Part 2 Sedih dan Kecewa
Pagi-pagi sekali, Adena menelpon kekasihnya. Dia hanya ingin berpamitan karena ada urusan dinas di luar kota untuk dua hari. Meski hubungannya sering tidak baik-baik saja tapi Adena tetap menyempatkan diri untuk berpamitan. Semua dia lakukan supaya kekasihnya tidak perlu khawatir atau menunggu kabarnya nanti.
“Sayang aku hari ini ada dinas ke luar kota selama dua hari.”
Mata Adena melirik ponsel yang berada di tangan, tapi tidak ada juga balasan dari kekasihnya. Hanya hembusan napas kecil yang mampu dia keluarkan. “Ya udah deh yang penting sudah berpamitan.”
Adena adalah seorang sekretaris di perusahaan yang bergerak dalam industri penerbitan. Pekerjaannya sering menemani sang atasan kemana pun beliau pergi. Tapi pekerjaannya kadang-kadang membuat kekasihnya marah dan cemburu tidak jelas. Padahal atasannya sudah memiliki tunangan. Mereka sebentar lagi akan menikah. Lagi pula perasaan Adena sudah diseting hanya untuk Dzaki.
Adena kembali membuka ponselnya berharap pesannya sudah dibalas. Namun, masih tetap sama. Belum ada balasan dari Dzaki. “Apa dia belum bangun tidur ya?” Adena melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan. “Nggak mungkin sih, ini jamnya masuk kantor.”
Berbagai spekulasi negatif terus bermunculan di benak Adena. Sebagai wanita dia juga tidak luput dari pikiran negatif thinking yang sering dialami oleh kalangan wanita pada umumnya. “Apa dia masih marah sama aku? Atau dia benar-benar bosan?” Adena menggelengkan kepala berusaha mengusir jauh pikiran buruknya.
Spekulasi yang muncul bukan tanpa alasan. Hal itu membuat Adena tidak semangat dalam bekerja. Dia suka melamun dan makan hanya sedikit. Atasannya sampai heran karena Adena bertingkah tidak seperti biasanya. Dia adalah tipe gadis yang banyak makan dan ceria.
“Kamu kenapa Dena? Kayak nggak nafsu makan.” Tanya sang atasan sambil terus memperhatikannya.
Dena menggelengkan kepala, “Nggak kenapa-napa Pak. Emang lagi diet aja.”
“Diet buat apa? Badan kamu aja udah seideal itu.” Tunjuknya. Dia kemudian melanjutkan kalimatnya. “Jangan terlalu menyiksa diri Dena. Nikmati hidup kamu, saya nggak mau lo sekretaris yang paling saya andalkan jatuh sakit.”
Kalimat guyonan itu jelas sebuah teguran bagi Adena. Dia menganguk sambil menjawab. “Baik, Pak, saya tidak akan membiarkan tubuh ini jatuh sakit.”
“Kalau begitu habiskan makanannya, mubajir kalau makan meninggalkan sisa. Kasihan mereka sudah mau jadi makanan malah kita sia-siakan. Di luar sana banyak orang yang tidak seberuntung kita Dena. Mereka bisa makan sisa aja sudah bersyukur. Masa kita yang bisa makan lezat malah suka seenaknya sama makanan.”
“Baik, Pak.” Cicit Adena, dia segera makan dan menghabiskannya meski tenggorokan dan perutnya sedang tidak bersahabat.
*****
Ini sudah satu hari dia berada di luar kota. Tapi belum juga mendapat pesan balasan atau sekadar telpon dari kekasihnya. Dia meraih ponsel yang berada dalam tas kecilnya dan segera melakukan panggilan. Di sana hanya terdengar suara operator yang menyambutnya. Adena menghela napas kecil dan merebahkan diri di kamar hotelnya. Dia hampir saja tidur, lalu sebuah notifikasi pesan masuk.
“Dena temani saya membeli beberapa hadiah buat calon istri, saya tunggu di lobi.”
Adena bangun lalu segera menjawab pesan tersebut. “Baik, Pak. Saya segera turun.”
Adena hanya memakai pakaian simpel dan sedikit dengan polesan makeup tipis. Dia mengambil ponsel dan tas kecilnya lalu memasuki lift menuju lobi hotel. Di sana pria tampan sudah menunggunya, pria itu tidak lain adalah atasannya sendiri. Pria itu sangat romantis dan selalu memperlakukan calon istrinya dengan istimewa. Berbeda dengannya yang terkadang mengemis pun Dzaki tidak akan melakukan hal manis kepadanya. Entahlah, entah mengapa dia begitu mencintainya.
“Maaf ngerepotin kamu ya Dena, saya nggak tau apa kesukaan wanita.” Kekehnya.
“Nggak apa-apa Pak, saya juga butuh udara segar.”
“Jangan galau Dena, banyak lo pria baik di luaran sana. Kamu mau saya jodohkan sama kenalan saya? Dia bos pabrik susu lo.”
“Nggak mau Pak,” ujar Adena.
Jawabannya sontak membuat tawa sang atasan pecah. Padahal dia tidak sedang berbohong mengenai temannya. Banyak wanita yang mau bersanding dengan temannya itu hanya saja sang teman enggan. Katanya ingin mendapat wanita yang tulus mencintainya bukan karena uang.
“Kenapa nggak mau? Apa kamu sudah ada calon?”
“Sudah Pak.” Jawab Adena singkat. Sang atasan tidak lagi memperpanjang percakapan mengenai jodoh Adena.
“Dena saya perhatikan selama di sini kamu murung terus. Kamu lagi ada masalah? Cerita dong. Saya sebagai atasan kamu ngerasa bersalah banget kalau kamu sampai kenapa-napa.”
Adena menatap tatapan bosnya lalu tersenyum kecil. “Bukan masalah besar Pak.”
“Lihat! Kamu nggak mau terbuka sama saya. Saya kurang apa sebagai atasan kamu.” Desah sang atasan.
“Kurangnya Bapak hanya satu.”
“Apa itu, bilang aja biar saya sekalian introspeksi diri.”
“Bapak bukan milik saya, itu aja kurangnya.” Tawa Adena pecah setelah mengatakan hal tersebut. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu.
“Saya mau lo jadi milik kamu.” Goda sang atasan.
“Idih, bapak mah modus. Nanti saya bilangin Ibu Prily lo.”
“Ampun deh kamutu ya.” Atasannya hanya mampu menggelengkan kepala.
Keduanya tertawa, Adena sejenak bisa melupakan Dzaki. Dia melihat atasannya dengan tatapan sendu. Andai dipertemukan dengan lelaki seperti itu apakah Adena bisa tertawa lepas seperti sekarang. Atasannya sangat baik, royal dan begitu perhatian pada tunangannya. Kemana pun pria itu pergi selalu menyempatkan memberi kabar, hadiah bahkan ucapan romantis kepada pasangannya. Sangat berbeda dengan Dzaki yang hanya mementingkan diri sendiri. Lagi-lagi Adena memikirkan Dzaki.
Keduanya segera pergi menuju pusat perbelanjaan yang tidak begitu jauh dari tempat mereka menginap. Saat dieprjalanan ponsel Adena berdering. Dia tersenyum melihat nama si pemanggil dan segera menjawab telponnya.
“Kamu pergi kenapa nggak bilang-bilang? Sudah bosan sama aku? Atau sudah menemukan pria lain?”
Senyumnya sontak luntur mendengar penuturan kekasihnya. Dia barus aja hendak menjawab tapi sudah lebih dahulu diserobot.
“Ngapain kamu ke sana, hah? Kamu kerja dinas atau kerja jual diri! Dasar murahan.”
Adena yang tidak sanggup lagi mendengar suara bentakan, cacian bahkan tuduhan tanpa bukti yang mengarah kepadanya. Dia tersenyum kemudian mematikan panggilannya. Air mata sudah menganak sungai tapi dia tahan sebisa mungkin. Adena tidak ingin menangis dihadapan atasannya yang sejak tadi memperhatikan gelagatnya.
“Kenapa Dena?”
“Nggak ada, Pak.”
Dia begitu merindukan Dzaki tapi saat mereka terhubung Dzaki hanya mencecarnya seperti itu. Dia mengelus dadanya yang begitu sesak. Dia butuh menangis karena hanya itu yang menemaninya selama ini.
“Dena! Dena!” panggil atasannya.
“Iya, kenapa Pak.” Adena menjawab setelah pikirannya kembali.
“Kita sudah sampai. Ayo turun.”
Adena segera turun dari taksi dan menemani atasannya menuju pusat perbelanjaan. Selagi mereka belanja, atasannya menyempatkan video call dengan tunangannya dan menunjukkan wajah Adena juga di sana. Tunangan atasannya tentu sangat senang melihat Adena di sana.
“Hai Dena.....” Sapanya dengan ceria.
“Halo Buk Prily, apa kabarnya.”
“Kok ibu sih Dena. Aku udah bilang panggil aja Prily. Kita seumuran lo.” Decaknya kesal setiap kali Adena menyematkan kata ibu dalam panggilannya.
“Nanti saya dimarahi Pak Bos kalau memanggil Ibu Prily hanya dengan nama saja.”
“Sayang kamu jangan marahin Dena dong. Aku kan masih muda, cantik, unyu-unyu begini masa dipanggil ibu sih. Kayak usiaku udah tua banget.” Rajuk nya yang langsung membuat sang atasan tertawa.
“Wajar dong Dena manggil kamu ibu Sayang, kan kamu ibu dari anak-anakku nanti.” Godanya.
“Padi Dewanta Agung!” teriak Prily dengan kesal.
“Udah Pak jangan menggoda ibu Prily nanti Ibu ngambek Bapak juga yang berabe.” Bisik Adena yang masih didengar oleh Prily di seberang sana.
“Dena!” teriaknya kesal karena terus-terusan digoda oleh kedua orang tersebut.
Adena menyaksikan interaksi keduanya, dia begitu iri dengan hubungan mereka berdua yang selalu harmonis. Dia iri karena Dzaki tidak memperlakukannya dengan baik seperti Padi yang meratukan Prily.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro