Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Mirna menyibakkan gorden kamarnya dan melihat Emak sedang membawa baskom hendak ke luar. Harusnya tugas mencari kangkung itu Mirna. Mungkin karena beberapa hari kemarin Mirna libur dulu, jadinya Emak menyangka dirinya masih membutuhkan istirahat.

"Sini, Mak. Biar Mirna yang cari kangkung," ujarnya seraya mengambil alih baskom tersebut.

"Biar Emak saja, Neng."

Emak mencoba menggapai baskom itu kembali. Tapi, Mirna langsung menyembunyikannya di belakang punggung.

"Emak istirahat aja di rumah. Kan dari kemarin bulak-balik terus buat kerja dan ngambil kangkung. Mirna nggak mau jadi anak durhaka, Mak."

"Gapapa, Neng. Emak lebih khawatir sama kamu. Desa kita sudah tidak aman lagi."

Mirna terdiam sejenak. Ia teringat lagi pada beberapa kabar kalau anak gadis di desa menghilang dan ada juga yang tewas. Tewasnya pun sangat menjijikkan. Rata-rata mereka direnggut nyawanya setelah disetubuhi. Mirna ngeri sendiri. Ia jadi jarang untuk ke luar rumah kecuali ke teras. Tapi, dia tidak ingin terus memberatkan Emak.

Toh, ini masih siang. Mungkin masih banyak warga yang berhilir mudik di desa.

"Neng, biar Emak saja ya?"

Mirna kontan menoleh. "Nggak usah. Mirna--"

"Atau Emak antar saja yuk?" tawar Emak penuh kekhawatiran.

"Sama aja kalo kayak gitu mah," gurau Mirna. "Udah, Emak jangan khawatir ya? Mirna janji pulang selamat."

Gadis itu terlihat meyakinkan. Emak jadi tidak tega jikalau harus menolaknya. Mau bagaimana lagi. Kendati perasaannya tidak merasa enak, Emak harus bisa percaya pada Mirna.

"Yaudah kalo itu mau kamu."

Mirna mengulas senyumnya. Ia mencium tangan Emak dan mengucapkan salam lalu ke luar rumah.

Bersama jantung yang terus berdentam dan kewaspadaan tingkat maksimal, Mirna pergi. Semoga saja tidak ada hal yang tidak diinginkan. Mirna tidak ingin mati sia-sia. Ia belum membahagiakan Emak. Dia juga belum menikah dengan orang yang dicintainya. Serta ia pun belum mengetahui siapa pengirim surat aneh berisi bentuk tulisan yang berbeda pada setiap harinya. Jadi, Mirna tidak ingin mati dan menjadi arwah penasaran.

Cukup. Mirna tidak ngin memikirkan perihal maut dulu.

**

"Aku akan melakukan apapun sampai kau bertemu gadis yang akan kau setubuhi, Kihito."

Kihito terkekeh mendengar sumpah kawannya itu yang menggunakan bahasa Indonesia dengan terbata-bata. Padahal kalau belum fasih jangan digunakan. Merusak pendengaran saja.

"Dalam mimpimu."

"Kumohon," ujar Okumura. "Aku bersumpah demi Dewa."

Kihito terkikik geli. "Baiklah. Jika itu maumu."

Okumura mendesah lega. Meski sebenarnya Kihito mengatakan itu hanya sebagai formalitas saja agar Okumura berhenti mengatakan hal aneh-aneh. Tidak mungkin Kihito mengotori tubuhnya dan menyelakai gadis-gadis tak berdosa itu. Sebab masih ada hati yang harus ia jaga. Intinya, Kihito tidak ingin bermain api di belakang istri.

Pemandangan kebun serta kolam yang berisi tanaman kangkung menjadi pos pengawasan kedua pria tersebut. Kihito benar-benar menikmati suasana sejuk penuh warna hijau dari daun-daun tanaman palawija di depannya. Jepang minim sekali lahan hijau. Mengingat daerahnya bukan tanah subur. Tapi, Indonesia ternyata punya harta yang melimpah ruah. Ini baru sedikit. Belum lagi ditambah lahan lain yang berhektar-hektar luasnya.

Kalau saja Kihito bisa membawa sang istri berkelana, pasti Indonesia akan menjadi tempat terbaik untuk melakukan perjalanan bulan madu.

"Ssttt... liat di sana."

Kihito berpaling pada arah yang ditunjuk Okumura. Ia ikutan bersembunyi di balik semak-semak. Entah apa alasannya. Kihito hanya refleks mengikuti kawannya itu.

"Itu... gadis yang yang sering dibicarakan di markas."

Kihito memincingkan matanya. Ia tidak bisa melihat rupa gadis yang beberapa hari ke belakang ini menjadi bahasan prajurit lain lantaran posisinya yang memunggungi Kihito dan Okumura.

"Dia itu wanita tercantik di sini. Kau pasti bisa membayangkan bagaimana dalamnya, bukan?"

Kihito tak mengindahkan ucapan tersirat mesum Okumura itu. Pria itu sibuk mengingat lekuk tubuh gadis tersebut yang sepertinya pernah ia lihat.

"Aku akan mencobanya malam--"

"Jangan," tahan Kihito ketika wajah gadis itu terlihat karena ia berjalan menuju tepi untuk menyimpan hasil cabutan kangkungnya.

"Kenapa?"

"Kau tadi berjanji akan melakukan apapun jika aku menyetubuhi wanita, 'kan?"

Okumura mengganguk. Dia belum memahami urutan kalimat Kihito.

"Aku ingin dia."

Okumura terperangah. "K-kau...."

"Jadi, jangan sentuh dia."

Kihito bangkit ketika melihat beberapa pria dari kawan prajurit mendekati gadis itu. Ia tidak serius perihal menyetubuhi dan lain-lain. Kihito hanya ingin menyelamatkan gadis itu dari niat jahat Okumura yang memiliki tingkat agresif yang tinggi.

"Pergi kalian," ucap Kihito membuat dua pria yang hendak menyentuh gadis tersebut berbalik.

"Kau siapa?" tanya salah satunya.

"Aku Kihito. Prajurit pasukan satu."

Kedua pria itu langsung terdiam. Prajurit dari pasukan satu dikenal sebagai prajurit yang ulet dan tegas. Pasukan di bawah tingkatnya sangat menghormati pasukan tersebut. Karena pasukan satu mendapat penghargaan langsung dari jenderal.

Jadi, mau tidak mau kedua pria yang sepertinya di bawah tingkat Kihito itu menurut dan pergi.

Gadis yang tadi ketakutan, kini menatap Kihito. "K-kau bukannya...."

"Ya, kita bertemu kembali."

Kihito ingat pertemuannya dengan gadis itu. Tepat di jembatan sewaktu ia mencari Okumura. Gadis itu terlihat masih polos. Dan Kihito tidak tega jika gadis itu menjadi korban kejahatan teman-temannya.

"K-kau untuk apa ke sini? Apa kau dengan mereka--"

"Mereka itu teman-teman saya. Tapi tenanglah, saya berbeda."

Gadis itu terlihat lebih rileks. Ia kira dirinya akan pulang dengan tertinggal raga saja. Ternyata ia masih bisa bernapas secara leluasa. Entah kenapa pria di depannya itu sangat meyakinkan. Rasa takut itu menguap tergantikan oleh rasa rindu yang terpuaskan.

"Kau sudah selesai?" tanya Pria itu membuat gadis tersebut mengangguk.

"Mari saya antar."

Gadis itu refleks menggeleng. "Nggak usah. Rumahku dekat."

"Kamu mau teman-teman saya mengganggumu seperti tadi?"

Mirna menggeleng. Begitu mengerikan ketika pria-pria tadi hendak menyentuhnya dan membawanya pergi. Dia tidak mau berakhir mengenaskan seperti mayat gadis sebelum-sebelumnya.

Tapi, ia juga takut kalau pria yang menawari kebaikannya itu melakukan hal-hal kejam. Meski Mirna yakin kalau pria itu baik. Bukankah firasat juga terkadang salah?

"Tenang. Saya berjanji tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh."

Mirna tampak menimbang. Antara percaya atau tidak. Pria itu hanya menunjukkan wajah datar tanpa ada ramah-tamah di sana.

"Saya tidak punya waktu banyak."

Akhirnya Mirna mengganguk. Lantas berjalan untuk pulang.

Kihito mengekorinya dari belakang. Sebenarnya ia masih risi jika berdekatan dengan wanita lain selain istrinya. Tapi, ia tidak tega melihat gadis itu berakhir tewas seperti gadis-gadis korban kawan-kawannya.

Apalagi tidak ada lagi raut bahagia di wajah manisnya itu. Yang ada ialah ekspresi muka takut dan cemas.

"Terima kasih," ucap Mirna setelah sampai di depan rumahnya.

Pria itu mengangguk dan hendak berbalik. Sedetik itu juga Mirna menginterupsi.

"Namamu Kihito, 'kan?"

Merasa terpanggil, ia menatap Mirna. "Ya, kenapa?"

"Tidak. Aku hanya takut salah memanggil namamu."

Kihito memanggut. Ia ingin segera pergi lantaran malu kalau dia lupa pada nama gadis itu.

"Kamu bisa memanggilku Mirna."

"Baiklah," jawabnya setengah malu karena gadis itu mengetahui isi pikirannya. "Kalau begitu saya pergi dulu."

Mirna melambaikan tangannya seraya memandang punggung tegap itu pergi.

Senyum yang selama ini menghilang, sekarang tercuat kembali. Rasa bahagia terus mendesak dadanya menggantikan rasa takut yang selama ini membuncah di paru-parunya.

Mirna pastikan, ia harus bertemu pria itu kembali.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro