14
Suara isakkan itu membangunkan seorang pria yang tadinya masih terlelap. Ia beberapa kali mengerjapkan matanya lantas meregangkan tubuhnya yang terasa kaku.
Kemudian tatapannya serta-merta mengarah pada perempuan yang saat ini tidur memunggunginya. Ia menajamkan matanya. Lantas rasa dingin menjalar di punggungnya.
Kesadarannya kembali. Ingatannya berdatangan seiring sarafnya merespons suhu udara yang dingin.
Bajingan.
Itu gelar yang cocok untuknya mengingat ia telah mengambil harta berharga seorang gadis yang baru ia kenal.
Gadis yang berganti gelarnya menjadi seorang wanita itu terlihat memprihatinkan. Tubuh putihnya hanya berbalut baju yang telah robek. Pakaian dalamnya sudah bercecer dimana-mana. Benar-benar pria brengsek. Pria itu sudah terkuasai oleh nafsu binatangnya. Akal sehatnya mati. Bahkan prinsip kesetiaannya harus ia langgar karena hasrat yang sudah lama tak ia lampiaskan.
"Kau...."
Tubuh wanita itu seketika menegang. Rasa bersalah berhasil menguasai Kihito. Kenapa dia tidak bisa konsisten untuk mempertahankan prinsip hidupnya?
"Maafkan saya," ucap Kihito merasa bersalah. Wanita itu bergeming, hanya disahut oleh suara senggukannya.
Kihito duduk. Ia berbalik memunggungi Mirna. Dia merasa tidak pantas untuk berada di samping wanita itu. Mengingat perbuatannya yang tidak mugkin bisa diampuni.
"Saya... menyesal," ujar Kihito serak. Ia menunduk bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipinya.
"Kenapa?" Mirna akhirnya bersuara dengan suara yang terdengar begitu menderita. "Kenapa kamu lakukan itu?"
Mirna menahan tangisnya. Rasa bersalah itu semakin mendesak nurani pria itu. Ia sudah menjadi seorang pendosa sama seperti kawan-kawannya. Jadi, umpatan yang biasa ia ucapkan pada mereka, apa gunanya? Jika ia sendiri melakukan hal tersebut.
"Saya tidak tahu."
Mirna tidak bisa menahan rasa sakitnya. Kemaluannya yang terasa perih, kalah sakitnya dengan luka yang Kihito ukir.
Kihito tidak tahu bagaimana caranya ia bertanggungjawab. Ia sudah punya janji suci pada wanita di sebrang negeri Indonesia. Dan Kihito tidak mungkin mengkhianatinya dengan mudah.
"Maaf," ucap Kihito lagi. Tapi, tak ada sahutan dari wanita itu. Hanya isakkan serta rasa bersalah yang mengiringi keduanya.
**
Sudah dua hari Mirna tidak bersuara. Ia mendadak seperti mayat hidup yang hanya bisa bernapas dan mengedipkan mata. Tapi, setiap malam wanita itu tak ayal menangis.
Kihito menyayangkan hal itu. Sering kali ia mengajak Mirna berbicara, tapi sama sekali tidak ada reaksi apapun. Beribu maaf Kihito ucapkan, tapi sama sekali tidak ada jawaban apapun.
Sebagai penebusan dosa, Kihito sering melayani Mirna dalam memenuhi kebutuhannya. Makan, minum, bahkan untuk buang air pun, Kihito setia di samping Mirna. Sampai-sampai tugasnya sebagai anggota pasukan satu, terbengkalai demi kesejahteraan kondisi Mirna. Kendati, semua perilaku manusiawinya itu tidak bisa memperbaiki apapun yang telah terjadi.
"Saya tidak harus melakukan apa lagi agar kau mau memaafkan saya, Mirna," ujar Kihito setelah ia memberi air mineral pada wanita itu. "Saya benar-benar bingung."
"Kamu...." Kihito sedikit terperangah. Wanita itu akhirnya mengeluarkan suaranya meski terdengar serak dan dipaksakan.
"Mencintaiku? Kenapa lakukan ini padaku?" Mirna menatap kosong ke depan. Wajahnya sarat akan keputusasaan. Tidak ada cahaya lagi di raut wajahnya.
Menyedihkan.
Di samping itu, Kihito terdiam. Ia tak kuasa menyakiti Mirna dengan mengatakan alasan sebenarnya. Tapi, ia juga tidak mau berkata bohong jika berujung harus meninggalkan wanita itu.
Intinya, Kihito sangsi pada jawaban yang hendak ia ucapkan.
"Kenapa kamu diam?" Mirna menoleh dengan tatapan datarnya. Kihito tak sanggup melihat kedua mata sayu itu. Ia hanya menunduk seraya mengusap botol minumnya.
Mirna tertawa miris. "Kamu memang jahat seperti mereka."
Kihito tersentak. Hatinya terkoyak. Harga dirinya benar-benar dijatuhkan. Tapi, ia tak berhak marah. Justru ia pantas disebut begitu oleh Mirna.
"Bagaimana caranya agar kau memaafkan saya?" Kihito memberanikan diri menatap Mirna yang sudah melihat lurus kembali ke depan.
"Aku ingin bertanya padamu," kata Mirna mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin mengatakan secara gamblang kalau dirinya tak mungkin bisa memaafkan pria itu.
"Apa hubunganmu dengan Tarwin?" Mirna menoleh dan Kihito sontak menegang.
"T-Tarwin?" tanya Kihito dengan logat Nipponnya yang khas. "Saya--"
Mirna melemparkan kertas ke depan Kihito. Dan pria itu mengambil dan membacanya.
"Kau tahu--" Kihito memandang Mirna dan surat itu bergantian. Wajahnya sarat akan keterkejutan.
Mirna mengangkat salah satu ujung bibirnya. "Dunia memang sempit."
Wanita itu kemudian memberi jeda beberapa saat. "Ada yang ingin kau jelaskan?"
Kihito bergeming. Kenapa dia menyimpan seluruh cerita menyedihkan kehidupan wanita itu? Apa salahnya di kehidupan sebelumnya hingga ia tak lepas dari keberadaan wanita itu? Kenapa hati nuraninya tak pernah kuasa mengatakan hal sejujurnya?
"Kenapa kamu diam lagi?"
Kihito bangkit. Ia pergi sambil membawa botol dan piring bekas Mirna. Dia tidak mungkin lama-lama bertahan di dekat wanita itu.
"Kamu mau melarikan diri?" tanya Mirna. "Pengecut."
Kihito terdiam sejenak dan melanjutkan kembali langkahnya. Belum saatnya. Kihito tidak mungkin mengatakan hal buruk ketika Mirna dalam keadaan mengenaskan seperti sekarang. Bisa-bisa wanita itu berharap tak pernah lahir ke dunia.
**
"Apa kau puas?"
Okumura tergelak. Seusai Kihito menceritakan tentang dirinya yang berhasil menyetubuhi sang gadis desa, Okumura seperti tidak percaya. Dan setelah Kihito meyakinkan, pria itu malah menertawakannya.
Apa dia tidak punya hati? Kihito sudah mengotori kesetiaannya. Kenapa orang-orang satu pekerjaan dengannya malah berpikir Kihito terlalu naif? Apa manusia semakin hari, hati nuraninya kian menipis?
"Aku tidak percaya akhirnya kau mau melakukannya," kata Okumura seraya menghapus air mata di ujung matanya. "Kau ternyata ahli dalam hal itu."
Kihito mendengus. "Kalau bukan janji, aku tidak pernah sudi melalukannya," dalihnya membuang pandangan. Karena sebenarnya Kihito melakukan hal keji seperti itu sebab dirinya yang berhasil dikuasai oleh nafsu duniawi. Bukan karena janji tempo hari. Perihal janji, Kihito justru mengusahakan untuk melepaskan Mirna. Tapi, ternyata bukan Okumura yang mendorongnya. Melainkan akal sehatnya yang saat itu mendadak tak berfungsi.
"Apa kau menyesal?" tanya Okumura serius.
"Menurutmu?" sahut Kihito ketus.
"Harusnya kau bangga telah menjadi yang pertama dan mengalahkan para pria lain yang saat ini berusaha mendapatkannya."
"Kalian gila."
"Tapi, kali ini aku serius," ujar Okumura menatap tajam kawannya itu. "Mereka sepertinya tidak menerima jika kau berhasil mendapatkan gadis itu. Jadi, berhati-hatilah."
Alis Kihito tertaut. "Berhati-hati?"
"Ya, kau tau, 'kan? Antara wanita dan perang semuanya dianggap adil?"
"Lalu?"
"Gadis itu seperti sebuah piala bagi pria-pria itu termasuk aku. Dan pria paling menyukai kompetisi." Kihito semakin bingung pada penjelasan Okumura.
Dan Okumura cepat-cepat menambahkan, "dengan kau merebut gadis itu, berarti kau sudah mengambil piala itu dan menginjak-injak harga diri kami sebagai pria. Dan kau tau apa yang dilakukan seorang pria ketika merasa harga dirinya direndahkan?"
Kihito refleks menggeleng.
"Mereka akan melakukan segala cara untuk membalasmu."
"Aku?" tunjuk Kihito pada dirinya sendiri.
Okumura mengangguk kemudian menghela napas. "Ya, jadi aku harap kau semakin berhati-hati. Tapi, tenang. Aku tidak mungkin melakukan hal itu pada temanku sendiri."
Kihito tercenung. Bencana apa lagi yang akan terjadi dari tindakan cerobohnya?
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro