru terkekeh geli dan menggeser posisi duduknya. Ia menegakan tubuh dan menatap Stella dalam-dalam. "Pertama, sori soal kemarin," katanya memulai.

Dahi Stella pun berkerut dalam seketika. "Kemarin?"

"Soal ...," Juna berdeham pelan dan menatap sang lawan bicara dengan canggung sekarang. "Perasaan gue."

Sontak saja Stella dibuat gugup seketika. Kedua pipinya merona dan tanpa sadar ia mencoba mengalihkan pandangannya dari Juna saat itu juga. Cewek itu menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal sembari berkata, "Ah, soal itu, it's okay. Lupain aja."

"Gue cuma mengungkapkan, artinya lo nggak perlu jawab apa-apa," sambung Juna dengan hati - hati. "Ditambah, gue juga nggak mau persahabatan di antara kita rusak. Jadi, next time lo nggak perlu kabur lagi dari gue kaya tadi siang. Oke?"

Stella pun menyunggingkan senyum dan menatap Juna. Cowok itu tampak tidak seperti biasanya, ia terlihat gugup dan berpura-pura percaya diri. "Oke, sori soal tadi siang."

"Dan yang kedua ... ini tentang Karen."

Wajah merona yang sebelumnya tercetak jelas pada Stella kini berubah tegang. Ia mengernyitkan kedua alisnya dan mencondongkan tubuh ke depan. Menatap Juna dengan penuh keingintahuan. "Ada apa sama Karen?"

"Karen, maksud gue, orang yang pake nomor Karen, dia ... dia nge chat gue tadi siang," ucap Juna tak nyaman. "Kemarin dia muncul di grup, 'kan? Tapi tadi siang, dia ngirim pesan ke gue secara personal, Stell."

"Apa?" Stella menggeleng tak percaya. "You're kidding me, right?"

"I hope I am, but I am not, Stella." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro