Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15 [END]

Kihito berjalan awas melirik sekelilingnya. Semenjak perginya ia dari markas, Kihito merasakan dirinya diamati oleh seseorang. Tapi, setiap kali dirinya berbalik, tidak ada apapun di sana.

Ucapan Okumura seketika menyelinap ke dalam ingatannya.

Dalam wanita dan perang semuanya adil, setiap pria yang merasa harga dirinya direndahkan, akan melakukan segala macam cara untuk membalasnya.

Dan terbuktilah sekarang. Kihito merasakan firasat yang amat buruk. Mengenai keselamatan dirinya dan... Mirna.

Ah, kenapa wanita itu selalu terancam bahaya sejak kenal dirinya? Atau baru sekarang Kihito menyadari kalau keberadaan Mirna memang bahaya di kalangan prajurit yang haus tubuh wanita?

Serta-merta langkah Kihito terhenti dan refleks berbalik. Ia sudah merencanakannya untuk berhenti di tempat yang tepat. Karena dirinya sekarang berdiri di tempat tanpa pohon-pohon, sehingga orang yang mengikutinya itu tidak punya tempat persembunyian.

"Untuk apa kalian di sini?" tanya Kihito tegas.

Dua orang pria yang awalnya tegang, kini merubah rautnya menjadi santai. Seolah mereka memang menyembunyikan sesuatu.

"Ka-kami hanya kebetulan lewat."

"Aku rasa itu bukan jawaban yang sepantasnya."

Pria yang menjawab tadi, mendengus. "Baiklah, kami memang mengikutimu."

"Kenapa?"

Pria itu tertawa. "Kau masih tidak tahu salahmu, anggota pasukan satu?" tanyanya dengan nada menyindir.

"Katakan," ujar Kihito tidak ingin terlalu banyak berdebat tidak penting dengan pria itu.

"Mana wanita itu?"

Alis Kihito tertaut. "Wanita apa?"

"Jangan berpura-pura bodoh! Aku tahu kau menyembunyikannya!" Salah satu pria yang lain akhirnya ikut menimpali.

"Dia tidak bersamaku!"

"Aku tahu kau berbohong!"

"Aku tidak berbohong."

"Jangan egois! Siapapun wanita itu, kita sama-sama berhak memilikinya!" tukas pria yang memiliki tahi lalat kecil di bawah pipinya --pria yang berbicara pertama kali pada Kihito tadi.

"Tidak ada aturan seperti itu!"

"Kau...," tunjuk pria itu kemudian mendekat ke arah Kihito.

Namun, belum juga sampai, ia kontan berlutut. Betisnya ternyata ditembak oleh Kihito. Kawan si pria sontak berlari mendekat. Keduanya menatap geram Kihito.

"Kau akan menyesal," geram pria yang tertembak. Ia begitu terlihat menahan sakit. Sepertinya peluru Kihito menancap dalam hingga ke tulangnya. Darah mengalir merembes ke celana prajuritnya.

Kihito kemudian mengaitkan kembali senapannya pada bahu kanan.

"Jangan bermacam-macam dengan anggota pasukan satu," ancam Kihito membuat kedua pria yang terduduk di tanah itu semakin marah.

"Kita harus beritahu yang lain," kata pria yang tertembak sambil memegang lukanya. Sang kawan mengangguk dan mencoba memapah pria itu.

Sementara itu, Kihito mempercepat tempo langkahnya. Firasatnya semakin menjadi-jadi. Apalagi melihat keberadaan dua pria tadi. Pasti hal barusan merupakan gertakkan saja. Dan hal yang buruk sebenarnya akan terjadi. Cepat atau lambat. Entah esok, hari ini, atau bahkan malam ini.

Kihito tidak bisa menafsirkannya. Maka dari itu, ia harus cepat menyampaikan kebenaran pada Mirna. Sebelum waktunya habis. Sebelum ia tidak diberi kesempatan sekecil pun.

**

Mirna sontak memekik kaget. Dia yang sedari tadi tenggelam dalam lamunan, harus ditarik paksa jiwanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka kemudian ditutup dengan keras.

Mirna melihat Kihito yang terlihat begitu khawatir. Tapi, Mirna tidak ingin luluh hanya karena itu. Hatinya masih belum menerima apa yang terjadi pada dirinya.

"Apa?" tanya Mirna dingin. Kihito menghela napasnya. Menetralkan ritme napas yang sempat terengah-engah.

"Saya ingin bicara denganmu."

"Bicara saja."

Kihito mengembuskan napasnya pasrah. Kemudian ia duduk di depan Mirna. Tatapannya sendu, tapi Mirna tidak pernah sudi untuk terlena kembali.

"Saya sudah menikah," ucap Kihito lugas. Mirna kontan menatapnya tak percaya. Jika pria itu sudah menikah, kenapa ia berani me... ah, Mirna tidak pernah mau mengingat malam itu.

"Lalu, kamu--"

"Saya... saya tidak tahu. Saya hanya--"

"Cukup! Kamu sama saja dengan teman-temanmu."

Mirna membuang pandangan. Ia tidak kuat lagi menatap kedua mata Kihito. Dulu, ada rasa nyaman menelusup ke dalam hatinya ketika ia tenggelam dalam mata itu. Tapi, sekarang malah melukis luka yang cukup indah dan dalam sewaktu tatapan itu keluar bersamaan dengan kata yang menyakitkan dari mulut pria itu.

"Apa hanya itu yang ingin kamu bicarakan?" tanya Mirna mengalihkan pembicaraan.

Sekuat tenaga ia tidak menatap Kihito. Ia tidak ingin tiba-tiba menangis nanti.

"Saya dan Tarwin...," Kihito menarik napasnya, "kami berteman."

Mirna refleks berpaling pada Kihito. "Ba--"

"Saya adalah salah satu pelatih pasukan yang melatih orang-orang pribumi untuk berperang. Dan Tarwin adalah salah satunya," Kihito memberi jeda lantas melanjutkan, "setiap istirahat, dia berbeda dari yang lain. Ia selalu menyendiri dan terkadang melamun. Ketika tidur, Tarwin sibuk menulis sesuatu. Saya penasaran, dan mulai bertanya padanya."

Kihito tak lagi menatap Mirna. Ia kembali menerawang pada masa itu. Masa dirinya nyaman bersama orang lain selain Okumura. Tarwin pemuda lugu. Ia tak banyak berulah dan membicarakan hal aneh-aneh. Dan itulah yang membuat Kihito senang berteman dengan Tarwin.

"Beberapa lama kami berteman, Tarwin menceritakan semua tentangmu. Termasuk surat-surat yang dikirimkan kepadamu. Dan surat yang kau pegang, adalah surat terakhir yang ia tulis."

Mirna meraba kertas lecek yang kemarin ia lemparkan pada Kihito. Tulisan bersambung itu kembali mengingatkannya pada kenaifan Tarwin. Tawa riangnya dan bagaimana dia bersikap menjadi seorang pria pesimis. Persahabatannya dari kecil ternyata menciptakan memori tersendiri di salah satu ujung otak Mirna. Dan tak mungkin ia cabut dengan mudah.

"Sekarang dia dimana?" tanya Mirna kemudian. Rindu datang kembali. Bayangan Tarwin berdatangan seiring waktu berdetik membentuk satu ingatan sempurna di pikirannya.

Kihito mendadak risau. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Mirna setelah tahu keadaan Tarwin sebenarnya. Tapi, mau sekarang atau nanti, tidak akan ada bedanya. Pasti sama-sama akan menyakitkan bagi Mirna.

"Dia... menghilang waktu berperang di Pasifik."

"Meng... hilang?" Napas Mirna tercekat. Air matanya mulai bergumul dan pecah hingga merembes ke kedua pipinya. Ia mencengkram kertas itu di kepalannya.

Kenapa ketika dia menyadari perasaannya sendiri, pria itu malah menghilang?

"Kenapa?" tanya Mirna serak. "Kenapa dia menghilang?! Dia, dia...."

Mirna terlihat menjadi manusia yang lupa arah. Wanita itu meremas rambutnya frustrasi. Ia masih belum menerima cerita kebenaran yang Kihito sampaikan. Dan satu ingatan muncul kembali di sela kegelisahannya. Pasti Tarwin masih hidup, karena surat itu berlanjut.

"Kenapa dia masih mengirimku surat? Dia masih hidup, 'kan?"

Kihito menggeleng berat hati. "Itu saya. Tarwin berpesan untuk terus mengirimimu surat."

"Tapi, tulisan kamu...."

"Saya sengaja setiap hari mengubah tulisan saya. Para anggota pasukan lain mencurigai saya dan mulai menyelidiki keberadaanmu. Saya tidak ingin kau tertangkap," jelas Kihito membuat Mirna kembali termenung sendiri.

Tak lama, wanita itu tertawa miris. "Kamu... bohong, 'kan?" Mirna tergelak. "Kamu bohong kan, Kihito?"

Meski senyum itu tercetak, senyum itu bukan bersumber dari hati. Mirna pasti sudah tidak kuat untuk menanggung semua kebenaran ini. Pasti wanita itu terlampau terperosok ke dalam penderitaannya hingga menganggap semua ucapan Kihito hanyalah sebuah ilusi.

"Emakku? Kemana Emakku?" tanya Mirna dengan tatapan depresi.

Kihito mengembuskan napasnya pasrah. Apa jiwa Mirna akan tetap baik-baik saja mendengar fakta hidupnya kembali?

"Dia... meninggal di hari kau pingsan, Mirna."

Wajah Mirna sontak menegang. Kilatan emosi terpampang jelas di mata dan raut wajahnya.

"KAU PEMBOHONG!" bentak Mirna seraya bangkit. Kihito mengikutinya.

Pria itu mencoba mengulurkan tangannya untuk menarik Mirna agar tetap tenang. Tapi, Mirna segera menghempaskannya.

"PERGI!"

"Saya mohon, tenang, Mirna."

Mirna menggeleng dan semakin mundur. "Jangan dekati aku! Kau pembohong!"

"Kumohon, saya sudah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi."

"Tidak!" Mirna semakin kalap. "Emak dan Tarwin masih hidup! Mereka kuat! Aku tidak percaya padamu!"

Kihito menyisir rambutnya frustrasi. Wajahnya yang putih kini memerah dan diiringi oleh peluh. Ia sudah menyakiti jiwa seseorang. Tapi, apa yang harus ia pilih lagi selain menceritakan kebenaran?

"Saya--"

Brak!!

Suara pintu gudang terbanting. Beberapa pria berkisar sepuluh orang masuk dengan tatapan tajam serta senapan yang sudah siap di tangan.

Kihito refleks berbalik dan melindungi Mirna di belakang tubuhnya. "Untuk apa kalian di--"

Satu tembakan lolos mengenai lutut Kihito membuat pria itu berlutut dan meringis. Mirna menjerit ketakutan dengan wajah yang spontan memucat.

"Kau mengkhianati kami, Kihito," salah satu orang dari rombongan itu sekaligus yang tadi menembak Kihito mendekat. Seringaian khas miliknya membuat Mirna semakin bergetar. Jantungnya berdentam kencang. Firasatnya semakin meyakinkan kalau hidupnya tak mungkin bisa bertahan lama.

"A-apa yang--" Ucapan Kihito tercekat. Kepala pria itu dilemparkan ke tanah kemudian diinjak dengan cara kasar oleh pria tadi.

"Kau telah mengotori nama baik pasukan satu karena wanita itu, Kihito!"

Kihito mencoba bangkit. Tapi, tubuhnya sudah terlampau lemah. Lututnya mengeluarkan banyak darah yang sulit tertahan. Dan kepalanya berada di bawah kaki pria yang bengis. Kihito benar-benar dalam posisi mengenaskan.

"Dan kau wanita," tunjuk pria tu dengan senapannya. "Apa kata-kata terakhirmu?"

Mirna menggeleng kemudian ia terduduk karena lututnya yang terasa lemas. Ekspresi wajahnya terlihat sangat ketakutan. Bibirnya kering dan keringat dingin terus meluncur di pelipisnya.

"Jangan sakiti--" Kepala Kihito semakin diinjak keras membuat ia lagi-lagi menelan ucapannya.

"Aku tak menyuruhmu bicara, bodoh!"

Mirna menelan ludahnya sudah payah. Pria itu kembali menatapnya tajam bersama senapan yang fokus ke arahnya.

"Kau tetap tak mau bicara?" Pria itu kembali menyeringai. Mirna semakin menjauhkan dirinya dari pria tersebut.

Kihito semakin gelagapan. Ia tidak bisa berbuat apapun untuk melindungi Mirna. Kenapa niat baiknya tak pernah didukung oleh apapun?

"Jawaban bagus," ucap pria yang menginjak kepala Kihito lantas melesatkan tembakan ke arah dada kiri Mirna.

Kihito seketika menggeram. Kedua tangannya yang bebas refleks melepaskan kaki yang berada di atasnya. Ia berdiri dengan susah payah.

Tapi, terlambat.

Satu peluru berhasil melesat ke daerah dahinya.

Kihito kembali terbujur kaku di lantai. Semua orang menyeringai puas. Kini, si pengkhianat itu sudah mati. Dengan kejadian ini, sekaligus mengumumkan ultimatum. Bagi mereka yang berkhianat, maka kematianlah yang pantas bagi mereka.

Ditinggalkanlah kedua manusia itu dalam keadaan mengenaskan.

Mirna yang masih setengah sadar berusaha menghirup napas cepat. Meraup kembali sisa oksigen yang diperuntukkan untuknya selama hidup.

Ia tahu, kematian sudah di depan mata. Tapi, ia ingin sebentar saja menatap lagi dunia yang segera akan ia tinggalkan.

Pandangan Mirna semakin kabur. Napasnya kian sesak. Ia menoleh pelan pada pria yang saat ini berbaring dengan wajah yang mencium tanah.

Air mata Mirna meluruh di pelipis. Kihito, si pria yang ia sebut pembohong, ternyata sudah berjuang banyak untuknya. Bahkan pria itu merelakan kehidupan sempurnanya untuk melindungi Mirna. Meski hasilnya tetap saja. Mirna tetap tak tertolong.

Setidaknya, Mirna bisa menyadari kalau Kihito bukan pria jahat seperti pria lainnya. Kihito adalah seorang pengganti Tarwin yang selama ini menemaninya. Bahkan kedatangan Kihito, sekaligus mengenalkan kebahagiaan pada Mirna. Kebahagiaan bagaimana mencintai seseorang, meski berujung sakit hati.

Kihito juga menyadarkan Mirna, bagaimana berharganya Tarwin. Hingga perasaan terima kasih bergunung di hatinya.

Kendati keperawanannya terenggut. Kendati Kihito menggoreskan banyak luka pada Mirna, Mirna amat berterima kasih. Karena Kihito, mengajarkan banyak hal yang tidak pernah Mirna sadari.

Bukankah kedatangan seseorang selalu diakhiri dengan hikmah dan nilai yang bisa kita ambil di kemudian hari?

Namun, terlambat bagi Mirna.

Hingga di akhir napasnya Mirna bersyukur sekaligus menyesal. Kenapa di detik terakhir hidupnya, Mirna tidak membalas kebaikan pria itu? Kenapa Mirna malah selalu egois ketika Kihito berusaha membuat Mirna tetap dalam keadaan baik-baik saja?

Dalam hati Mirna mencoba berharap. Semoga di kehidupan selanjutnya, ia dipertemukan kembali dengan Kihito. Pria yang selalu mengulurkan tangannya ketika Mirna malah menolaknya.

Terima kasih.

**

End

Emak Yes_yez dd finished, mak!!

(!!) Jangan baca kalo gaje:

Ini, namanya ending sangkuriang. Seperti sebuah kutukan, kalo udah ending, pasti ide malah mampet. Jadi, hasilnya begindang cyinn~

So, maafin ceritakoe yang amat sangat parah. But, awesome ini /eaa. (Songong dikit gapapa kali yee.)

Typo, kebosanan, dsb, adalah kesalahan penulis. Tapi, apapun yang ada kaitannya dengan sejarah, tolong, aku bukan nenek moyang yang masih hidup sampe zaman eta terangkanlah dan tercyduk. Jadi, maafkan kalo ada yang salah dari alur sejarahnya. Karena aku cuma ABG beken followernya Paman gugel.

Bye~

Sankyuu yang udah baca😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro