III - AN (UN)OFFICIAL DATE
“Thank you for taking me here.” Kai menatapku dengan sebuah senyum sebelum mengedarkan pandangan ke setiap sudut The Brick yang tampak tidak seramai biasanya. “Aku sering melewati tempat ini, tapi nggak pernah mampir.”
“Kenapa?”
“Mungkin menunggu ada yang mengajak ke sini.”
Aku menanggapinya dengan senyum tipis, mencoba tidak menganalisis jawaban Kai dengan arti yang lain.
“Biasanya rame banget di sini. Mungkin karena ini weeknight.”
“Sering makan di sini?”
“Sering rasanya berlebihan.” Aku menyandarkan punggung agar lebih leluasa memandang wajah Kai. “Hanya saja, aku kenal dengan yang punya tempat ini” tambahku.
Meskipun tidak ada kepastian Kai akan terkesan dengan kalimat tersebut, aku tetap menuruti saran Bruce.
“Apakah karena itu kita nggak dikasih menu?”
“Kai, kamu bisa minta menu ke salah satu staf. Cuma aku nggak yakin mereka akan mencatat pesanan kamu.”
Ucapanku itu mendapatkan kerutan di kening Kai. “Kenapa begitu?”
“Karena aku sudah bilang ke Bruce kita mau ke sini, jadi dia sudah menyiapkan menu khusus untuk kita. Dia memang seperti itu dengan orang-orang yang dikenalnya dengan baik. And that includes me.”
Kai lantas mencondongkan tubuhnya dan menatapku lekat. Dengan jarak seperti ini, aku dengan jelas bisa memperhatikan rambut-rambut tipis yang mulai menghiasi di dagunya. Menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan membelai pipinya benar-benar cobaan yang sangat berat.
“Jadi karena alasan itu kamu mengajak aku ke sini?”
“Absolutely.”
Demi Tuhan, beradu pandang dengan Kai seperti ini menyusupkan harapan bahwa dia juga berada di jalur yang sama denganku. Aku mengerjap untuk mengingatkan diri sendiri agar tidak menyuburkan asa yang berpotensi besar memberiku kekecewaan. Berdeham pelan, aku mengalihkan perhatian ke arah bar supaya tidak semakin terperosok pada pesonanya. Jika ini sebuah perlombaan, aku pasti kalah hanya dalam hitungan detik.
Unofficial date ini ternyata tidak terbebas dari rintangan. Dua kali Kai membatalkan rencana ini karena kesibukannya hingga aku sempat berpikir, mengajaknya makan malam adalah keputusan yang salah. Ketika dia kemudian menagih janji setelah beban pekerjaannya berkurang, aku sempat dilanda panik karena tidak menduganya. Beruntung aku tidak membiarkan perasaan itu menguasaiku terlalu lama.
“Sudah lama kenal dengan Bruce?”
“Kurang lebih tiga tahun, nggak lama setelah aku pindah ke sini.”
“Aku jadi nggak sabar untuk bertemu dia.”
Tawa kecilku mengisi ruang sela di antara kami. “Kalau mau tahu semua rahasiaku, kamu bisa tanya ke Bruce. Cuma aku yakin dia nggak akan buka mulut.”
“Pantas dicoba, kan?” godanya. “Kalian kenal di mana?”
Mengatakan yang sejujurnya sungguh bukan pilihan bijak. Setidaknya untuk sekarang. Lagi-lagi karena seksualitas Kai masih menjadi misteri. Mungkin perkenalanku yang sebenarnya dengan Bruce akan terungkap jika nanti ceritaku dan Kai berlanjut.
“Di salah satu pesta ulang tahun temenku. Saat itu, aku belum punya banyak kenalan.”
“Egar, aku belum sempat tanya alasan kamu pindah ke Bali.” Kai tersenyum selepas mengucapkan kalimat tersebut. “Rasanya nggak fair karena kamu belum cerita.”
Keingintahuan Kai memang beralasan, dan aku tidak akan menyalahkannya. Dia sempat menuturkan alasannya meninggalkan Jakarta dalam perjalanan ke The Brick, dan adil jika dia ingin mengetahui hal yang sama. Sayangnya, aku merasa itu bukanlah topik yang ingin aku bahas sekarang.
“Aku nggak mau merusak makan malam kita,” terangku dibarengi sebuah senyum. “Aku akan cerita, tapi nggak sekarang. Aku harap kamu mengerti.”
Tidak ada kebohongan dalam balasanku. Mengungkapkan tentang kepindahan ke Bali berarti menyinggung mengenai seksualitasku karena keduanya berkaitan. Aku masih belum yakin menyingkapnya kepada pria yang duduk di hadapanku.
Ekspresi Kai berubah. Jika sebelumnya dia terlihat bersemangat menanti kisahku, sekarang dia justru tampak menyesal telah menanyakannya. Aku tidak mungkin keliru menafsirkan raut wajahnya.
“Aku minta maaf, Egar. Aku nggak tahu.” Dia tersenyum lemah. “Kamu nggak perlu cerita kalau rasa penasaranku justru membua kamu ingat dengan kenangan yang nggak menyenangkan.”
Tidak ada yang bisa aku katakan selain terima kasih.
Percakapan kami tertunda karena Nana—salah satu staf The Brick yang cukup aku kenal—menghampiri meja kami. Perempuan muda tersebut menawarkan untuk menyajikan makanan pembuka. Kami mengiyakannya karena tidak dapat dipungkiri, aku perlu pelampiasan lain agar tidak terus mengarahkan mataku ke Kai.
“Egar, aku nggak yakin bisa menyamai standar yang kamu berikan sekarang.”
“Standar untuk apa?” tanyaku bingung.
“Aku nggak menyangka kamu kenal dengan pemilik tempat ini, yang memberikan menu spesial untuk kita. Ini bukan sesuatu yang bisa dibalas dengan gampang, Egar.”
Menyadari Kai berniat untuk membalas makan malam ini sedikit melambungkan harapan. Itu berarti ada kesempatan lain untukku menghabiskan waktu dengannya. Dengan kilat, aku mengubur bayangan itu karena tidak ingin melambungkan harapan.
“Kai, ini bukan kompetisi. Kamu nggak perlu menyamai apa yang aku lakukan malam ini. Kalau aku nggak kenal Bruce, kita pasti makan di tempat lain tanpa perlakuan istimewa seperti di sini.”
Ini memang baru pertemuan ketiga kami, tetapi aku mulai bisa menebak bahasa tubuh Kai. Saat ini pandangannya tidak teralih ke tempat lain, tapi dia diam. Aku menduga dia sedang memikirkan sesuatu untuk diucapkan.
“Let’s go on a trip next weekend,” usulnya. “Aku yang bawa mobil, kamu cukup jadi penunjuk arah.”
Menganggap tawaran itu tidak menggiurkan sama halnya dengan mengatakan diriku tertarik kepada perempuan. Imajinasi yang sebelumnya aku tepis sekuat mungkin, sekarang lolos dan berkeliaran dengan bebas. Mengiyakan ajakn Kai berarti durasi kebersamaan kami akan jauh lebih lama dibanding makan malam ini.
“Aku harus cek jadwal apakah ada pernikahan minggu depan yang harus aku liput atau nggak. Kalau nggak ada, kita bisa pergi.”
Antusiasme yang mulanya ingin aku paparkan, tersamarkan oleh alasan yang terlontar. Tidak ada pernikahan yang membutuhkanku minggu depan. Semoga alasanku terdengar meyakinkan.
“Okay. Deal?” tanyanya sembari mengulurkan tangan.
Tawaku pecah. Meskipun begitu, aku tetap menjabat tangannya. “Deal!”
***
“Thank you for having me here, Bruce. You should make Egar as your brand ambassador. He really said the nicest things about this place. And the food we’ve just had … exceptional!”
Menanggapi itu, aku memandang Bruce seraya mengedikkan bahu. “Bukan aku yang minta dia bilang seperti itu.”
Bruce tergelak. “Aku senang kamu menikmati makanannya.”
Memperhatikan Bruce dan Kai, ada sedikit rasa lega yang menghinggapi. Menyaksikan mereka berbincang seolah telah lama saling mengenal, menyelipkan satu harapan sederhana yang seharusnya tidak mengemuka. Aku menginginkan Kai dalam hidupku, seperti halnya Bruce. Kisahku dan Kai memang belum tentu tertulis, tapi keinginan itu begitu besar.
“Egar cerita, kamu salah satu orang yang sangat dia percaya. Boleh kasih tahu apa yang harus aku lakukan supaya bisa tahu satu rahasia Egar?”
“Nice try, Kai,” balas Bruce diiringi sebuah tawa kecil. “Semua rahasia Egar akan aman sampai waktuku di dunia habis. Kalau kamu bisa mengambil hatinya, mungkin kamu tidak perlu bertanya kepadaku. Egar akan dengan senang hati memberitahunya. Bukan begitu Egar?” tanyanya sebelum memandangku.
“Kita lihat saja nanti.”
Tatapan yang diberikan Kai setelah aku membalas ucapan Bruce adalah sesuatu yang baru. Mungkin ini hanyalah bagian dari fantasi yang aku ciptakan sejak bertemu dengan Kai. Tidak ada alasan lain. Tentu saja tidak ada arti lebih dari tatapannya.
“Gentlemen, I’d love to spend another minute here talking to both of you, but unfortunately, I have a few things to finish.”
Aku langsung bangkit dari kursi untuk memberikan Bruce pelukan. Kebiasaan ini tidak pernah kami rencanakan, tetapi terjadi begitu saja.
“Dia pria yang menarik, Egar, bukan cuma secara fisik. I think he’s on our team,” bisik Bruce sepelan mungkin.
Ucapan itu aku tanggapi dengan mengusap punggungnya pelan. “Thank you for the meal, Bruce. I’ll see you soon.”
Setelah melepas pelukan, aku kembali duduk. Perasaan bahagia menghantamku bertubi-tubi dan aku tidak berniat untuk menangkisnya. Opini Bruce tentang Kai adalah yang terpenting karena tidak ada orang lain yang cukup aku percaya untuk memberikan penilaian tentang Kai.
“Aku menyiapkan dessert kesukaan Egar. Aku harap kamu juga akan suka.”
“You’re the best, Bruce.”
Setelah itu, Bruce meninggalkan meja kami untuk naik ke ruangannya. Senyum di wajahku masih belum reda hingga suara Kai menarikku kembali ke The Brick.
“Kalian kelihatan dekat sekali.”
“Aku nggak tahu masih akan ada di sini atau nggak kalau bukan karena Bruce. Kerjaanku yang sekarang ini juga nggak lepas dari peran dia. He’s helped me a lot.”
“Kamu beruntung.” Kai tersenyum tipis. “Terima kasih sudah mempertemukan aku dengan Bruce.”
“Sama-sama, Kai. Aku juga senang kalian ketemu. Kamu bisa ke sini kapan saja tanpa harus sama aku.”
Kai terlihat akan mengucapkan sesuatu, tapi mengurungkannya. Mustahil untukku mendesaknya, terlebih makanan penutup yang disiapkan Bruce diletakkan di hadapan kami. Senyumku melebar mengetahui Bruce menyiapkan crème brûlée.
“Egar, ini cuma crème brûlée, bukan harta karun. Ekspresi kamu seperti menemukan tumpukan emas.”
“Kamu pasti nggak akan bilang seperti itu kalau udah nyoba.”
“Are you sure?”
Aku mengangkat dessert spoon dan bersiap memecahkan permukaan makanan penutup yang telah resmi menjadi favoritku. “Kai, stop talking and give yourself the pleasure of trying the best crème brûlée in Bali.”
Mengabaikan tatapan Kai yang mungkin menganggapku sinting, aku langsung mengetukkan punggung dessert spoon ke lapisan teratas crème brûlée hingga terdengar suara yang membuatku ingat bahwa ini adalah salah satu kepuasaan sederhana bagiku.
“Aku harap kamu nggak melebih-lebihkan.”
Dengan satu suapan, lidahku dengan cepat mengenali rasa yang familier. Selama beberapa detik, aku diselimuti kenikmatan yang sesungguhnya hingga melupakan kehadiran Kai. Pria itu memberikan pandangan yang hanya bisa aku artikan sebagai bentuk keheranan.
“Ini bahkan jauh lebih nikmat dibanding orgasme, Kai.”
Tawa Kai sontak terdengar. “Aku nggak tahu soal itu, Egar,” balas Kai sebelum dia lantas melakukan hal yang sama sepertiku. Sesaat kemudian, dia menatapku. “Kamu memang nggak melebih-lebihkan soal rasa crème brûlée ini. Tapi lebih nikmat dari orgasme? Aku nggak yakin itu analogi yang tepat.”
“Next time you have an orgasm, just compare it to this. And then, please admit to me how wrong your opinion is.”
Tidak butuh waktu lama bagiku menyadari bahwa kalimat yang baru aku katakan jauh dari kata berhati-hati. Menyamakan nikmatnya crème brûlée ini dengan orgasme? Yeah, right. Kenapa tidak sekalian saja aku bilang naksir dengan Kai?
Ingin rasanya bangkit dari duduk untuk lari keluar dari The Brick daripada menanggung malu di hadapan Kai. Kenapa aku bisa seceroboh ini?
“Akan aku bandingkan.”
Senyum yang diberikan Kai selepas mengucapkannya sungguh mengandung banyak kemungkinan. Imajinasi liar yang mati-matian aku kerangkeng, mulai menemukan kekuatan untuk melepaskan diri.
Crème brûlée ini tiba-tiba memiliki rasa yang berbeda.
***
Dear all,
Buat yang menunggu versi Wattpad, silakan dinikmati, hehehe. Semoga penantiannya worth it, ya?
As usual, you can also suppport me through Karyakarsa if you don't want to wait. Bab di sana udah sampe bab 15, way more advanced than the one on Wattpad.
Oh ya, silakan cek Instagram saya, ya. Saya ada poll kecil kana saya pengen tahu pendapat kalian. Thank you.
Have a great weekend!
Regards,
Abi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro