4
Pagi ini Mirna dikejutkan oleh kedatangan tukang pos. Ia kira surat yang selama ini menerornya. Namun, ternyata bukan.
Dengan amplop serta prangko merpati yang sudah menjadi ciri khas, Mirna telah mengetahui pengirimnya. Siapa lagi kalau bukan Anastasia.
Masih di pekarangan rumahnya, Mirna menuju panggung rotan dan duduk di sana. Mengurungkan niatnya untuk ke rumah Tarwin. Dan mulai membaca surat yang sudah jarang dikirim ke rumahnya.
Akoe tidak taoe kabar ini termasoek baik ataoukah boeroek. Negarakoe berhenti menyayah negaramoe. Dan akoe haroes ikoet keloeargakoe.
Akoe ingin mengoetjapkan banjak terimakasih padamoe. Karna mau menyadi temankoe selama di Indonesia. Maaf kalaoe negarakoe banjak menjakiti negaramoe.
Akoe pasti akan merindoekanmoe, Mirna.
Tapi, di soerat ini djoega akoe ingin menjampaikan sesoeatoe padamoe.
Ada negara yang menggantikan negarakoe di negerimoe. Kalaoe tidak salah namanja Nippon. Akoe tidak taoe djelas toejoean mereka ke negaramoe. Tapi, akoe jakin. Mereka poenja niat djahat. Firasatkoe bilang begitoe.
Akoe harap itoe hanja firasatkoe sadja. Tapi, kamoe haroes berhati-hati, Mirna. Hati manoesia tidak ada jang taoe.
Semoga soerat ini sampai tepat waktoe sebeloem mereka melakoekan hal jang boeroek.
Selamat tinggal, Mirna.
Anastasia
Mirna menutup kembali suratnya dan dimasukkan ke dalam amplop. Gadis itu menghela napasnya panjang seraya termenung menatap alas tanah di bawahnya.
Satu-satunya perempuan yang menjadi teman Mirna, pergi. Sekarang Mirna benar-benar sendiri tanpa ada dukungan motivasi yang biasa dilakukan Anastasia padanya.
Berteman dengan pria seperti Tarwin memang tidak selalu menyenangkan. Karena pria tidak akan pernah mengerti isi hati perempuan sebenarnya.
Baiklah, Mirna akan berusaha bangkit sendirian. Toh, Anastasia mengunjunginya hanya sebulan sekali. Jadi, untuk melupakannya tidak akan terlalu sulit.
Ya, semoga.
Mirna kemudian masuk ke dalam rumahnya untuk menyimpan surat dari Anastasia tersebut. Lantas kembali ke luar untuk melakukan niat awalnya, yaitu ke rumah Tarwin.
Tidak ada lagi aktivitas aneh yang lain. Kalau saja di desa Mirna punya pergaulan perempuan, pasti akan selalu ada kegiatan unik dan berbeda dari yang lainnya.
Seperti menganyam, menjahit, bercerita banyak hal terus mencuci baju di sungai bersama serta masih banyak. Tapi, Mirna harus bisa menerima kenyataan.
Faktanya, seluruh gadis di desa menjaga jarak dari Mirna. Takut, kalau pujaan hatinya malah kecantol pada kerupawanan Mirna. Jadi, menjadi asing untuk Mirna itu lebih baik daripada dekat dan so akrab.
"Kamu lagi sedih, Mir?" tanya Tarwin dengan logat Sundanya ketika Mirna tak sadar melamun di depan rumahnya.
"Biasa aja kok, Win," jawab Mirna seraya mengulas senyum tipisnya. Ia tidak mau terang-terangan menunjukkan beban pikirannya. Paling-paling Tarwin menjawabnya dengan kata 'sabar', yang membuat Mirna bosan.
"Jangan bohong, Mir," ucap Tarwin sambil keduanya mulai menjalani kegiatan rutinitasnya.
Mirna mengembuskan napasnya. "Anastasia pergi, Win."
"Ke mana?" tanya Tarwin mengerutkan alisnya.
"Ke negaranya. Belanda kalah trus pergi."
"Bagus kalo gitu. Jadi Indonesia gak dijajah lagi." Tarwin cepat-cepat menambahkan, "Tapi kamu sedih ya?"
Mirna mengangguk. "Iya. Mirna gak ada temen perempuan lagi." Gadis itu kemudian menoleh. "Tapi katanya ada negara lain ke Indonesia, Win."
"Negara apa?"
"Kalau aku bilang emang kamu tau?" gurau Mirna membuat Tarwin merengut.
"Iya, iya. Tarwin tau, Tarwin mah bodo. Nggak kayak Mirna yang pinter."
Tawa Mirna berderai. Melihat raut Tarwin yang menurutnya lucu itu. "Kata siapa? Mirna juga gak tau itu negara apa." Mirna lantas memberi jeda sesaat dengan ekspresi wajah penuh harap. "Semoga gak sampai sini, kayak Belanda kemarin."
Tarwin mengangguk. Mengharapkan doa yang Mirna ucapkan. Mungkin dengan sawah serta kebun yang tidak terlalu luas, merupakan anugerah yang dipunyai oleh desa Ciamin. Sebab penjajah tidak ada yang berminat untuk masuk ke dalam desa.
Pertama Belanda datang waktu itu, sukses membuat warga Ciamin bergidik ngeri. Lantaran sikap mereka yang beringas serta senapan yang sering dibawa-bawa.
Dan mengetahui desa Ciamin memliki sumber daya yang sedikit, perlahan Belanda pergi. Hingga akhirnya tak ada lagi yang datang kecuali Anastasia yang memang tujuannya untuk menemui Mirna.
Lalu kedatangan negara pengganti Belanda itu, tak ayal memutuskan harapan warga Ciamin. Siapapun penjajah itu, semoga tidak sampai menyentuhkan kakinya di desa. Sebaik-sebaiknya penjajah, pasti ada satu tujuan yang membuat negara yang dijajah menderita.
Entah itu secara materi ataukah psikis.
**
"Kang Koswara?!" panggil Mirna tak percaya mendapati Koswara ada di depan jembatan gantung. Menghalangi Mirna dan Tarwin untuk melanjutkan langkahnya.
Pria usia dua puluh delapan tahun itu punya obsesi besar untuk memiliki Mirna. Beragam tolakkan halus maupun kasar, sudah Koswara rasakan dari mulut manis Mirna. Tapi, seolah urat gengsinya putus, Koswara tetap gigih mendapatkan hati Mirna.
"Pantas saja kamu tidak menerimaku. Kamu ternyata lebih menyukai laki-laki kurus itu?" sindir Koswara membuat Tarwin mundur beberapa langkah sambil menunduk.
Mirna seketika marah. Ia tidak suka kawannya dicela seperti barusan. Apalagi ini Tarwin. Pemuda yang rendah diri dan pemalu. Mirna tidak mungkin menerima hinaan keji dari mulut bajingan Koswara.
"Diam, Kang! Tarwin bahkan lebih baik daripada Akang!"
Koswara menyeringai. Pria itu maju selangkah demi selangkah mendekati Mirna. Suara daun-daun kering terinjak, menambah suasana mencekam di dalamnya. Apalagi sore-sore begini dan letaknya di jembatan gantung, orang-orang jarang sekali ada di lokasi tersebut.
"Kamu buta, Mirna?! Aku punya segalanya daripada laki-laki itu!" bentak Koswara membuat Mirna sedetik menghentikan napasnya.
Koswara memang punya harta. Bahkan ada kabar burung bahwa ia akan menggantikan Pak Sholihin sebagai kepala desa. Perangainya baik jika di depan orang-orang, acap kali membuat warga lainnya percaya pada Koswara.
"Akang justru lebih hina dari binatang!"
Plak!
Satu tamparan tepat mengenai pipi kanan Mirna. Gadis itu meringis memegang pipinya yang terasa sakit dan panas. Suaranya begitu nyaring bahkan membuat Tarwin memekik.
Air mata mulai menggumpal di kelopak mata Mirna. Ia tidak menyangka kalau Koswara akan melakukan hal menjijikkan seperti tadi.
"Akang puas?!" desis Mirna dengan air mata yang mulai merembes di kedua pipinya. Koswara sudah kehilangan hati nurani. Pria itu malah menyeringai lebar seakan puas dengan perilakunya barusan.
Koswara mendekat hingga benar-benar begitu dekat di depan Mirna. Dan gadis itu masih tegar di tempat. Tidak ingin menunjukkan kekalahan di depan iblis yang menjelma sebagai manusia itu.
"Akang akan lebih puas jika berhasil menanam benih di dalam rahimmu, Mirna." Koswara pergi. Mirna duduk lemas di tanah sambil menatap kosong ke depan.
Air matanya terus saja meluncur bebas. Mirna membiarkannya dan mulai terisak tangis meratapi hidupnya yang begitu menyedihkan.
Kenapa orang-orang masih saja menganggap kehidupan Mirna sempurna tatkala berbagai macam ancaman terus membuatnya menderita? Itu baru salah satu. Mirna tidak tahu kapan bencana yang berasal dari hidup sempurnanya itu, datang lagi.
"Mirna, sabar ya. Tarwin ada di sini." Tarwin duduk di depan Mirna. Menghapus tetes demi tetes air mata Mirna yang ke luar.
Pria itu sebenarnya ingin memeluk Mirna. Melindungi dan membuat Mirna merasa lebih baik. Bahkan Tarwin ingin ikut menangis bersama Mirna.
Namun, Tarwin sadar kalau dirinya tidak pernah pantas. Tarwin juga tidak ingin terlihat lemah.
Tarwin tahu, Tarwin salah membiarkan Mirna disakiti seperti tadi. Tapi, Tarwin takut. Tarwin bukan pria kuat yang punya seribu otot utuk menjadi tameng Mirna.
Tarwin hanya pria kurus kering yang beruntung bisa menjadi kawan Mirna. Itu saja, tidak lebih.
Meski Tarwin tidak bisa menarik Mirna agar gadis itu tidak mendapat tamparan, setidaknya Tarwin harus bisa dipercaya Mirna dengan tidak ikut menangis. Menyiratkan kalau masalahnya akan menjadi sesuatu yang indah di masa depan.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro