3
Rindoe tak berudjung
Rindoe jang tak bertuan
Apa perasaan ini bisa sampai pada pemilik aslinja?
Akoe ragoe
Kaoe bahkan sama sekali tak menoleh ke arahkoe
Tapi, apa salah yika hati ini berharap banjak?
Surat ke sekian. Entahlah, Mirna tak menghitungnya. Surat ini sudah mulai membuat Mirna bosan.
Awalnya bahagia, tapi entah kenapa sekarang terasa hambar. Dalam otaknya, Mirna sibuk menerka sumber kedatangan surat itu. Surat yang membuat Mirna untuk pertama kalinya dibuat penasaran akan keberadaan seseorang.
Diksi yang terusat atau tersirat dalam puisi itu memang tidak sebagus para pujangga yang mengharapkan pujaan hatinya. Tapi, selalu berhasil membuat sudut hati Mirna bersorak bahagia. Kendatipun, bahagia itu sekarang sudah kalah telak oleh rasa penasaran Mirna.
"Mirna?"
Sejurus kemudian, Mirna menyembunyikan surat tersebut di bawah pahanya. Lantas menoleh ke samping, mendapati Tarwin tengah menatapnya bingung. Keduanya sama-sama di depan rumah Mirna yang memang disediakan panggung rotan untuk sekadar dimanfaatkan menikmati udara luar.
"Tarwin?" tanya Mirna menutupi kegugupannya. "Mau apa?"
"Mau ngajak jalan. Tapi tadi Mirna lagi baca surat ya?" Mata Tarwin melirik ke beberapa daerah di sekitar Mirna. Namun, target utamanya tidak ditemukan sama sekali.
Tarwin jadi meragukan penglihatannya barusan.
"Salah liat kamu mah," gurau Mirna. "Mirna dari tadi cuma diem aja."
Tarwin mengangguk. "Emak pergi ke mana?"
"Kenapa Tarwin tau Emak gak ada di rumah?"
"Tadi Tarwin ke sini waktu Mirna gak ada."
Mirna melongo. "Ke sini?" tanya Mirna terkejut. "Trus Tarwin liat orang di sini gak?"
Mirna terlihat penasaran. Membuat Tarwin menduga tentang ada sesuatu yang baru di dalam hidup Mirna.
"Henteu." Tarwin menggeleng. "Kunaon kitu?"
(Tidak. Kenapa gitu?)
Mirna tanpa sadar mengembuskan napasnya gusar. Lagi-lagi ia harus menerima kenyataan kalau orang misterius itu sudah pergi tanpa jejak apa pun. Harus sampai kapan Mirna disesaki oleh rasa penasarannya?
"Kunaon, Mirna?" desak Tarwin. Mirna hanya mengulas senyumnya seraya menggeleng.
(Kenapa, Mirna?)
"Jalan-jalan yuk!" Mirna beranjak tanpa menunggu jawaban Tarwin. Mirna tidak mau ketahuan dulu sekarang. Mirna ingin mencurigai beberapa orang dulu termasuk Tarwin.
Sementara Tarwin hanya bisa menghargai keputusan Mirna yang lebih memilih untuk menutupi masalahnya. Biarlah untuk saat ini. Tarwin tidak berhak memaksa Mirna lebih jauh lagi.
**
"Tarwin uih heula, Mir. Mirna teu nanaon nyalira?" tanya Tarwin tak enak hati setelah jauh dari jembatan gantung sebagai tempat terakhir mereka berkunjung.
(Tarwin pulang dulu, Mir. Mirna gapapa sendiri?)
Mirna mengangguk maklum. Tidak ingin dianggap gadis yang yang harus diantar kemana-mana. "Gapapa, Win. Mirna teh sudah besar. Bisa pulang sendiri."
Tarwin mengangguk dan melambaikan tangannya untuk berbelok. Mirna menatap kepergian Tarwin sekilas dan hendak melanjutkan perjalanannya untuk sampai ke rumah. Tetapi, seseorang mendorong bahu Mirna hingga gadis itu mundur beberapa langkah.
"Kamu udah apain Kang Akmadi?" tanya seorang gadis yang begitu familier dengan nada sarkastik.
Mirna mengusap bahunya yang terasa ngilu dan menengadah. "Imas?" Mirna memastikan. "Mirna nggak ngapa-ngapain sama Kang Akmadi."
"Halahhh...." Imas menggerakkan tangan di depan wajahnya. "Jangan bohong. Kang Akmadi jadi males ketemu sama Imas. Pasti kamu udah ngomong aneh-aneh kan sama Kang Akmadi?" tuduh Imas membuat Mirna sedikit terperangah.
"Ya ampun, Imas. Mirna berani sumpah nggak bilang apa-apa. Cuma...." Mirna ragu untuk menceritakan kebenarannya pada Imas.
Imas malah dibuat penasaran. "Cuma apa?!" bentak Imas.
"Mirna nggak nerima lamaran Kang Akmadi."
Kalimat itu seolah menjadi petir di siang bolong. Emosi Imas seketika naik ke ubun-ubun. Wajahnya memerah menahan amarah. Pria yang didambanya ternyata meminang gadis lain. Gadis yang notabenenya musuh Imas.
Imas tidak mengerti. Apa pria di desanya buta? Kenapa gadis si tukang tebar pesona itu malah sering dijadikan objek fantasi sebagai istri idaman?
"Kamu jangan sombong ya! Mentang-mentang kamu cantik, trus nolak Kang Akmadi, kamu jadi besar kepala!"
"Mirna---"
"Gandeng!" sela Imas membentak. "Mending kamu jauh-jauh dari semua laki-laki yang ada di sini! Apa kamu gak ngerti perasaan perempuan-perempuan di sini karena keberadaan kamu?!"
(Berisik!)
Mirna menunduk. Takut pada cercaan Imas yang berubah menjadi belati-belati tajam yang terus-menerus mengoyak jantungnya. Mirna juga tidak mau jadi seperti sekarang. Menjadi pusat perhatian banyak orang, merupakan bencana bagi Mirna.
Ia tidak bisa bebas kesana-kemari. Mirna juga harus menjaga perasaan orang-orang yang mengaguminya. Mirna juga harus sering-sering memikirkan cara penolakan halus jika ada pria yang melamarnya. Ditambah Mirna yang tidak tegaan, itu adalah hal tersulit bagi Mirna.
"Mirna usahakan, Imas."
"Jangan diusahakan! Tapi buktikan, Mir!"
Mirna mengangguk. Imas mengembuskan napasnya pelan. Menelan bulat-bulat amarahnya yang belum surut-surut. Lantas beranjak menjauh dari Mirna sebelum kejadian di luar nalar terjadi di antara keduanya.
Beginilah hidup Mirna yang dikatakan orang sempurna. Tidak ada satu pun gadis yang berada di belakang Mirna untuk mendukungnya. Hanya ada Tarwin sang pemuda desa yang selalu mengerti perasaan Mirna.
Sesempurna apapun hidup orang, pasti selalu ada cacat di dalamnya. Mungkin orang mengatakan sempurna hanya karena melihatnya dari luar. Jika mereka mengalaminya sendiri, berani sumpah, tidak akan ada yang mau menjalani hidup yang dikatakan sempurna. Pasalnya, hidup di bumi saling bergandengan. Ada kelebihan ada kekurangan. Keduanya saling melengkapi dan berlekatan.
Intinya, hidup di dunia memang tidak akan bisa dikatakan sempurna.
**
Jenderal Hitoshi Imamura --pimpinan Tentara Angkatan ke-16 dari Jepang, diberi mandat untuk memimpin salah satu bagian daerah Indonesia, tepatnya Pulau Jawa.
Sekaligus, mengusir telak Belanda yang memang sudah kalah karena kekalahan sekutu yang disebabkan oleh Jepang itu sendiri. Berbekal janji-janji palsu pada pribumi, Jepang dapat menarik simpati.
Dengan isi:
Jepang Cahaya Asia
Jepang Pelindung Asia
Jepang saudara Asia
Belum lagi adanya ramalan dari Joyoboyo bahwa Indonesia akan dijajah oleh bangsa kulit kuning dan setelah itu Indonesia dapat merdeka. Dan Jepang, memanfaatkan hal tersebut untuk mengorasikan janji kemerdekaan. Hingga akhirnya seluruh sistem pemerintahan, dikuasai penuh oleh Jepang.
Mulai dari pemimpin, pribumi bahkan pengelolaan sumber daya. Semuanya diubah begitu signifikan agar tak ada berbau kebaratan. Dibalik itu semua, ada tujuan terselubung yang pasti memberi keuntungan yang besar bagi perkembangan Jepang di Indonesia bahkan di Asia.
Ketidaktahuan pribumi serta pikiran mereka yang konservatif, membuat seluruh pribumi menerima keberadaan Jepang dengan senang hati. Belum lagi janji kemerdekaan yang dinanti-nanti, membuat para pribumi tidak keberatan untuk hidup berdampingan bersama Jepang. Dengan embel-embel saling menolong.
"Kinishinaide," ucap seorang pria pada kawannya. "Saisho no tsuma wa wasurete. Utsukushii josei no koko ni ooku."
(Sudahlah. Lupakan istrimu dulu. Di sini banyak wanita cantik.)
Lawan bicaranya tersebut hanya mendengus geli dan tertawa kecil. Bisa-bisanya mempunyai kawan senasib yang mempunyai hasutan gila seperti itu.
Maaf, tapi dia tipikal pria setia. Mau secantik apapun, ia tidak akan mencintai wanita lain. Mengingat, sebelum menikah istrinya sangat sulit ditaklukan secara mudah. Dan dia tidak mau menyia-nyiakan begitu saja usahanya selama itu.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro