Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• DUA BELAS •


Tiga Belas Hari Setelah Kematian Karen.

SMA Nusantara, Jakarta.

"Ini sketsa wajah gue?"

Barata Dimas, atau Dimas, atau komikusnya SMA Nusantara yang juga salah satu dari ke lima sahabat Stella kini duduk bersama cewek itu di bangku taman sekolahan yang menghadap langsung ke lapangan. Wajahnya memandang Stella dengan cerah dan penuh semangat ketika ia menunjukkan hasil sketsa kasar miliknya kepada sahabatnya itu.

Dimas mengatakan bahwa sketsa yang kini sedang diamati serius oleh Stella itu nantinya akan dilombakan saat pentas akhir seni. Jadi cowok bermata sipit itu meminta bantuan Stella untuk menilai contoh sketsa kasarnya tersebut.

"Menurut lo, gimana?" Dimas melihat Stella ingin tahu. "Bagus nggak kalau diikutsertakan buat lomba di pensi nanti? Ini sebenarnya baru sketsa kasar, ada beberapa pilihan juga, sih. Tapi gue mau tahu aja pendapat lo tentang gambar yang satu ini."

Netra hitam milik cewek itu menelusuri seluruh bagian di dalam sketsa yang digambar Dimas dengan lamat-lamat. Ia berusaha memerhatikan detil meski sebenarnya, dia tak paham betul soal dunia gambar atau ilustrasi. Stella hanya mencoba menilai hasil karya Dimas dari sudut pandang seorang teman biasa yang amatir dalam sebuah estetika seni. "Bagus, sih. Tapi kenapa ceweknya menghadap samping?" Stella menoleh pada Dimas yang duduk di sampingnya dengan air muka yang penasaran. "Kalau lo mau nunjukin sketsa wajah gue, ini terlalu samar. Karena yang punya hidung mancung dan bola mata besar ini bukan cuma gue, Dim.

Kalau lo memang mau menunjukkan kalau gambar ini adalah seseorang alias gue, i think you should make it clear." Stella mengedikkan bahunya cepat dan menyodorkan kembali buku sketsa milik Dimas kepada sang pemiliknya. "Kecuali, itu memang gambar cewek lain dan lo mau menonjolkan sisi 'sahabat cewek' dalam gambar itu."

Dimas manggut-manggut di tempatnya dan memandangi hasil karyanya sendiri dengan saksama. "Gitu, ya."

Stella kemudian menambahkan, "Over all, nggak ada gambar lo yang pernah mengecewakan kita-kita, Dim."

Namun kata 'kita' yang terkesan ambigu, berhasil membuat Dimas menarik perhatiannya. Ia mengalihkan pandangannya dari buku sketsa dan menatap Stella bingung. "Kita?"

"Ya, kita." Cewek keturunan bule itu mengangguk mantap. "Gue, Juna, Samuel, Clara, bahkan ...," Butuh beberapa jeda sampai akhirnya Stella berdeham pelan dan menyebut, "juga Karen." dengan nada yang sedih.

Stella kemudian tertawa hambar ketika membayangkan Karen lah yang diminta Dimas untuk menilai hasil karyanya barusan. Cewek itu adalah yang paling detil di antara mereka berenam dalam hal memberi komentar. Ucapannya selalu terang-terangan dan jelas, dan mungkin akan sedikit menyinggung karena kata-katanya yang terkesan 'kasar' dan apa adanya. "Kalau Karen ada di sini, dia pasti protes karena lo nggak gambar wajahnya dia, Dim."

Dimas ikut tertawa pahit. "Ya, mungkin." Sementara Stella menatapnya heran. "Dia pasti juga udah maki-maki gue karena sketsa ini masih kasar banget padahal waktunya tinggal sebentar lagi," sambungnya dengan nada sedih.

Keheningan terjadi untuk beberapa saat di antara mereka. Stella dan Dimas sama-sama tenggelam dalam kenangan yang mereka miliki bersama Karen semasa cewek itu hidup sebagai bagian dari mereka. Semilir angin dan suasana ramai di lapangan sekolah, membangkitkan sensasi kerinduan dalam rongga dada mereka yang selama beberapa hari ke belakang mendadak kosong. Karen mungkin telah meninggalkan dunia, tapi posisinya akan sulit tergantikan di hati sahabat-sahabatnya.

Dimas meletakkan buku sketsanya di sisi, kemudian mengambil teh kotak miliknya yang ia simpan di antara jarak mereka duduk dan menyedotnya dengan santai. "Omong-omong, lo udah ketemu sama Om Antoni? Gue dengar mereka ada rencana untuk adopsi anak," ungkapnya yang sontak membuat wajah Stella menegang.

Cewek itu melebarkan mata tak percaya ketika mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Dimas. "Adopsi anak?" Mulutnya tergagap, dadanya terasa sesak ketika ia akhirnya melanjutkan, "Bu--buat apa mereka adopsi anak?"

Dimas memerhatikan dalam-dalam iris hitam milik sahabatnya itu. Stella tampak kaget dan tidak terima dengan kenyataan yang selanjutnya dikatakan olehnya. "Mereka adopsi anak untuk bisa melupakan kesedihan mereka atas ... kematian Karen."

Ketika mengucapkan kalimat terakhir, Dimas agaknya takut dan tidak enak pada Stella. Karena sampai kata-kata terakhirnya, Stella bahkan tidak bisa berhenti menatapnya dengan syok dan bingung. Ia kemudian berinisiatif mencairkan suasana tegang di antara mereka dengan menyodorkan teh kotak yang dibelinya untuk Stella sebelum mereka bertemu di taman. "Tadi gue beli dua. Ini, minum dulu," kata Dimas menawarkan.

Namun Stella justru mendengkus geli dan memalingkan wajahnya ke arah lapangan. Beberapa siswa tengah bermain basket di sana, dan, jika tidak salah lihat, Juna dan Samuel juga ada di tengah lapangan. Beberapa siswa yang menonton dari sekitar tampak heboh dan histeris ketika Samuel melepaskan pakaian olahraganya karena berkeringat. Namun pemandangan yang dianggap 'panas' oleh siswi lain itu, tidak berhasil membuat Stella menerima kenyataan apa yang didengarnya barusan.

"Stell, gue kayaknya harus pergi," ucap Dimas berhati-hati, mengingat ekspresi kesal dan marah masih tercetak jelas pada wajah cantik milik Stella. "Soal Karen ... tolong jangan terlalu dipikirin ya."

Stella enggan membalas kata-kata Dimas barusan dan membiarkan sahabatnya itu pergi meninggalkannya sendiri di bangku taman. Ia hanya tidak habis pikir dengan kedua orang tua Karen yang--dengan mudahnya--menggantikan posisi putri sematawayangnya dengan membuat keputusan adopsi hanya untuk alasan yang tidak masuk akal.

"Memang apa salahnya kalau bersedih karena kematian anak sendiri?" ujar Stella kesal. Ia mendesah panjang dan menangkap sosok Samuel dan Juna sedang melihat ke arahnya dengan wajah ceria. Membuat Stella semakin kesal saja. "Apa kau lihat mereka, Karen?" Kedua sahabatnya itu sudah kembali asyik dengan permainan bola basket dan tidak lagi melihat ke arahnya yang kini benar-benar sendirian. "Semua orang tampaknya berubah dalam semalam.

Tapi adopsi anak? Astaga. Aku benar-benar marah sama papamu itu, Karen. Kenapa Om Antoni dan Tante Diana bisa ngelakuin ini sama kamu?"

Cewek itu kemudian bangkit dari bangku berbahan kayu yang sejak bel istirahat berbunyi dia dan Dimas sudah duduk di sana. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan lagi-lagi hanya bisa mendesah frustrasi. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang.

Samuel memiliki kecurigaan bahwa Karen mungkin tidak meninggal karena bunuh diri melainkan dibunuh oleh seseorang. Bukankah jika itu benar, artinya Karen harus mendapatkan suatu keadilan atau semacamnya? Tapi mendengar kata 'adopsi anak', nyali Stella mendadak menciut.

Om Antoni yang notabene nya adalah seorang polisi bahkan tidak berusaha mengusut kasus ini sampai tuntas. Ia membiarkan Karen mati begitu saja.

Apa ini terdengar masuk akal? pikir Stella dalam kesendiriannya. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro