5. Berangan dalam Rencana
Anang sangat ingin keluar dari rumah melepas penat. Sepekan ini suasana di rumahnya tidak membaik sejak adanya komputer baru. Dia juga ingin mengajak kekasihnya keluar ke suatu tempat atau mungkin hanya sekadar jalan-jalan di alun-alun Nganjuk, tetapi shift kerja tidak menentu dan tidak bisa disesuaikan dengan jadwal kuliah kekasihnya, membuat rencana tersebut hanyalah angan-angan. Anang menunggu sampai pukul dua siang untuk menelepon Ariqa karena kekasihnya sedang mengikuti kelas di kampus.
Dari semua hal yang tidak mengenakan itu akhirnya terbalas sudah. Pukul tiga sore Ariqa memberi kabar melalui pesan singkat. Mereka akhirnya bisa membuat janji untuk pergi setelah salat isya. Meskipun demikian, Anang harus berada di rumah lebih lama lagi dan itu rasanya cukup membosankan. Jadi, pergilah dia ke warung kopi di depan rumah Pak RT.
Di sana, Anang bertemu dengan teman sewaktu SD dan juga tetangganya yang sama-sama ingin menyeduh kopi sore di warung Mbak Zahro, biarpun yang meladeni adalah Wati. Langit kali itu berwarna beku keabuan, seperti logam pada pedang yang dingin dan tajam. Suasana yang tidak sepadan dengan apa yang lebih baik diinginkan. Di komplek perumahan tempat dia tinggal, Anang bukan pria yang mudah bergaul. Teman-temannya bukan dari lingkungan sekitar rumahnya melainkan dekat dengan tempat kerja. Jadi dia hanya menyapa seperlunya, bertanya seadanya, dan tersenyum seikhlasnya. Singkatnya hanya ketika kopi habis Anang segera pergi dari sana. Hanya butuh waktu 15 menit dia duduk sambil menikmati hari.
Sore menjelang malam, saat azan magrib berkumandang, hujan mulai mengguyur kota Nganjuk. Anang sudah memastikan jika kencannya dengan Ariqa tidak akan terhalangi oleh hujan di hari Kamis. Selepas salat isya bergegaslah dia mengenakan jaket hitam lalu pergi ke depan gang.
Mobil hijau zamrud yang dibeli Anang empat bulan yang lalu sudah terparkir di pinggir jalan. Ariqa yang berada di dalam sana cepat menyadari jika kekasihnya terlihat keluar dari gang menerjang gerimis.
"Aku itu pengen tau rasanya dijemput pacar," kata Ariqa kepada Anang saat dia keluar dari mobil hendak berpindah ke kursi penumpang.
Anang langsung menanggapi, "Iya, bisa, tapi kamu harus tunggu aku beli rumah di pinggir jalan yang ada garasinya."
Ariqa tertawa. "Beli mobil saja aku nunggu 3 tahun kamu S2 di luar negeri." Keduanya masuk ke dalam mobil. Sebelum memasang sabuk pengaman Anang mencium pipi Ariqa. Selayaknya pasangan muda yang sedang kasmaran. Ariqa tidak pernah keberatan karena sudah sangat percaya kepada kekasihnya tidak akan bertindak lebih dari yang diinginkan.
Pukul tujuh malam itu, Anang dan Ariqa memutuskan pergi ke kedai makan di daerah dekat RSUD Nganjuk. Mereka sering menghabiskan malam di sana jika keduanya sama-sama bisa menyempatkan waktu di tengah rutinitas harian.
Jarak umur mereka empat tahun, Anang lebih tua. Mereka menahan untuk tidak menikah sampai Ariqa lulus. Pesan tersebut atas keinginan Ayah Ariqa. Selama di perjalanan menuju ke kedai tersebut mereka membicarakan apapun yang belum sempat dibicarakan di telepon beberapa hari kemarin.
"Di rumahku heboh ada komputer baru," kata Anang ambil terus berkendara. "Aku gak paham sih maksud Ayah beli komputer."
"Mungkin buat Adik kamu," kata Ariqa. "Kemarin bukannya kamu bilang... eh Bagus pengen ganti HP... itu gimana?"
"Gak tahu, dia masih bingung beli yang mana," jawan Anang saat mobil mulai berjalan lambat untuk mencari tempat parkir paralel.
"Kenapa gak kamu belikan saja yang sama seperti punya kamu?" kata Ariqa.
"Tidak terpikirkan, ya nanti aku tanya dia dulu." Anang akhirnya bisa bernapas lega setelah berhasil memarkirkan mobil secara paralel.
"Kamu mau makan apa?" tanya pria berkulit sawo matang itu kepada Ariqa sebelum mereka turun. "Aku sudah makan tadi."
"Ayam goreng."
Mereka akhirnya turun dan berjalan menuju warung pe jual nasi uduk dan ayam goreng dari beberapa warung yang ada di sana. Hujan sudah sangat reda hanya menyisakan udara dingin yang menusuk kulit. Ariqa kedinginan karena hanya mengenakan kaos dan celana jeans, jadi dia merapatkan tubuhnya untuk menempel ke jaket Anang.
"Sudah tahu hujan malah gak pakai jaket," omel Anang. "Nanti kalau masuk angin gimana?"
"Lah?" Ariqa mendongak untuk melihat wajah Anang yang lima belas sentimeter di atasnya. "Serius ini aku kode kamu supaya jaket kamu aku pakai."
"Kalau aku yang masuk angin, sakit, gak bisa kerja, gak bisa cari uang, kapan beli rumahnya?"
Warung yang mereka tuju tinggal beberapa langkah lagi namun mereka berhenti sambil terus berpandang-pandangan. Kemudian, Ariqa mulai tertawa dan itu menular ke Anang.
"Kamu itu nyebelin tau, gak!" tukas Ariqa. "Gak ada romantis-romantisnya."
"My Bad!" kata Anang lalu mereka mereka kembali berjalan menuju warung.
Selesai makan, mereka kembali ke mobil. Waktu masih panjang sampai jam malam yang berlaku untuk Ariqa. Ayahnya pernah berpesan kepada Anang, biarpun mereka sudah berumur dewasa akan tetapi pukil 11 malam mereka harus sudah ada di rumah. Sedangkam sekarang masih pukul 09.38 malam.
"Nang," panggil Ariqa sebelum akhirnya mereka masuk ke mobil. "Kamu ada cash?"
"Ada apa?" kata Anang sambil menekan tombol kunci lalu dia mengernyit dan gerakannya membeku ketika melihat Ariqa tampak gugup. "Aku ada cash," tambahnya. "Kenapa?"
"Aku kemarin pesan skincare ke teman aku harganya 400 ribu," kata Ariqa. "Uangku kurang 200 ribu."
Tanpa berpikir panjang Anang mengeluarkan dompet dari saku belakang. Diberikan lah sejumlah uang 300 ribu kepada Ariqa. "Kembaliannya kamu kasih adik kamu."
Ariqa tersenyum lalu menyimpan uangnya ke dalam tas pinggangnya. "Ke mana kita?"
"Ke rumahku?" ajak Anang. "Atau keliling aja?"
"Pengen es krim!"
"Di mana jam segini buka?" Anang memeriksa waktu pada jam tangannya. "Lagian dingin-dingin minum es."
Ariqa tidak menanggapi melainkan dia langsung masuk ke dalam mobil. Anang tidak lama setelah itu juga masuk dan memasang sabuk pengaman.
"Jadi ini beli es krim?" tanya Anang sekadar memastikan.
Ariqa hanya mengangguk karena saat itu pikirannya sedang terfokus untuk membuat janji bertemu dengan temannya yang menjual skincare. Setelah selesai, dia memasang sabuk pengaman dan mobil langsung melaju keluar dari area parkir paralel.
###
Suara televisi menggema di ruang tengah yang sepi akan prabot. Joko dan Lina sedang duduk sambil menikmati semangkuk mi instan kuah yang diberi irisan cabai di atasnya. Harus diakui jika makan mi kuah setelah hujan mengguyur rasanya jauh lebih nikmat ketimbang hal lain. Apalagi makan berdua di rumah yang baru sebulan di tinggali.
"Zahro besok lusa mau ada acara aqiqah-nya Athira, aku akan bantu-bantu di sana mulai pagi," kata Lina. "Kamu bisa datang ke acaranya kan?"
"Itu hari Sabtu, bukan?" jawab Joko setelah menyeruput sesendok kuah mi. "Ibu sama Bapak rencanya mau datang ke sini."
"Waduh." Lina terlihat tidak senang. Dia sudah mengantisipasi kapan pun itu orang tua Joko akam berkunjung karena mereka tinggal satu kota. Lina tidak menyangka akan secepat itu.
"Rencananya mau menginap." Joko tampak asik makan sambil menonton iklan di televisi.
Lain pula Lina sampai tersedak mendengar kabar tersebut. "Ibu sama Bapak mau tidur di mana Mas?"
"Kan ada lima kamar?" sahut Joko sambil menyodorkan minum ke Lina. "Kenapa kok kelihatannya kaget?"
"Iya, tapi hanya ada satu kamar yang ada ranjangnya." Lina berdalih agar Joko bisa menunda kedatangan orang tuanya.
"Ya, kalau gitu kita aja yang tidur di lantai." Joko menoleh ke Lina karena merasa ada yang tidak beres. "Kenapa sih?"
Lina menggeleng. "Tidak."
"Terus mau gimana?" tanya Joko setelah melahap habis kuah.
Lina akhirnya mengangguk padahal dalam hatinya berharap semoga kedatangan orang tua Joko tidak menyulut masalah baru di rumah ini. Sejak kejadian di rumah Pak RT masalah itu tidak pernah muncul ke permukaan. Lina tidak pernah bercerita dan Joko terus menyimpan pertanyaannya.
"Gak perlu masak atau yang lain-lain. Fokus ke acaranya Zahro saja." Joko mengambil mangkok kosong dari Lina. "Kamu fokus acaranya Zahro saja."
Lina mengangguk. "Iya."
"Gak masalah, kan kalau Ibu sama Bapak menginap? Minggu sore pulang." Joko berusaha memastikan keadaan Lina yang sepertinya sedang mencemaskan sesuatu.
"Kalau Ibu sama Bapak gak bahas soal anak, aku Oke!" Lina mengucapkan itu tanpa menoleh ke suaminya.
"Jadi, itu yang membuat kamu gak suka Ibu sama Bapak menginap?" Nada bicara Joko terdengar jelas jika dia tersinggung.
Lina menoleh ke Joko. "Siapa bilang aku gak suka Ibu sama Bapak menginap? Aku gak bilang gitu loh, Mas?"
"Itu tadi maksudnya apa?"
Lina menarik napas sejenak sebelum akhirnya dia berkata, "Aku masih berusaha ya Mas untuk tinggal di sini. Aku senang akhirnya kita bisa tinggal berdua. Aku mau menikmati ini."
"Astaga Lina, Ibu sama Bapak hanya menginap satu malam."
"Bukan itu maksud aku, Mas." Lina mengambil tumpukan mangkok di dekat kaki Jolo kemudian dia berdiri lalu berjalan menuju dapur.
Joko mulanya hanya mengikuti pandang ketika Lina menuju dapur hingga akhirnya dia berkata, "Kalau memang itu ganggu kamu, aku akan bilang sama Ibu kalau jangan bahas soal anak di depan kamu."
"Gak gitu juga, Mas." Lina kembali ke ruang tengah.
"Oke, mau kamu apa?" tanya Joko sambil mendongak melihat Lina berdiri di depan pintu kamar. "Aku harus melakukan apa?"
Mereka saling pandang untuk beberapa saat sebelum akhirnya Lina berkata, "Apa kamu ingin punya anak dalam waktu dekat?"
Joko mengernyit mendengar pertanyaan Lina. "Iya," jawabnya. "Tapi kalau kamu mau menundanya aku tidak masalah."
Lina menggeleng tanpa memutus kontak mata dengan Joko. "Itu tidak adil." Kemudian Lina masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras.
"Gak adil bagaimana maksud kamu?" Saat Joko hendak berdiri Lina kembali membuka pintu sambil membawa map.
Lina mengulurkan map ke Joko lalu dia buru-buru kembali ke kamar. Joko tidak bertanya apa isi map itu melainkan langsung membuka isinya.
"Kamu keterima kerja di bank?" tanya Joko saat Lina menutup pintu kamar. "Kenapa gak bilang aku dulu kalau itu mau kamu?"
Lina tidak merespon membuat Joko berdiri dan bergerak menuju kamar. Saat di buka pintu kamar, Lina menutupi tubuhnya dengan selimut sambil berbaring menyingkur.
"Lina!" panggil Joko. "Ayo kita bicara dulu sebelum kamu tidur."
Lina tetap tidak merespon.
"Lina?"
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro