7
Pulau Jawa bukanlah daerah yang berpotensi soal sumber daya alam. Tidak seperti pulau lainnya di Indonesia, pulau Jawa memiliki sedikit hasil alam. Itulah yang membuat Belanda tidak terlalu memanfaatkan daerah itu ketika menjajah dulu.
Tapi, berbeda dengan pemikiran bangsa Nippon.
Jawa adalah surga dari sumber daya manusianya. Nippon membutuhkan lebih banyak prajurit menggantikan jumlah korban kala berperang dulu. Dan melihat Jawa yang memiliki potensi berlimpah dari manusianya, Nippon tak tinggal diam.
Hingga dibentuklah Giyugun atau bangsa Indonesia sendiri menyebutnya PETA. Yang merupakan singkatan dari Pembela Tanah Air. Berisi anggota 120.000 rakyat pribumi yang diadopsi dari beberapa banyak daerah di sepanjang pulau Jawa.
Sebagian besar dari anggotanya, dikirim untuk berperang di Pasifik. Melawan Amerika Serikat yang sedang gencar membalaskan dendam. Nippon tak ingin bersusah payah untuk turun di sana. Jadi, ia mengolah sumber daya manusia yang ia dapatkan. Didiknya mereka dalam bidang militer, hingga siap turun ke lapangan.
Di balik kesusahpayahan para anggota PETA, Nippon memanfaatkan kelengahan mereka. Menjadikan janji merdeka sebagai kambing hitam untuk membuat pribumi tetap menerima mereka. Tapi, perlahan niat buruk itu sudah nyaris sempurna.
Semuanya tinggal eksekusi. Dan nasib pribumi benar-benar berada di ambang penderitaan.
**
Mirna baru selesai membantu Emak memasak dan menyelesaikan makannya.
Seperti hari-hari sebelumnya, Mirna biasa ke luar bersama Tarwin yang sudah menunggu di luar. Atau Mirna yang lebih dulu ke rumah pria itu.
Tapi, beberapa hari kemarin, tepatnya tiga hari, kebiasaan itu tidak dijalankan oleh Mirna. Mirna sekadar terduduk di depan rumah atau sesekali membantu warga desa yang sudah lansia untuk dibantu.
Sejak Tarwin membuat Mirna kesal, gadis itu memiliki harga diri yang tinggi. Enggan untuk menemui Tarwin dan tiba-tiba meminta maaf. Lantaran menurut persepsi Mirna, pria itu yang salah bukan dirinya. Dan Tarwin yang biasanya menunggu, sekarang tidak terlihat lagi batang hidungnya. Seolah Tarwin telah hilang dari desa Ciamin.
Mirna pikir, Tarwin masih marah padanya. Jadi, Mirna memutuskan tetap diam di rumah walau sebenarnya dia ingin bertemu Tarwin. Sayang, gengsinya terlalu besar untuk bergerak duluan.
Bukan hanya itu yang mengganggu pikiran Mirna. Surat misterius yang kerap datang ke rumah Mirna, berhenti. Tidak ada lagi sepucuk surat yang membuat Mirna penasaran. Tidak ada lagi secarik kertas berisi deretan huruf yang membuat Mirna tersanjung.
Semuanya berhenti ketika sehari sesudah Tarwin tidak mengunjunginya lagi. Dan Mirna semakin sering berasumsi. Apakah Tarwin yang selama ini mengirimkan surat-surat itu? Tapi, bukannya Tarwin tidak bisa menulis dan membaca?
Mirna tahu sekali hal itu.
"Kenapa ngelamun terus, Neng?" Mirna menoleh pada Emak yang sudah duduk di sampingnya.
Memandangi jalanan desa di depannya, Mirna tersenyum miris. "Surat itu udah gak datengin Mirna lagi, Mak."
Emak mengerutkan alisnya. "Kenapa?"
Mirna menggeleng. Kalau tahu pun, Mirna tidak akan segundah sekarang. Ada rasa rindu bagaimana kedatangan surat itu berada di depan rumah. Ada rasa bahagia sekaligus penasaran membuat Mirna tak sadar telah menancapkan rutinitas itu di otaknya. Sekarang surat itu tidak ada. Memberikan perasaan kosong yang entah kenapa menyesakkan dadanya.
Apa Mirna mulai jatuh cinta pada sang pengirim surat? Namun, itu terlalu cepat rasanya.
"Kata Emak, pasti pengirim surat itu dari desa kita, Neng." Mirna sontak menoleh bersama tatapan tanya.
"Kemarin, semua laki-laki di sini dijemput oleh negara Nippon."
"Untuk apa?"
"Jadi tentara Nippon berjanji untuk memberi negara kita merdeka, Mir," jelas Emak dengan irama membahagiakan. "Dan balasannya kita harus membantu Jepang menang pada saat perang."
"Dan laki-laki itu termasuk Tarwin juga?" Entah kenapa, nama itu yang muncul pertama kali di otak Mirna. Ada rasa takut sekaligus penasaran.
"Semuanya, Mir. Dan Tarwin ikut."
Mirna tersedot pada pemikiranya. Perihal surat, seketika hilang. Tarwin bukanlah pria gagah yang dapat diandalkan untuk melakukan hal-hal berat. Tarwin hanya punya tubuh tinggi yang melebihi batas normal laki-laki. Tapi, Tarwin malah diajak untuk berperang?
Kenapa bagi Mirna hal seperti itu terlihat ganjal? Ada sesuatu yang salah dari nilai semestinya. Dan Mirna yakin, itu bukanlah hal yang baik.
**
"Neng, liat Imas?"
Mira kontan menengok ke belakang. Melihat wanita paruh baya yang sedang meremas jemarinya dan terlihat begitu khawatir. Tatapannya sayu dan kerutan kulitnya menunjukkan usia yang tak muda lagi.
Mira mengulas senyumnya. Kendati, beliau orangtua dari perempuan yang membencinya, Mirna masih punya nurani untuk tidak balas dendam.
"Mirna nggak liat, Bu," ujar Mirna halus. "Imas emang terakhir ke mana?"
Lansia itu semakin terlihat khawatir. Tatapannya tak fokus sama sekali. Otaknya terus berputar memikirkan keberadaan anak gadisnya. Pasalnya, beliau sangat khawatir.
Meski pria di desa berkurang dan tertinggal para lansia, beliau tetap punya firasat yang buruk. Imas tidak pernah menghilang hingga sore hari. Yang ada justru Imas sering mencari dirinya jika sudah kelewat malam.
"Ibu gak tau," ucapnya ketakutan. "Gimana kalo ada apa-apa sama Imas, Neng?"
Mirna menghapus senyumannya. Meletakkan baskom ke tanah, dan merengkuh Ibu itu. Berusaha menenangkan serta memberi energi positif yang Mirna miliki. Meski Mirna sendiri pun tidak yakin kalau dirinya bisa membuat Ibu itu lebih tenang.
"Imas pasti pulang kok, Bu."
"Kalo dia hilang, Ibu harus gimana, Neng?"
Mirna perlahan mengembuskan napasnya perlahan dan diam-diam. Memang sulit memberikan pengertian pada seseorang yang sedang sentimental. Segala macam motivasi tidak mungkin didengar. Namun, Mirna bingung harus membantu bagaimana lagi.
Ia sangat empati pada perasaan Ibu yang kehilangan anaknya ini.
"Ibu pulang dulu ya?" bujuk Mirna. "Tunggu Imas di rumah saja. Kalau belum pulang, besok Mirna bantu cari."
Ibu itu menghapus air mata yang merembes di pipinya. Menahan isakkan yang memaksa keluar. Apa yang dikatakan Mirna ada benarnya. Jika dicari ketika langit gelap, yang ada dirinya ikut menghilang bersama Imas.
Tapi, ia juga seorang ibu. Ibu tidak mungkin membiarkan darah dagingnya sendiri menderita di luar.
"Imas--"
"Udah." Mirna mengeratkan pelukannya. "Ada lagi besok, Bu."
Mau tak mau, Ibu menurut. Entah kenapa, dorongan Mirna seketika masuk ke dalam sanubarinya. Ada rasa percaya yang tiba-tiba saja mencuat.
"Mirna janji besok mau nyari Imas."
Ibu mengangguk bersama asanya. Mirna menatap kepergian ibu itu sendu. Kasihan sekali perjuangan ibu itu harus sia-sia hari ini. Soalnya Mirna tidak tega. Jika ibu itu terus memaksakan mencari, angin malam tidak sehat bagi manula.
Kehilangan Imas pun bukan malah menjadi kebahagiaan untuk Mirna sendiri. Pasalnya, Imas masih terlampau muda dari usia Mirna. Mirnalah gadis paling tua jika menurut usia. Namun, wajahnya yang terlihat bersih dan mempesona, tidak akan ada yang percaya kalau umur Mirna menginjak seperempat abad.
Jadi, sayang sekali jika Imas benar-benar menghilang. Masa depannya masih terlampau panjang. Di usianya delapan belas tahun, Imas sudah menunjukkan keras kepala dan jago dalam cakap.
Contohnya saja sewaktu menantang Mirna. Tidak peduli Mirna lebih tua, Imas tetapi bisa menunjukkan taringnya.
Jika kelebihan Imas itu dimanfaatkan demi emansipasi gadis di desanya, mungkin Imas akan membawa perubahan bagi desa. Sehingga perempuan tidak lagi dijadikan budak di keluarga. Mengurus ini itu dengan banyak batasan. Tapi, melakukan banyak hal seperti yang laki-laki lakukan namun tetap dalam lingkup aturan berkeluarga.
Dan sekarang Imas tidak terlihat batang hidungnya. Mirna jadi tidak yakin akan mendapatkan hasil yang diharapkan esok hari.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro