Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IV - SIDEMEN

“Kebiasaan weekend kamu seperti apa, Egar?” Pertanyan itu terlontar saat mobil yang dibawa Kai berhenti begitu lampu lalu lintas berubah merah. 

“Kalau nggak harus ada di venue, biasanya bersih-bersih kamar atau tidur siang. Akhir pekanku nggak jauh dari kata membosankan, Kai.” Aku menatap Kai yang mengenakan kaus putih polos dengan celana pendek chino berwarna khaki sementara kacamata hitam melindunginya dari pancaran matahari Bali yang bersinar cukup terik hari ini. “Kamu sendiri?”

Dia menyunggingkan senyum tipis ketika menoleh. “Weekend-ku nggak sealim kamu.” Kai kemudian tertawa kecil. “Kalau ada yang ngajak, biasanya clubbing. Kalau nggak, paling nongkrong di beach club atau ke gym.” Dia terdiam sebentar. “Tapi aku nggak sampai mabuk kalau clubbing. Aku nggak mau kamu punya pandangan aku suka minum,” tambahnya cepat seolah jika tidak melakukannya, ada yang kurang dari kalimatnya. 

Tenggorokanku tiba-tiba saja kering. 

Sejujurnya, aku tidak peduli jika Kai sampai mabuk ketika clubbing. Bukankah itu salah satu alasan orang pergi ke klub? Fakta bahwa dia tidak ingin aku punya penilaian seperti itu cukup menghangatkan hatiku.

“Biasanya berapa lama kamu harus di venue?”

“Sampai acara intinya selesai.”

Jawabanku ternyata mengejutkan Kai. “Serius? Apa nggak bosen?”

Aku mengangguk pelan. “Bosen sih awalnya, tapi itu bagian dari kerjaan. Kalau bosen, aku nggak dapat gaji,” candaku. 

“Tapi kamu nggak kenal dengan mempelai, kan? Apa nggak … canggung?”

“Mungkin karena sebelum hari H aku sudah ada di lokasi untuk mewawancarai mempelai dan orang-orang terdekat mereka. Juga untuk mendapatkan gambaran yang seutuhnya tentang pernikahan tersebut, mulai dari dekorasi, dan sebagainya. Semakin eksklusif pernikahannya, semakin lama aku harus meliputnya.”

“Aku tetap nggak bisa membayangkannya, Egar.”

Tawa kecilku mengisi mobil yang kami tumpangi. “Nggak perlu dibayangi, Kai.”

“Yang akan aku katakan mungkin terdengar gila.” Senyum Kai tersungging ketika memandangku. “Misalkan bisa, aku mau ikut kamu saat kamu meliput. Aku ingin tahu seperti apa atmosfernya.” 

“Kamu yakin?” Aku menatapnya ragu. “Kamu tadi jelas bilang pasti membosankan.”

“Mungkin karena aku belum pernah.” Dia menoleh sesaat sebelum kembali fokus pada jalan di hadapan kami. “Pendapatku mungkin berubah kalau ada di sana.”

“Selama ini orang-orang di kantor justru nggak mau kalau disuruh menemani aku, kecuali fotografer. Seperti kamu bilang, acaranya membosankan.”

“Kalau aku lagi nggak sibuk dan memang boleh jadi plus one, please let me know.”

“I’ll keep that in mind.”

Sejak menyetujui ajakan Kai ketika kami makan di The Brick, pria itu tidak pernah absen mengisi kotak pesanku setiapa hari. Sekalipun tidak ada kata-kata Kai yang menunjukkan antusiasnya, aku bisa menangkapnya dengan jelas, terlebih pesan-pesannya selalu berisi tempat-tempat yang menurutnya pantas dikunjungi. Hanya saja, aku menganggap destinasi yang dikirimkan Kai pasti akan ramai saat akhir pekan tiba. Aku lantas teringat satu tempat di daerah Karangasem yang pernah ditunjukkan Bruce.

Seperti dugaanku, Kai belum pernah mendengar Sidemen begitu aku mengusulkan kami pergi ke sana. Kami akan waterfall hopping—mengunjungi beberapa air terjun—dalam perjalanan menuju Sidemen sebelum bermalam. Ide menginap sebenarnya datang dari Kai. Salah satu saudara dari rekan kerjanya di hotel, baru saja membuka penginapan kecil, dan mendengar itu, Kai berinisiatif untuk langsung memesan satu malam. 

Sebenarnya aku tidak keberatan jika kami hanya melakukan one day trip. Namun menghabiskan satu malam bersama Kai adalah godaan yang sulit ditepis. Meski akan berbagi tempat tidur, kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh terbuka lebar dan aku bodoh jika melewatkannya. Berada di bawah satu atap juga akan mengungkap kebiasaan kami yang sebelumnya tersembunyi rapat. 

“Kamu pernah bosan nggak tinggal di sini?”

“Nggak pernah terpikir buat pindah ke tempat lain,” jawabku.

“Kamu memangnya sudah bosan tinggal di sini?”

Kai menggeleng. “Coba tanya lima tahun lagi, jawabanku mungkin berbeda.”

“Tapi pasti ada alasan kenapa pertanyaan itu tiba-tiba muncul.”

“Salah satu kenalanku yang sudah lima tahun tinggal di Bali merasa setelah dua tahun, Bali bisa jadi membosankan dan predictable, entah apa maksudnya. Kamu di sini sudah lama, jadi aku ingin tahu pendapat kamu seperti apa.”

“Bali pulau kecil, Kai, dan memang bukan buat semua orang. Bagi mereka yang biasa tinggal di kota besar, Bali jelas nggak cocok. Atau buat mereka yang familier dengan cara kerja di perusahaan besar. Bali bukan tempat yang pas. Bagiku Bali masih belum membuatku bosan.”

“Aku setuju kalau Bali bukan buat semua orang.”

“Kira-kira kamu bakal betah nggak di sini?”

“Relatif, Egar. Aku harus lihat dulu akan seperti apa Bali dalam beberapa tahun ke depan. Yang pasti, aku nggak akan pindah lagi ke Jakarta.”

Alisku terangkat heran. “Kenapa?”

“Salah satu alasan aku memilih Bali karena jaraknya yang nggak terlalu dekat dari Jakarta, tapi juga nggak terlalu jauh dari rumah. Itu berarti, aku bisa nggak angkat telepon tiap kali Mama atau Papa telepon. Aku tahu mereka nggak terlalu suka naik pesawat. Mungkin karena usia.” Kai mengedikkan bahu.

“Memangnya ada yang salah kalau mereka telepon?”

Kai mengeluarkan tawa, tapi aku yakin bukan karena pertanyaanku lucu. “Kamu nggak kenal mereka, Egar. Sebagai anak tunggal, semua harapan dan impian mereka, dibebankan kepadaku. Aku nggak kuat kalau harus menanggung semuanya sendiri. Terutama soal berumah tangga.” Dia menatapku dan tersenyum. “Klise, kan?”

Aku memberikan senyum penuh simpati. 

“Sejak kecil, mereka bersikap sangat protektif. Aku diperlakukan seperti barang antik yang harus dijaga baik-baik supaya nggak pecah. Nggak peduli aku ini cowok.” Kai menggeleng, seolah heran dengan kalimat yang baru diutarakannya. “Alasan utama aku kuliah di Amerika supaya aku bisa sedikit bernapas. Semakin jauh, semakin aku nggak perlu dengar semua kekhawatiran mereka. Meski begitu, aku nggak tega lihat mereka memohon supaya aku kembali ke Jakarta setelah kuliah. Aku kira, mereka akan berubah, tapi nyatanya nggak. Kadang aku berharap punya adik atau kakak, jadi seenggaknya perhatian mereka terbagi.”

“Punya saudara juga bukan jaminan semuanya akan baik-baik saja, Kai.”

“Aku kira pernikahan Mama dengan Papa yang bule tulen akan mengubah pikiran Mama. Tapi sejak mereka cerai dan Mama nikah lagi, rasanya waktu yang pernah dihabiskan Mama dan Papa hilang begitu saja. Aku nggak tahu apakah ini pengaruh Papa tiriku atau memang alasan yang selama ini diberikan Mama valid. Setidaknya pas kuliah di Amerika, aku relatif dekat secara geografis dengan Papa dan Mama nggak nanya kapan aku kembali ke Indonesia buat settle down. Pindah ke Bali pun aku bilang setelah dapat pekerjaan di sini dan mereka nggak lagi bisa  keberatan. Rasanya lega, Egar.”

Aku jelas tidak menyangka Kai akan bercerita sebanyak itu. Namun tidak ada protes dariku. “Karena kamu di sini, apakah mereka masih ingin kamu kembali ke Jakarta?”

Kai mengangguk. “Tapi aku akan bergeming. Aku tidak akan begitu saja menuruti kemauan mereka.”

“Begitulah orang tua, Kai. Mereka selalu merasa tahu yang terbaik untuk anak-anaknya.”

“Kamu sendiri bagaimana, Egar? Nggak diributin soal nikah?”
Tawaku menjadi jawaban atas keingintahuan Kai. Juga karena aku masih belum yakin ingin membagi cerita tentang keluargaku kepadanya. “Kakak laki-lakiku sudah berkeluarga sementara orang tuaku sudah meninggal. Jadi aku terbebas dari tuntuan untuk menikah.”

“I’m sorry about your parents, but you’re so lucky because you don’t have the same problem as I do.”

“Mungkin,” balasku singkat.
 


***
 

Meskipun sudah diberitahu Kai bahwa ada dua kamar, bukan berarti kecanggungan di antara kami nihil. Mungkin hanya aku yang menganggapnya sebagai perasaan canggung, Kai bisa saja tidak merasakannya.

Begitu sampai di penginapan, aku berniat untuk duduk di balkon yang ada di lantai dua mumpung matahari belum sepenuhnya tenggelam. Aku ingin memanjakan mataku dengan Gunung Agung yang tampak menjulang. Namun belum sempat duduk, Kai keluar dari kolam renang. Aku bergegas masuk kembali ke kamar karena jika tidak, Kai akan melihatku salah tingkah.

Entah dengan sengaja atau tidak, Kai memutuskan untuk tidak memakai atasan ketika kami berpindah dari satu air terjun ke air terjun lainnya. Alasannya sangat masuk akal dan bisa aku pahami, tetapi konsekuensi atas pilihannya tersebut adalah aku menjaga pandanganku agar tidak turun dari wajahnya. 

Bahkan ketika berniat menyeduh teh, Kai sudah ada di dapur lebih dulu hanya mengenakan celana pendek dengan handuk yang dikalungkan di leher. Aku tidak bisa terus menghindarinya, terlebih ketika makan malam tiba. Beruntung ketika makan, Kai mengenakan kaus oblong berwarna abu-abu. Setidaknya konsentrasiku tidak terpecah.

“Meski belum ada sehari, rasanya aku akan sering ke sini,” ujar Kai ketika kami berdua rebahan di sun loungers selepas makan malam.

“Itu yang ada di pikiranku waktu ke sini pertama kali sama Bruce,” balasku sembari tersenyum. “Aku nggak ingat kapan terakhir ke sini. Mungkin ada dua tahun lebih.”

Kai memiringkan tubuhnya untuk menatapku. “Egar, boleh aku tanya sesuatu?”

“Sure!”

“Aku tahu ini sangat personal, dan kamu nggak perlu jawab kalau merasa kurang ajar.” Kai diam sejenak sebelum melanjutkan.

“Apakah kamu dan Bruce pernah ada … sejarah?”

Sesungguhnya, aku tidak terkejut mendapatkan pertanyaan itu. Kai pasti menangkap sesuatu yang tidak aku sadari telah lakukan. Aku diam sejenak. Kai tidak akan terus mendorongku untuk bercerita jika aku mengatakan itu bukan urusannya. Namun aku memutuskan untuk mengungkapkan yang sebenarnya.

“Sejak kapan kamu tahu, Kai?” 

“Soal Bruce atau seksualitas kamu?”

Aku membasahi tenggorokan sebelum berkata, “Keduanya.”

“Lihat interaksi kamu dan Bruce di The Bricks, aku tahu ada sesuatu di antara kalian. Jelas sekali bahwa dia peduli dengan kamu dan kamu pun begitu. Siapa pun bisa menebaknya dengan mudah jika melihat cara kalian berinteraksi.”

“Kami nggak pernah punya sejarah,” balasku. “Aku pernah punya perasaan sama Bruce, tapi hanya sepihak. Setelah itu, kami memutuskan untuk berteman.” Aku memandang langit yang ramai oleh bintang. Aku jelas tidak bisa menikmati pemandangan serupa di Seminyak. “Bruce sudah punya pasangan, dan kami terbukti lebih cocok untuk jadi teman.”

“Aku nggak mungkin bisa seperti itu.”

“Aku yakin banyak yang nggak bisa, Kai. Cuma … aku nggak mau kehilangan dia dalam hidupku. Bruce terlanjut punya arti penting untukku.” Aku memandang Kai yang juga sibuk memanjakan matanya dengan langit Bangli malam ini. Aku memutuskan untuk bertanya satu hal yang mengusikku. “Kamu nggak keberatan?”

“Dengan apa?”

“Seksualitasku.”

“Egar, menurut kamu, bagaimana aku bisa punya feeling tentang kalian kalau aku sendiri nggak berada di jalan yang sama?” Kami beradu pandang. “Are you surprised?”

“Sedikit.”

“Aku nggak pernah merasa seksualitasku penting diketahui banyak orang. Selama mereka nggak bertanya, yang mereka punya cuma asumsi. Apalagi di sini, aku nggak mungkin bilang ke semua orang. It’s just not possible.

“Does that mean, are you still in the closet?”

“Aren’t you, Egar?”

Tanggapan Kai tersebut begitu cepat hingga membuatku kelu. Sudah seharusnya aku tahu bahwa bersembunyi adalah pilihan paling aman dan masuk akal selama masih tinggal di Indonesia.

“Aku minta maaf kalau balasanku terdengar kasar. Aku nggak bermaksud seperti itu.”

“Kita nggak akan pernah punya pilihan selain sembunyi, kan?” 
Kai menanggapinya dengan diam. 

Mungkin ini saat yang tepat untuk memberitahu Kai alasanku pindah ke Bali. Terlebih satu hal besar yang menghalangiku untuk mengungkapkannya telah terkuak. Adil rasanya menceritakannya sekarang.

“Alasan utama aku pindah ke Bali adalah karena seksualitasku.” Kai memiringkan tubuhnya dan memusatkan tatapannya ke arahku. “Aku pikir, coming out ke satu–satunya suadara yang masih aku punya adalah keputusan yang tepat, tapi ternyata aku salah.” Aku menelan ludah ketika kejadian empat tahun lalu kembali membayangi. “Dia nggak mau lagi mengakui aku sebagai adik.” Aku menarik napas panjang. “So I left and never looked back.”

“I’m sorry to hear that. You didn’t deserve that.”

“Bruce jadi bagian nggak terpisahkan buatku untuk menata hidup. Mungkin alasan itulah yang bikin aku suka sama dia. Tapi dia kemudian bilang bahwa itu adalah alasan yang salah untuk mencintai seseorang. Dan dia benar,” Senyumku mengembang. “Sejak itu, aku nggak pernah mau jatuh cinta untuk alasan yang salah lagi sejak itu.”

“And have you ever fallen in love again since then?”

Egar menggeleng. “Aku belum ketemu orang yang bisa aku cintai dengan alasan yang benar.”

“Anggap saja cowok itu masih terjebak macet.”

Kami tertawa.

“Kamu sendiri gimana, Kai?”

“Seenggaknya kamu beruntung pernah merasakan sesuatu—meski untuk alasan yang salah—dengan Bruce.” Kai memberikan gelengan pelan. “Aku nggak pernah tahu bagaimana mencintai atau dicintai orang dengan tulus, Egar.” Kai kembali merebakan tubuhnya meskipun tatapannya tidak beralih. “Tiap kali suka seseorang, aku selalu yakin telah menemukan cinta, tapi ternyata aku salah. It keeps on happening to a point that I don’t want to look for love anymore. Apalagi tiap mereka tahu aku belum coming out, sebagian besar akan langsung lari tunggang langgang.” Kai tertawa getir. “Mungkin memang aku belum ditakdirkan untuk bertemu orang yang bisa menerima aku apa adanya.”

“Kalau cowok kayak kamu susah cari pasangan, Kai, apa kabar denganku yang seperti ini?”

Kai berdecak. “Egar, you look fine. Trust me.”

Keputusan untuk menerima ajakan menginap ternyata menjawab satu pertanyaan besar yang aku miliki tentang Kai. Namun fakta itu justru menimbulkan ragu. Sampai kapan aku bisa menahan diri untuk tidak membayangkan kami bersama? Ketertarikanku kepada pria di sampingku ini menjadi berlipat. 

I think I’m in a big trouble now.

***

Dear all, 

Apa kabar semuanya? Semoga baik-baik aja, ya. Just want to give a bit of update.

Setelah menimbang, rasanya rewriting Best Man nggak akan jadi prioritas saya sekarang. Bukan berarti akan berhenti, tapi update-nya mungkin akan jauh lebih selow di Karyakarsa (Oh ya, buat yang mau baca sampe bab 17, udah tayang di Karyakarsa, ya?), apalagi di Wattpad, akan makin selow. Bukan berarti A Song for The Moon jadi prioritas juga.

Alasannya apa? Saya ngerasa fokus ke rewriting cerita ini malah bikin creative flow saya mampet. Target buat cepat-cepat menyelesaikannya justru jadi seperti beban. And I don't want to write something if it doesn't make me feel content. Jadi buat yang nunggu di Karyakarsa, harap bersabar, ya? It will get to to finish line, just not the way I hope it would be.

Saya pengen eksplore sesuatu yang baru, dan berharap bisa menemukan kembali creative flow yang beberapa bulan ini mampet. Wish me luck!

Anyway, itu aja sih. Semoga bisa dipahami. Have a great weekend everyone!

Love,
Abi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro