Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2

"Akogare anata no tsuma desuka?" tanya seorang pria berpakaian seragam hijau prajurit pada teman senasibnya yang sekarang sedang tertunduk lesu seraya mengusap cincin besi yang menghiasi jari manisnya tersebut.

(Rindu istri?)

Pria yang ditanya seperti itu, hanya mengulas senyumnya tanpa menoleh. Jenis senyum miris yang orang sekarat pun tahu, kalau pria itu terpaksa untuk mencetak senyumannya itu.

Jujur, kalau tidak ada janji kesejahteraan dari negara untuk ikut ke dalam perang, ia lebih memilih menjadi pekerja biasa. Mencari nafkah hingga sore hari dan bercengkrama hangat dengan wanita yang ia cintai dan ia nikahi.

Bukan seperti sekarang. Hanya bisa berimajinasi tanpa ada interaksi yang membuat keduanya merasa dekat.

Pria itu benci hidupnya. Hidup yang terus berada di dalam kurungan orang-orang yang berjabatan tinggi itu. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan. Kecuali menghela napas dan lagi-lagi patuh pada titahnya.

**

"Nek, mau Mirna bantu?" tanya Mirna penuh kelembutan pada seorang lansia yang terlihat kesusahan dalam membawa beberapa ranting yang diikat oleh rotan.

Nenek itu tersenyum dan Mirna dengan senang hati mengambil alih bawaan nenek tersebut.

Mirna dan kemurahan hatinya. Itulah yang membuat para pria di desanya tak harus berpikir keras untuk menyanjung kelebihan Mirna.

Gadis dewasa itu cantik. Tapi dia tidak kecentilan. Tata bahasanya terbilang terlalu indah. Maksudnya sarat akan kesantunan dan kelembutan. Dan Mirna selalu punya aura tersendiri yang membuat orang-orang selalu betah berada di sekitarnya.

Sama seperti saat ini. Beberapa kali melewati rumah warga untuk ke tempat tujuan, Mirna kerap kali mendapat sapaan. Jelas saja. Siapa yang tidak mengenal Mirna dari desa Ciamin? Bahkan desa sebelah yang terbilang jauh jaraknya, tak sedikit orang mengenal Mirna.

"Nuhun nya, Neng. Nini kabantos pisan," ucap Nenek itu setelah sampai di depan gubuknya.

(Makasih ya, Neng. Nenek terbantu sekali.)

"Mirna bawa ka lebet, Nek?"

(Mirna bawa ke dalem, Nek?)

Nenek menggeleng. "Aya incu, Nini."

(Ada cucu, Nenek.)

Tak lama kemudian, ke luar anak usia dua belas tahun. Yang Mirna kira adalah cucu nenek itu. Bawaannya diserahkan pada anak tersebut.

Mirna izin pamit dan nenek serta cucunya tersebut masuk ke dalam rumah mereka.

Mirna tersenyum seraya mengamati kehidupan warga di desanya. Semuanya penuh kebahagiaan. Di saat ada kesulitan, mereka senantisa bahu-membahu untuk mempermudah pekerjaannya. Itulah pemandangan yang Mirna favoritkan dalam hidupnya.

Mirna tidak mau mengurus hal-hal yang bersifat individual dulu. Seperti mengurus suami dan membatasi geraknya ke dunia luar. Mirna lebih senang begini. Menikmati usianya memerhatikan hal-hal yang membuat Mirna tak berhenti tersenyum.

"Mirna," sapa khas suara berat membuat Mirna sedikit terkejut.

Mirna menoleh. Hatinya meringis melihat keberadaan sosok itu. Kalau saja Emak tidak menanamkan budi pekerti pada diri Mirna, sudah dipastikan Mirna akan kabur. Tapi, bukannya kabur. Mirna sekarang sekeras mungkin menunjukkan senyum persahabatan.

"Kang Akmadi?" tanya Mirna memastikan dan dibuat seolah sesenang mungkin akan keeksistensian pria itu.

Namanya Akmadi. Pria tiga puluh tahun, anak kedua dari kepala desa yang hampir turun jabatan. Pria yang dikenal baik dalam tata krama dan mempunyai kekayaan yang berlebih bagi ukuran warga desa Ciamin. Kendati tidak mengenyam pendidikan, Akmadi cukup piawai dalam mengelola sepetak sawah di desanya. Hingga menjadi mata pencaharian warga selain berkebun palawija.

"Mau apa Akang manggil Mirna?"

Akmadi mengusap tengkuknya gelisah. Lantas pria itu mencoba manatap kedua mata indah milik Mirna.

Wajah gadis itu terlalu mempesona. Sampai Akmadi merasa rendah diri jika disandingkan dengan Mirna yang nyaris sempurna itu.

"Soal lamaran..." senyum Mirna seketika itu juga tak merekah lagi. Sepertinya gadis itu sudah tidak bisa berlama-lama dalam topeng 'pura-pura tidak tahu'.

"Jawaban Mirna apa?" tanya Akmadi kemudian.

Mirna sejujurnya tidak tega harus menolak Akmadi. Pria itu dari sebulan lalu meminang Mirna untuk menjadi pendamping hidupnya. Dan saat itu, Mirna meminta waktu untuk menjawabnya.

Dan faktanya Mirna hanya mengulur waktu agar bisa menolak Akmadi. Mirna tidak tega. Itu alasannya.

Sekarang, sepertinya sudah waktu yang tepat. Mirna tidak ingin membuat pria sebaik Akmadi menunggu lebih lama lagi.

"Maaf, Kang. Mirna...."

Akmadi mendadak lesu. Sudah tahu, kalimat apa yang selanjutnya Mirna katakan. Harusnya Akmadi tahu, kalau Mirna tidak mungkin menerima dirinya yang masih dikatakan tidak pantas untuk berdampingan dengan gadis itu.

Cuma karena gara-gara penasaran dan memanfaatkan keberuntungan yang biasa Akmadi dapatkan, pria itu berani melamar Mirna. Dan beginilah hasilnya. Akmadi harus menelan kata-kata penolakan yang jujur saja membuat hati Akmadi hancur.

"Mirna nggak bisa pikir-pikir lagi?" desak Akmadi halus meski Mirna belum melengkapi kalimatnya barusan.

Mirna membalas dengan senyuman yang dibuat setulus mungkin. Setidaknya, Mirna harus menghargai keberanian Akmadi dibandingkan pria lain yang hanya mengaguminya dari kejauhan. Atau sekadar cuma surat seperti yang dilakukan pelaku teror surat manis itu.

"Maaf, Kang. Mirna nggak bisa. Mirna masih belum ada pikiran untuk menikah."

Akmadi menghela napasnya pasrah. Terlihat putus asa tanpa ada pembelaan apa-apa lagi. Ia juga pria. Gengsi jika harus ditolak secara gamblang seperti tadi. Cuma Akmadi masih punya akal sehat. Tidak mungkin mendesak Mirna lebih jauh lagi yang jelas sudah menolak perasaannya.

Sudahlah, Akmadi lebih baik menyerah. Toh, gadis bukan hanya Mirna saja. Akmadi bisa memilih gadis mana pun, mengingat Akmadi pria yang punya segalanya. Meski sebenarnya hati kecil Akmadi masih menginginkan Mirna sebagai istrinya.

"Gapapa atuh. Akang ngerti."

"Sekali lagi, maaf, Kang. Mirna doain semoga Akang dapet jodoh yang lebih baik dari Mirna dan bisa cinta sama Akang."

Akmadi mengangguk lemah. Tidak kuat lagi berkata panjang pada Mirna.

Pria itu pun pergi dengan kekecewaan pada hatinya.

Mirna masih memandang punggung lesu Akmadi. Pria itu sangat baik. Cuma Mirna memang tidak bisa menaruh hati dengan mudah pada kemurahan hati Akmadi. Kalau Mirna terima tapi Mirna tidak cinta, itu sama saja Mirna menyakiti Akmadi.

Lebih baik seperti sekarang. Mirna mundur agar jodoh terbaik datang untuk Akmadi.

**

"Iidesu ne?" Yang merasa ditanya sontak menoleh seusai pengumuman panjang barusan yang diorasikan sang kapten kapal.

(Kau dengar?)

"Watashitachi wa, Imamura-sama ga shudoo shite imasu."

(Kita dipimpin oleh Jenderal Imamura.)

Pria itu mengerutkan dahinya. "Dokode?"

(Kemana?)

Sang lawan bicara mengedikkan bahunya. "Watashi wa shirimasen." Dan ia memberi jeda dan menjawab. "Machigatte inai baai wa, namae no Java."

(Aku tidak tahu. Kalau tidak salah namanya Jawa.)

Pria yang diajaknya bicara itu hanya sekadar menghela napasnya panjang. Tidak terlalu berantusias pada nama daerah yang tidak dikenalnya sama sekali itu. Yang penting baginya adalah ingin segera pulang ke kampung halamannya di Jepang. Menghabiskan waktu berdua bersama sang istri dan berencana membuat keturunan.

Kalau saja ia tak terbius oleh kesejahteraan yang dijanjikan, mungkin sekarang ia akan tetap setia berada di samping wanita yang dicintainya itu.

Mungkin.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro