Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• DUA PULUH TIGA •

Tujuh Belas Hari Setelah Kematian Karen.

SMA Nusantara, Jakarta.

Kelas 12 sosial 1 dikenal sebagai kelas yang paling disegani oleh seantero SMA Nusantara karena Bani, Edwin dan Gilang berada di kelas itu. Semua jelas kenal Bani karena orang tuanya merupakan salah satu investor terbesar--seperti orang tua Ganisa--di sekolah.

Meski lebih dikenal sebagai geng serigala, masing-masing anggota memiliki panggilan tersendiri. Contohnya Bani, dia adalah ketua geng yang sering dipanggil 'Bani si Trouble Maker', lalu Edwin, cowok paling berisik yang bisa disebut juga 'Knalpot Racing' dan Gilang si 'Makhluk Gaib' karena hobinya yang jarang masuk sekolah. Sekalipun Gilang masuk ke sekolah, cowok itu tidak benar-benar bergabung di dalam kelas dan mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru.

Hari ini, Gilang bolos lagi. Hanya ada Bani dan Edwin di kelas. Mereka kini duduk di pojok kanan pada jajaran kursi paling belakang meski bel istirahat sudah berbunyi. Mata hitam kecokelatan milik Bani memang menatap lurus ke arah papan tulis, tapi fokusnya jelas tidak ada di sana. Dengan punggung bersandar pada kursi, kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana dan kaki yang terangkat ke atas meja di depannya, Bani akhirnya menghela napas berat dan membuka suara. "Menurut lo gimana?"

Edwin yang sedang asyik duduk sembari membaca komik 18+ di sebelahnya itu tampak terkesiap dan menoleh bingung kepada Bani. "Gimana apanya, Bos?"

Bani balas menatapnya--dengan kesal. "Lo nggak ngerti situasinya atau gimana, Win?" Ia kemudian merampas komik berlabel dewasa dari tangan Edwin dan membantingnya ke lantai. "Gue lagi pusing, lo malah enak-enakan baca komik porno!"

Suara Bani yang cukup keras berhasil menarik perhatian beberapa siswa di sekelilingnya untuk menatap Edwin dengan pandangan menghakimi dan jijik. Membuat Edwin panik dan buru-buru ia memungut komik tersebut dari lantai untuk kemudian menyimpannya ke dalam tas. "Jangan keras-keras dong, Bos," pintanya dengan segan.

Edwin lalu membalas tatapan beberapa siswa yang masih memandanginya penuh selidik dari kursi mereka masing-masing dengan tajam dan berseru, "Apa lu semua liat-liat? Mau pulang babak belur, hah?!" hingga tak ada satupun dari orang-orang itu yang berani untuk kembali melihat ke arah Edwin. "Kepo lu semua!"

"Berisik banget sih lo, Win," tandas Bani ketus. Ia kemudian menurunkan kaki dari meja dan menyilang kedua tangannya di dada. "Lo tadi liat Ganisa di lapangan, 'kan?"

Edwin mengangguk. "Gue langsung merinding ngeliatnya. Dia berani banget nyiksa anak orang di lapangan terus diliatin hampir setengah dari siswa di sekolah. Gue nggak yakin kalau Ganisa itu benar-benar normal deh, Bos."

Bani mengatup bibirnya yang keabuan dan menggumam panjang sebelum mencondongkan tubuhnya ke arah Edwin dan berbisik, "Menurut lo, Ganisa ada sangkut pautnya nggak ya sama kematian cewek yang namanya Karen itu?"

"Karen? Temannya Juna?" balas Edwin dengan suara yang tak kalah pelan.

"Iya. Cewek culun yang waktu itu lo ceritain ke gue di depan Juna." Edwin mengangguk-anggukan kepalanya dan Bani menarik tubuhnya kembali ke posisi semula. "Cewek itu meninggal dan rumornya karena dia dirisak sama Ganisa, 'kan?"

"Lo bukannya tadi juga lihat di lapangan? Cewek yang diikat sama Ganisa tadi yang katanya bikin Karen bunuh diri, Bos." Edwin mengangkat kedua bahunya cepat. "Videonya aja udah rame banget di laman media sekolah. Lo emangnya belum liat?"

"Udah sih, gue udah liat," kata Bani yang kemudian menggaruk tengkuk lehernya dengan canggung. "Tapi masalahnya sekarang, gue jadi bingung. Harus percaya sama omongan Ganisa atau enggak. Secara, lo berdua juga ngeliat Ganisa ngebully tuh cewek di sekolah, kan?"

Edwin pun mengangguk setuju. Sebelum kembali beralih pada Bani, mata hitamnya yang sedikit sipit sempat menyapu seluruh sudut kelas yang tampak sepi sembari mengingat-ingat kembali kejadian yang ia dan Gilang lihat di hari itu. "Kalau diingat-ingat lagi, Ganisa nggak pernah deh seganas ini ngebully junior," ucapnya dengan hati-hati. "Kita tahu dia emang keren dan berkuasa. Tapi soal cewek culun itu ... dia kayaknya tahu sesuatu deh."

"Sesuatu?" Satu alis Bani terangkat ke atas. "Sesuatu kaya apa?"

"Mungkin sesuatu kaya ... rahasianya Ganisa?" kata Edwin tak yakin. Ia lantas melipat kedua tangannya di dada dan membalikkan pandangannya ke arah papan tulis. "Ganisa biasanya ngebully junior cuma buat senang-senang doang. Tapi ke Karen ... kalau gue nggak salah, Ganisa tuh kaya ketakutan atau cemas gitu. Tapi ini baru tebakan gue doang ya, Bos. Bisa benar ya bisa salah juga."

Cowok dengan anting hitam di telinga kanan bagian bawahnya itu lantas menyeka wajahnya dengan frustrasi dan mengusap dagunya perlahan. "Kalau Ganisa emang terlibat, gue harus buru-buru putusin dia sebelum gue kena masalah juga, Win. Gimana pun juga, gue mau pacaran sama dia karena kita berdua sama - sama untung selama ini. Tapi kalau udah kaya gini, apalagi menyangkut nyawa seseorang, udah lain cerita dong."

Edwin melihat Bani dan mengangguk setuju. "Tapi ... lo nggak takut sama Ganisa 'kan, Bos?"

Pertanyaan sederhana yang membuat Bani langsung naik pitam. Ia pun bangkit dan menarik kedua kerah seragam Edwin dengan tatapan nyalang. "Kapan seorang Bani Prawira takut sama cewek, hm? Lo berani nantangin gue, Win?"

Nyali Edwin dibuat menciut seketika. Ia pun segera menatap Bani menyesal dan kedua tangannya berusaha melepaskan diri dari cengkraman sang bos yang kini menunjukkan sifat aslinya. "A--ampun, Bos. Gue cuma nanya doang, nggak ada maksud apa-apa. Sumpah, Bos!"

Hingga emosi Bani mereda dan didorongnya Edwin menjauh dari dirinya. "Awas aja kalau lo nanya hal-hal nggak penting kaya tadi, gue bikin balik tinggal nama lo!"

"Iya iya, sori, Bos," kata Edwin sembari merapikan kerah seragamnya yang dibuat berantakan oleh Bani. "Ayo duduk lagi, Bos. Kita ngobrol lagi aja, santai santai."

Bani mendengkus kesal sebelum akhirnya menuruti permintaan temannya untuk duduk kembali ke kursinya. Ia lantas kembali bersedekap dan melihat Edwin dengan ekspresi penasaran. "Kalau dipikir-pikir, bukannya semua cewek yang belakangan ini bermasalah sama Ganisa itu teman-teman dekatnya si Juna, 'kan?"

"Iya. Nama mereka itu Karen, Stella dan cewek yang tadi pagi jadi tontonan seisi sekolah namanya Clara. Eh, Clara atau Lala ya? Ya, pokoknya itulah," kata Edwin menjelaskan. "Tapi emangnya kenapa, Bos? Bukannya bagus, ya? Ganisa bisa mewakili kita buat balas dendam sama Juna tanpa kita perlu repot-repot turun, 'kan?"

Seringaian licik muncul di sudut bibir Bani. Ia mengangkat kedua alisnya dan menatap Edwin antusias. "Karena Ganisa udah urus cewek yang namanya Karen dan Clara. Gimana kalau kita bantu Ganisa buat urus cewek yang satunya ... cewek bernama Stella yang kemarin disebut sama Juna."

"Bos memangnya mau apain Stella? Kalau sampai ketahuan Juna, bisa abis kita, Bos," kata Edwin cemas.

Bani kemudian menepuk-nepuk bahu Edwin dan tersenyum lebar. "Kenapa kita sampai ketahuan? Kan ada Ganisa. Kita bisa balas dendam ke Juna lewat cewek itu, tanpa repot-repot ngotorin tangan kita sendiri. Gimana? Ide gue keren, 'kan?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro