Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• DUA PULUH •

Enam Belas Hari Setelah Kematian Karen.

Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk menangisi keadaan, Stella akhirnya bisa mengangkat dagunya. Seluruh bagian wajahnya basah karena cewek itu menangis dengan posisi kedua kaki ditekuk dan kepala yang dibiarkan tenggelam dalam rengkuhannya sendiri.

Netra hitam milik Stella menangkap arah jarum jam yang menempel di dinding kamarnya. Sudah pukul delapan, sudah cukup malam bagi seorang anak gadis keluar dari rumah untuk sekadar berjalan-jalan mencari udara segar. Namun siapa peduli?

Stella pun berdiri dan membuka lemari pakaiannya yang ada di sudut ruangan lebar-lebar. Matanya menyapu seluruh pakaian yang disimpan Bi Ina dengan sangat rapi di sana, tidak lupa dengan kamper beraroma kuat yang mengisi sudut-sudut lemari bergambar doraemon miliknya. Tangan cewek itu lantas menarik jaket kulit dengan bulu tebal di bagian tutup kepalanya dan segera memakainya.

Ia kemudian mengantongi ponsel dan dompet lipat berwarna merah di dalam saku piyama tidurnya sebelum dengan nekat membuka jendela besar yang ada di kamarnya dan melompat ke luar rumah. Beruntung, Stella sempat menolak tawaran Jeff mengenai penggunaan tralis di jendela kamarnya beberapa minggu lalu, sehingga kini cewek itu bisa dengan leluasa meninggalkan kamarnya tanpa sepengetahuan Jeff ataupun Dania.

Stella sempat merogoh ponsel dan memeriksa obrolan grup yang dia miliki. Namun tampaknya, cewek itu tidak benar-benar yakin harus menghubungi siapa malam itu karena penyelidikannya tentang kematian Karen juga belum selesai.

"Gue harus kemana malam-malam gini?" batinnya. Tapi sejurus kemudian, Stella sudah menepis rasa khawatir yang muncul secara tiba-tiba itu dengan terus berjalan keluar dari rumahnya dengan sangat hati-hati. Stella bahkan kini mengendap-ngendap bak pencuri yang takut dipergoki oleh sang pemilik rumah sampai tubuhnya akhirnya berhasil melewati gerbang besar yang menjaga rumah mewahnya tersebut. Ia lantas tersenyum dan menghela napas lega. "Lolos juga."

"Mau kemana, Stell?"

Namun suara seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangnya itu, sontak membuat Stella terperanjat dan hampir terhuyung jatuh ke aspal. Untung saja Stella langsung menutup mulutnya dan tidak menarik perhatian Jeff maupun Dania yang sampai detik sosok tak asing itu muncul, belum juga menyadari bahwa putrinya sudah meninggalkan rumah. Jika tidak, mungkin teriakan Stella sudah menyebabkan masalah besar.

"Sialan! Ngapain lo di sini malam-malam?!"

Sosok yang menggunakan jaket dan celana panjang hitam itu adalah Juna. Ia pun tertegun ketika Stella tiba-tiba membalas pertanyaannya dengan sangat ketus. "Eits, santai dong," katanya.

"Santai apanya?! Gue hampir jantungan gara-gara lo muncul kaya gitu, Jun!"

Suara Stella yang terus meninggi pun membuat Juna yakin bahwa cewek yang kini menggunakan tudung jaket untuk melindungi kepalanya itu sedang tidak dalam keadaan baik. Kalau anak zaman sekarang bilang, Stella sedang bad mood.

Cowok bertubuh tinggi itu kemudian menengok ke arah rumah Stella untuk beberapa detik sebelum akhirnya kembali pada cewek yang kini tengah mengatur napasnya sambil berkacak pinggang. "Lo kabur dari rumah?" tanyanya dengan santai.

Yang justru membuat Stella gelagapan dan menggaruk tengkuk lehernya yang tiba-tiba terasa gatal. "Ah, kabur? Engga, kok," ucapnya berusaha terlihat senormal mungkin. "Gue cuma mau, eng, itu, cuma mau cari makanan aja. Iya, cari makanan aja."

Juna maju satu langkah dari tempatnya dan memandang Stella prihatin. "Yaudah, ayo kita makan mi instan aja di Alfam*rt depan komplek." Lalu tubuhnya yang atletis pun berbalik untuk membawa motornya yang sebelumnya terparkir kepada Stella. "Buruan, naik!"

Tidak memiliki pilihan lain, Stella akhirnya setuju untuk naik ke atas motor besar Juna malam itu. Beruntung, cewek itu masih sempat berpikir untuk menggunakan jaket sebelum pergi tadi, karena angin malam itu terasa begitu dingin, terutama ketika Juna menaikkan kecepatan laju motornya. Motor sport bertipe ninja hitam itu akhirnya berhenti di sebuah toko ritel yang paling dekat dengan rumah Stella dan seperti tawaran Juna tadi, mereka pun membeli mi instan yang dapat diseduh langsung di tempat itu dan duduk bersama di sebuah meja bundar dengan payung besar warna warni di bagian tengahnya.

Kepulan uap panas menyembul keluar dari balik permukaan mangkuk plastik yang mereka gunakan malam itu. Juna dengan mi instan rasa ayam bawangnya dan Stella yang lebih memilih rasa bakso sebagai menu makan malamnya bersama Juna.

"By the way, kok lo bisa ada di dekat rumah gue, sih?" tanya Stella setelah satu suap mi sudah berhasil masuk ke dalam mulutnya. "Gue hampir aja tadi mati berdiri karena lo muncul kaya hantu, Jun."

Juna terkekeh pendek dan mengunyah habis makanan di dalam mulutnya sebelum memandangi Stella dengan misterius. "Lo serius mau tahu? Gue nggak mau cerita apa-apa kalau kondisi lo juga lagi nggak baik," sahutnya yang justru membuat Stella muram. "Di rumah lagi ada nyokap sama bokap lo, 'kan?"

Stella menggigit bibir bawahnya dan menganggukan kepalanya dengan perlahan. "Mereka bilang bakal lebih sering pergi keluar negeri dan bakal jarang ketemu gue." Ia kemudian mengangkat kedua bahunya acuh. "Awalnya gue agak syok, marah, kesal aja gitu. Kenapa mereka lebih peduli sama urusan orang lain dibanding anaknya sendiri. But, yeah, setelah gue makan mi instan ini, gue udah baik-baik aja, kok."

Juna menunduk tak enak dan mengaduk-ngaduk sendok di dalam mangkuknya. "Sori gue cuma bisa beliin lo mi instan," katanya tiba-tiba. "Kalau lo ketemunya sama Samuel, pasti dia bisa ajak lo makan di restoran mahal."

Stella mendongak, mengalihkan pandangannya dari sisa makanan dalam mangkuknya dan menatap Juna yang masih menundukkan kepalanya. Merasa harus membuat suasana di antara mereka mencair, Stella pun menggebrak meja hingga Juna terkesiap dan balas menatapnya.

"Lo gila ya?!"

Stella tertawa dan menunjuk wajah Juna dengan sendok di tangannya. "Lihat ekspresi lo. Sejak kapan Juna yang gue kenal bisa nyesel cuma karena persoalan beliin gue mi instan, hm?" Dahi Juna berkerut dalam. "Ini, mi instan terenak yang pernah gue makan sepanjang perjalanan 16 tahun hidup gue asal lo tahu."

Cowok yang sudah dicap sebagai berandalannya sekolah itu pun mencebik dan memandang Stella jijik. "Otak lo jadi miring gara-gara depresi kayaknya," tandasnya sembarangan.

Namun Stella tidak marah, ia justru tersenyum lebar dan tampak bahagia. "Eh, sekarang gantian dong. Ceritain kenapa lo bisa ada di dekat rumah gue malam-malam begini?" Ia mencondongkan wajahnya ke depan dan menatap Juna penasaran. "Lo kabur dari rumah juga?"

Juna menoyor kepala Stella dengan cepat. "Sembarangan." hingga cewek itu kembali ke posisinya sambil mengaduh kesakitan. "Gue kesini karena Karen, maksud gue nomor Karen--"

"Nomor Karen?" sela Stella penasaran. "Nomor Karen yang waktu itu juga ngechat lo secara personal itu, 'kan?"

Cowok itu menganggukan kepalanya dengan cepat lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menunjukkan isi pesannya pada Stella. "Gue tahu ini nggak masuk akal, tapi sebaiknya lo baca sendiri pesannya," saran Juna.

Stella yang sebelumnya memerhatikan Juna kini beralih pada layar ponsel di hadapannya. Matanya membulat seketika kala mulutnya membaca satu persatu kalimat di dalam sebuah pesan singkat dengan nama pengirim bertuliskan Karenina Wijaya. "Soal gue, tanya ke Stella." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro