• DUA PULUH SEMBILAN •
Delapan Belas Hari Setelah Kematian Karen.
Rumah Stella, Jakarta.
Setelah melakukan aksinya selama lima menit, Stella akhirnya memutuskan untuk sadar dari adegan pura-pura pingsan. Semua dilakukannya karena merasa suasana hatinya sudah membaik dan jantungnya tidak lagi berdetak kencang. Ia hampir saja kena serangan jantung dan mati muda karena keberanian Samuel.
Dan tentu saja, untuk meluruskan jalannya aksi pura-pura pingsannya tadi, Stella pun melanjutkannya dengan berpura-pura lemah dan menatap satu persatu temannya dengan ekspresi bingung. Sembari memegangi pelipisnya yang sama sekali tidak terasa sakit, ia pun bertanya, "Kalian masih di sini?" hingga membuat keempat temannya yang lain keheranan. Alih-alih bertanya ada apa dengannya seperti yang kebanyakan orang pingsan lakukan, Stella justru melontarkan pertanyaan yang terkesan memang cewek itu berniat mengusir semua temannya secara halus. "Eng, maksudnya, gue pikir kalian pulang karena gue tiba-tiba pingsan. Sori, jadi ngerepotin kalian."
Clara yang duduk paling dekat dengan Stella pun meraih telapak tangan sahabatnya itu dan menggenggamnya erat. "Kayaknya lo memang nggak sehat deh, Stell. Apa nggak sebaiknya lo periksa ke dokter aja?"
"Muka lo pucat kaya zombie," tambah Dimas dengan entengnya.
"Enggaklah!" seru Juna tak terima. "Mana ada zombie can--"
Semua mata kini tertuju pada Juna yang tampaknya sadar bahwa ia hampir keceplosan mengucapkan sesuatu yang akan membuat teman-temannya yang lain curiga padanya. "Mana ada zombie perempuan," sambung Juna mengoreksi. "Zombie tuh seram-seram dan biasanya cowok. Bukan cewek kaya Stella."
Clara lalu melihat Juna dan Dimas. "Kalian berdua lagi ngapain, sih? Teman kalian baru sadar dari pingsan, kok malah ngomongin kembarannya Samuel?"
Cowok dengan poni tipis yang menutupi sisi kiri wajahnya itu lantas menoleh dan menatap Clara tak suka. Ia pun mendecih dan memukul pelan kepala Clara, "Mana ada zombie ganteng kaya gue!" hingga membuat Stella tertawa geli di tempatnya.
"Stell, lo udah bisa ketawa?" tanya Dimas khawatir. "Apa beneran udah nggak apa-apa?"
"Gimana kalau kita ke klinik aja? Buat pastiin kenapa lo bisa tiba-tiba pingsan kaya gitu dan jadi emosional belakangan ini," tambah Samuel tak kalah cemas.
"Iya, gue setuju sama Samuel," kata Juna menimpali.
Namun cewek keturunan Belanda-Indonesia itu menggeleng cepat dan berkata, "Gue cuma kecapean aja. Nggak usah berlebihan. Oke?" hingga membuat semua temannya yang kini duduk bersila mengelilinginya menatap lega ke arahnya.
Pada titik ini, Stella menyesali sesuatu;bagaimana dia bisa menuduh salah satu di antara teman-temannya menjadi pelaku, yang membunuh Karen. Sementara tak ada satupun dari mereka yang tampak tidak cemas dengan kondisi kesehatan Stella padahal cewek itu hanya berpura-pura saja.
"Ada yang lapar nggak, sih?" tandas Clara tiba-tiba, memecah suasana haru yang dirasa sudah cukup bagi mereka. "Karena panik, pencernaan gue jadi kaget gitu. Sekarang mendadak kaya kosong."
Dimas mendecih dan mendelik sebal pada Clara yang duduk di sebelahnya. "Mau bilang lapar aja, pakai rumus kimia segala. Dasar cewek," gerutunya. "Gue tadi bawa kue brownis juga. Ada yang mau?"
Semuanya pun kompak mengangguk mengiyakan dan Dimas kembali menjadi seorang pelayan yang membagikan tiap potong kue berwarna gelap miliknya kepada mereka. Begitu selesai dan masing-masing dari mereka sudah memegang potongan brownis, Dimas pun duduk di atas kasur lipat miliknya. Yang kemudian diikuti juga oleh teman-temannya. Kini, mereka duduk dengan posisi lingkaran di atas kasur lipat masing-masing dengan Stella sebagai poros utamanya.
"Eh, soal permainan yang tadi. Mau dilanjutin nggak?" kata Clara, yang membuat Stella kembali tertegun. Ia menelan sisa kue dalam mulutnya dengan cepat dan ekspresi panik kembali muncul di wajahnya.
"Kayaknya gue cukup kasih tahu kalian sampai situ aja deh," ucap Samuel yang berhasil membuat otot-otot di mata Stella melemas seketika. Stella diam-diam tersenyum lega dan melanjutkan kegiatannya;makan brownis dari Dimas tanpa rasa cemas di dadanya. "Lagian lama-lama kalian juga nanti tahu gue sukanya sama siapa."
"Astaga, Samuel. Kalau di drama korea nih, lo itu kaya adegan ngegantung yang bikin penonton mati penasaran tahu." Clara mengunyah kue di dalam mulutnya dan mengedikkan bahunya. "Yakin nih nggak mau dilanjutin? Lagian, di antara kita kan nggak ada yang ember mulutnya."
Stella dibuat melotot seketika karena Samuel tampaknya cowok itu sedang menimbang-nimbang perkataan Clara barusan. Ia kemudian menelan habis potongan kue dalam mulutnya yang masih berukuran cukup besar dan buru-buru berseru, "Sekarang giliran gue!" hingga membuat Samuel, Clara, Juna dan Dimas menoleh heran ke arahnya. "Ingat kan sama peraturannya? Kita cuma boleh berbagi satu rahasia, tanpa pertanyaan lain."
"Oh iya juga ya," tutur Clara. "Karena udah lama banget nggak adain secret night, gue jadi lupa."
Juna yang baru saja selesai melahap brownis miliknya pun menimpali. "Emangnya lo punya rahasia apa, Stell? Kelihatannya lo semangat banget," dengan penasaran.
Cewek itu menggigit bibir bawahnya ragu. Matanya yang hitam dan bulat menyoroti satu persatu mata mereka dengan ekspresi bingung di wajahnya. Rahasia yang mana yang harus gue omongin di sini?
Karena Stella menemukan banyak rahasia setelah kematian Karen.
1. Soal surat bertuliskan help me yang ditemukan Samuel,
2. Soal nomor Karen yang kirim pesan personal ke Juna,
3. Soal Clara jadi orang terakhir yang ngobrol sama Karen,
4. Soal Karen yang mungkin tahu rahasia Ganisa tentang status keluarganya sampai dia dibully habis-habisan,
Dan yang terakhir soal Karen yang mungkin baru tahu kalau dia dan Ganisa itu saudaraan.
"Stell?" Clara menggoyang-goyangkan tubuh Stella hingga cewek itu tersadar dari lamunannya. "Katanya sekarang giliran lo?"
"Um, itu ... gue ... gue sebenarnya juga lagi suka sama seseorang," kata Stella pada akhirnya. "Orangnya itu terbuka dan nggak punya rahasia. Pokoknya gue suka banget sama orang yang jujur kaya dia."
Juna dan Samuel tampak menunjukkan ketertarikan di wajah mereka. Mereka bahkan senyum-senyum sendiri di tempat mereka sebelum tanpa sengaja mengangkat tangan mereka di udara dalam waktu bersamaan.
"Astaga, lo berdua hari ini pada kenapasih? Kompakan terus?" goda Clara.
Namun yang lebih mencengangkan adalah ketika Juna dan Samuel saling beradu tatap karena kesal, Dimas justru ikut-ikutan mengangkat tangannya ke udara dengan eskpresi datar di wajahnya.
"Dimas?" Setelah Stella menyebut namanya, ketiga temannya kemudian tersadar bahwa cowok bermata sipit itu juga ingin berbagi rahasia;sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh seorang Barata Dimas. "Lo ... mau berbagi rahasia juga sekarang?"
Dimas mengangguk tanpa keraguan sehingga Juna dan Samuel langsung menurunkan tangannya untuk kemudian ikut memerhatikan cowok itu dengan serius sekarang. "Gue ... nemuin surat dari Karen."
Stella menganga seketika, pun dengan yang lainnya. "Surat? Dari Karen? Maksudnya, Karen bikin surat buat lo, gitu, Dim?"
Namun cowok keturunan bule itu menggeleng cepat. "Surat itu bukan buat gue, tapi buat lo, Stell. Gue nemuin surat terakhir Karen yang tertuju atas nama lo di sekolah."
"Apa?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro