7. Setengah Berlari
Kelurahan Sungai Rawe kadang kala memiliki aura lingkungan yang ramah. Hampir semua warganya menghabiskan aktifitas sore dengan duduk-duduk di teras depan sambil berbincang-bincang dengan anggota keluarga atau tetangga yang berkunjung. Sebagian warganya memelihara burung, jadi suara kicauan burung yang bersaut-sautan memenuhi udara.
Setelah menutup warung, Zahro mengajak Athira pergi ke rumah Lina. Athira kini sudah menginjak usia 9 bulan. Biarpun bisik-bisik tetangga tidak ada habisnya mengenai ke mana perginya ayah Athira. Zahro dan keluarganya lebih tepatnya bersikap acuh tak acuh. Bagi Zahro yang terpenting untuk saat ini dia bisa mengurus dan membiayai anaknya yang kini sudah mulai bisa merangkak.
"Assalamualaikum, Mbak Lina." Zahro berdiri di ambang pintu sambil menggendong Athira yang merengek meminta turun.
Pintu depan rumah Lina terbuka lebar. Suara sahutan salam Lina terdengar sampai ke depan. Saat itu Lina baru selesai masak untuk makan malam. Dia pun menyambut Zahro dan Athira dengan bahagia.
Rasanya sudah lama Zahro tidak pergi ke rumah Lina. Sejak Lina bekerja di bank swasta mereka tidak pernah bersua. Begitu Zahro memasuki rumah Lina, dia mencium aroma pewangi lantai merilekskan badannya. Athira langsung meminta turun dari gendongan, lalu merangkak menemui Lina yang menyambutnya dengan antusias.
"Cantiknya, baru mandi, ya?" kata Lina sambil berusaha menggendong Athira. "Baru juga selesai masak, dapat kabar dari Mas Joko kalau pulang telat karena lagi ada proyek."
Zahro bergumam sambil berjalan menuju kursi ruang tamu. "Masak apa, Lin?" Dia langsung duduk dan mengistirahatkan punggung setelah aktifitasnya hari yang melelahkan. Zahro juga memahami tubuhnya yang gemuk sehingga jika berjalan cukup jauh membuat napasnya terengah-engah.
"Sayur bayam sama bali ayam." Saat itu Lina menawarkan patung bebek yang terbuat dari kayu untuk Athira bermain. Athira meminta untuk turun dari gendongan lalu dia mengambil patung bebek dari tangan Lina.
Lina membiarkan Athira bermain di lantai sedangkan dia menuju kursi di depan Zahro.
Saat Lina baru saja duduk, Zahro berkata, "Yang kemarin hari Minggu aku lihat rumah kamu ramai, itu mereka teman-teman kamu yang di Jombang?"
"Iya teman kerjaku dulu waktu kerja di Jombang."
"Kerja di bank juga?"
"Aku dulu kerja di koperasi simpan pinjam gitu, kantornya kecil jadi kenal semua karyawannya. Semuanya datang kemarin," kata Lina. Saat itu dia menoleh ke Athira yang berusaha memasukkan patung bebek seukuran kepalan tangannya ke mulut. Dia langsung sigap bergerak menjauhkan. Zahro hanya memperhatikan gerakan Lina.
"Iya, aku sampai kualahan tiba-tiba dapet pesanan 23 bungkus."
"Iya, aku gak tahu kalau yang datang sampai 23 orang. Dan mereka juga dadakan kasih kabar kalau mau mampir."
"Dulu itu cita-cita aku mau jadi guru. Tapi, karena aku menikah muda, aku gak sempat memikirkan kuliah. Maunya pengen nikah gitu aja." Tangan Zahro saat bercerita iku mengibas-ngibas. "Tapi ya sudah lah, merawat Athira dengan uang hasil jualan di warung aku rasa cukup."
Lina mengangguk. "Kalau ada apa-apa bisa bilang aku, Mbak, mungkin aku bisa bantu sedikit."
"Iya, gampang."
"Mas Prasto masih gak ada kabar yah? Atau ke rumah orang tuanya begitu."
"Dia yatim piatu. Waktu kami nikah dulu yang jadi wali itu pakdenya. Itu pun tinggal di Sulawesi sana." Sebenarnya Zahro punya sedikit niat untuk mencari orang tersebut. Namun, acap kali Zahro sadar untuk apa menuntut hak kepada orang yang jelas tidak ingin bertanggung jawab. Perasaan bencinya sudah terlalu kuat sampai dia tidak peduli dengan siapa itu Prasto, pria yang menikahinya dulu.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu depan. Yani berdiri di ambang pintu dengan ekspresi wajah panik. "Zahro ada tamu," katanya.
"Siapa, Bu?" Zahro masih duduk di kursi tapi kepalanya menoleh ke belakang.
"Gak tahu," jawab Yani.
Zahro langsung bergerak mengajak Athira pergi, namun gadis kecil itu menolak dan malah meronta ketika di gendong sambil menangis.
"Athira di sini saja tidak apa," kata Lina. "Nanti aku ke sana."
Begitu Athira kembali didudukkan ke lantai, tangisnya berhenti. Zahro kemudian pergi dari rumah Lina bersama Yani. Athira tampak tidak peduli dengan kepergian ibunya. Dia asik bermain dengan patung bebeknya, tidak teralihkan dengan apapun. Bahkan Lina duduk di depannya hanya bisa memperhatikan.
Zahro tiba di rumahnya langsung menjumpai situasi yang tidak enak. Wati terlihat menahan tangis sedangkan Aryo menahan amarah. Di kursi lain ada seorang ibu berpakaian sederhana dan di sampingnya ada anak perempuan yang kira-kira berusia lima tahun.
"Assalamu'alaikum," salam Zahro dengan ekspresi bingung.
"Zahro," panggil Wati dengan suara serak yang terdengar janggal. "Athira mana?"
"Di rumah Lina. Tadi dia gak mau diajak pulang." Zahro berjalan menuju kursi panjang di samping Wati dan dua tamu yang dia tidak tahu siapa mereka.
"Ini Bu Samsuri dan Sasti," ungkap Wati memperkenalkan dua tamu tersebut. "Mereka datang ke sini mau...." Dia meminta bantuan ke Aryo dengan tatapan kosong.
"Lebih baik Bu Samsuri yang jelaskan sendiri."
Lalu Samsuri berdeham hendak memulai pembicaraan. "Saya asisten rumah tangga keluarga Haryadi. Tadi saya datang ke rumah yang di sebelah selatan sana, terus ada warga sana yang ngarahinnya kalau Bu Zahro tinggal di rumah Pak Aryo."
Zahro memandang ibunya malah semakin bingung karena sesekali Wati terdengar sesenggukan.
"Beberapa minggu yang lalu anak pak Haryadi meninggal dunia. Sudah jatuh sakit sejak 9 bulan yang lalu. Namanya Sekar dan Sasti ini anaknya degan Pak Prasto."
Zahro menelan ludah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Samsuri. "Prasto?" Dia menoleh ke Wati sekali lagi. Kemudian ibunya itu memegang tangan Zahro dengan memberikan anggukan penuh yakin jika Prasto orang yang sama.
"Bu Sekar dan Prasto sudah menikah berapa tahun?" tanya Zahro. Dia sangat menahan emosinya.
"Sudah enam tahun."
Zahro menggeleng. Dia menolak fakta itu. Enam tahun itu berarti Zahro masih duduk di SMA. Lagi-lagi Zahro menggeleng. Zahro masih ingat ketika mendaftar ke KUA dan buku nikah masih disimpannya. Tidak mungkin sebelum itu Prasto sudah menikah.
"Kata Bapak, kalau Bu Zahro tidak percaya saya punya foto buktinya. Pernikahan pak Prasti dengan bu Sekar," tambah Samsuri.
Zahro menggeleng. "Tidak perlu." Nada bicaranya masih terkontrol. "Terus Pak Haryadi meminta Ibu ke sini hanya memberi kabar duka kematian Bu Sekar? Saya gak tahu kalau sebelum saya Mas Prasto sudah menikah, dan sudah sembilan bulan Mas Prasto gak pulang ke rumah saya."
"Iya, Bu, Bu Sekar jatuh sakit juga setelah satu bulan Pak Prasto tidak ada kabar. Kami kira Pak Prasto masih tinggal di rumah Bu Zahro." Samsuri ternyata membawa map biru sejak tadi di selipkan antara dia dan Sasti.
Saat Samsuri mengeluarkan map itu, tatapan Zahro tidak terarah ke sana melainkan ke pada anak perempuan yang sejak tadi duduk diam.
"Saya sudah memberi tahu pak Aryo dan bu Wati soal Sasti," tambah Samsuri sambil mengusap rambut anak perempuan di sampingnya. "Keluarga Haryadi tidak bisa merawat Sasti lagi jadi mau di serahkan ke Bu Zahro karena Bu Zahro istri sahnya."
Zahro menggeleng. Dia menatap wajah Ayahnya meminta pertolongan dengan apa yang terjadi. Tangan Wati sedak tadi tidak absen menggenggam tangan Zahro.
"Boleh kami bertemu Pak Haryadi?" kata Aryo. "Hal seperti ini tidak bisa diputuskan secara sepihak. Anak saya juga korban dari Prasto. Dia juga punya anak yang seharusnya jadi tanggung jawabnya."
"Seperti yang saya bilang tadi, Pak," kata Samsuri dengan tenang mengimbangi bentakan dari Aryo. "Kami mengira Pak Prasto masih tinggal di sini."
Zahro bingung mengambil keputusan. Melihat wajah Sasti membuatnya merasa iba. Dia menduga jika Sasti sebelum datang menemui Zahro sudah diberi tahu jika dia akan pergi ke orang tua baru.
"Baiklah," kata Zahro. "Saya akan merawat Sasti."
Anak perempuan itu memberikan tatapan datar kepada Zahro, sedangkan Zahro langsung mengulas senyum. Tangan kanan Zahro yang bebas dari cengkraman Wati mengusap punggung Sasti.
"Saya mohon maaf bu," kata Samsuri dengan tangis yang datang tiba-tiba melihat Zahro dengan tangan terbuka menerima Sasti. "Saya hanya melaksanakan apa yang majikan saya inginkan. Saya tahu ini sulit buat Bu Zahro dan keluarga Ibu... Bapak."
Sasti dengan wajah lugunya memandang Samsuri dan bergantian memandang Zahro.
Samsuri pun berkata kepada Sasti, "Kamu jangan nakal yah di sini."
Sasti mengangguk lalu Zahro merangkul anak perempuan itu dengan tangis yang membanjir. Zahro tahu kehadiran Sasti tidak adil untuknya namun keadaan yang membuatnya harus melakukannya. Tidak ada pilihan lain. Dia membayangkan jika Athira berada di posisi Sasti akan jauh lebih buruk.
"Kalau begitu, saya mau pamit pulang dulu. Sudah sore." Samsuri kemudian berdiri di susul dengan yang lain.
Mereka semua melepas Samsuri di halaman depan yang berjalan menuju terotora. Aryo yang lebih duku masuk di susul dengan Wati, sedangkan Zahro berjongkok di depan Sasti.
Zahro tidak mengatakan apa-apa selain mengulas senyum ramah.
"Oma bilang Bu Zahro orang baik," kata Sasti dalam suara lucu yang menggemaskan.
"Panggil Ibu saja." Zahro mengusap lengan Sasti kemudian beralih ke pipi. "Kamu punya adik?"
Sasti mengangguk. "Budhe Fifi punya adik baru."
Zahro menduga jika yang dimaksud Sasti adalah kakaknya Sekar. Namun, Zahro tidak mempermasalahkan itu. "Ibu punya anak namanya Athira. Sekarang Athira adiknya Sasti juga."
Sasti mengangguk.
"Adik Athira sekarang di rumah teman Ibu. Mau ikut jemput adik?" kata Zahro sambil menganggukkan kepala.
"Mau," jawab Sasti dengan anggukan kepala yang antusias.
Mereka pun berjalan menuju rumah Lina. Sesampainya di sana, Athira sedang makan biskuit sambil menonton televisi di ruang tengah, sedangkan Lina sedang menata toples-toples biskuit di meja makan.
"Sasti, ini adik Athira." Sasti langsung duduk di samping Athira. Sedangkam Zahro langsung berdiri menghampiri Lina. Dia langsung memeluk Lina dengan erat dan tangisnya langsung pecah.
"Ada apa?" Lina menybut pelukan itu dan mengusap-usap punggung Zahro yang hangat. "Hei, ada apa?" Tatapan Lina terarah pada Sasti. Anak perempuan itu berusaha mengajak bermain Athira.
"Oke... Oke.... Lanjutkan gak apa," kata Lina berusaha menenangkan. "Pelan-pelan... Istighfar... Ada apa?"
Zahro lalu melepas pelukannya. Dia mengusap bekas air matanya. Sedangkan Lina masih berupaya menenangkan sambil menyuruh Zahro duduk.
"Cerita sama aku ada apa?" kata Lina terus mengusap tangan Zahro. "Siapa tamu tadi?"
Zahro menarik napas lalu untuk terakhir kalinya dia mengusap air mata yang masih menggenang di kelopak mata, sambil menghembuskan napas dia mengucap, "Astaghfirullahaldhim... Huuuuft!"
"Ada apa?" tanya Lina sekali lagi. Tatapan Zahro teralih ke Sasti alih-alih ke Athira yang mulai bisa diajak bermain dengan Sasti.
Zahro bernapas berat hingga akhirnya dia menceritakan semuanya kepada Lina. "Apa aku salah menerima Sasti dan menganggapnya sebagai anakku sendiri?"
Lina tidak menjawab melainkan dia memberikan tatapan yang intens untuk memberikan semangat kepada Zahro, sahabatnya itu. "Aku yakin kamu bisa menjalani ini semua."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro