3. Purnama Bersinar Di Matanya
Sisa hujan tadi malam rasanya memberikan kesan yang berbeda di pagi hari. Pasalnya Athira tiba-tiba menangis dan tidak ada yang bisa menenangkan. Wati dan Zahro sampai bingung harus berbuat. Athira menolak minum ASI. Di timang-timang pun hasil tetap sama. Tetangga kiri rumah mulai resah dengan suara tangisan hingga datang berusaha mencoba.
Lewat setengah jam Athira menangis. Zahro semakin kebingungan, tidak tahu apa yang salah dengan Athira. Badannya sampai terasa hangat, wajahnya memerah, hingga terbatuk-batuk, dan akhirnya gumo. Yani, tetangga sebelah rumah mengatakan jika mungkin ada yang salah dengan perut Athira. Tapi, itu tidak membantu sebab tidak ada yang tahu bagaimana mengatasinya.
Hingga akhirnya lewat lima menit kemudian pasangan baru di daerah lingkungan itu datang ke rumah Pak RT dengan membawa gawan. Pasangan itu disambut dengan suara tangisan Athira dari kamar depan. Lina yang penasaran langsung menuju ke kamar depan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sedangkan Joko dengan rasa penasaran terpaksa harus duduk berhadapan dengan Pak RT.
"Satu rumah gak ada yang bisa atasi," keluh Aryo di tengah raungan tangis Athira. "Ngomong-ngomong terima kasih sudah berkunjung, bawa gawan pula."
"Iya, pak. Sekalian sowan sebagai warga bari di sini."
"Kalian ini pindahan dari Jombang?" tanya Aryo. "Saya boleh minta fotokopi Kartu Keluarga dan fotokopi KTP? Buat arsip."
"Kami belum mengurus surat pindah domisili. Tapi nanti kalau sudah selesai saya langsung berikan ke Bapak," jawab Joko di saat suasana tiba-tiba hening.
Raung tangis tidak lagi terdengar. Aryo yang merasa janggal langsung berdiri menuju kamar. Sedangkan Joko mengikuti di belakang. Terlihat di ambang pintu Athira sedang di gendong oleh Lina. Seulas senyum teraut di wajah Joko.
"Di gendong Bu Lina langsung diam," ujar Wati.
"Bu Lina sudah punya anak?" tanya Yani.
Lina menoleh ke Joko kemudian menjawab. "Belum, Bu, doakan yah semoga cepat isi."
"Kalian menikah sudah berapa tahun?" tanya Wati. Saat itu mereka semua berjalan keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu.
Athira masih dalam gendongan Lina dengan tenang dan mata terjaga. Zahro berupaya menghapus air mata di wajah Athira dengan tisu. Sedangkan Lina menimang-nimang dengan lembut dan hati-hati.
"Baru lima bulan, Bu." Joko menjawab saat Aryo mempersilakan duduk.
Yani yang merasa tidak ada urusan di sana. Dan pakaiannya yang lusuh, membuatnya tidak merasa nyaman di rumah itu. Dia akhirnya berpamitan pulang dengan alasan lupa antara sudah mematikan kompor apa belum. Buru-buru lah dia pergi dari rumah Pak RT.
"Masih ada waktu." Wati juga ikut duduk di kursi panjang.
Di ruang tamu hanya Lina dan Zahro yang berdiri. "Kamu duduk saja," ucap Lina saat melihat wajah Athira mulai terlihat kembali normal dari kemerah-merahan akibat tangis yang lama tadi.
Zahro memilih duduk di samping Wati. Saat itu Joko dan Lina saling pandang merasa jika kehadiran Athira adalah salah satu bagian dari hidup mereka.
"Kalian masih terlihat muda?" tanya Aryo. "Umur berapa kalian?"
"24 tahun, Pak," jawab Lina. Lalu kemudian dia mengisyaratkan Joko untuk melihat Athira.
Joko memandang Aryo, Wati, dan Zahro bergantian mengisyaratkan untuk melihat wajah Athira. Wati memahami pandangan itu langsung membuka tangannya mempersilakan.
Pria itu berdiri sambil merapikan setelan kemeja biru tuanya. "Siapa namanya?" tanya Joko seolah dia benar lupa siapa nama anak dalam gendongan Lina.
"Athira," jawab Zahro.
"Nama yang bagus," seru Joko dalam senyum ramah. Lina memberikan Athira dalam balutan kain kepada Joko. Saat itu mata Athira terbuka lebar. Untuk bayi berumur satu hari rasanya itu kejadian yang jarang. Biarpun Joko tidak pernah bertemu bayi yang berumur lebih muda dari Athira.
"Sudah kalian cocok mempunyai anak, segera lah, gak baik ditunda-tunda," celetuk Wati membuat Lina mencelus.
Jika Joko ditanya bagaimana kesiapannya, dia pastinya siap. Tapi tidak untuk Lina yang harus memikirkan lima kali untuk kemantapan hatinya. Terlebih tinggal jauh dari orang tua, rasanya terlalu riskan harus merawat bayi sendirian saat suami pergi kerja.
Joko dan Lina awalnya saling pandang, tapi tidak berlangsung lama hingga akhirnya mereka tertawa menanggapi Wati. Dari sana mulailah muncul konflik batin di hati masing-masing pasangan sejoli ini. Saling mempertanyakan kenapa candaan seperti tadi membuat ekspresi Lina menjadi serius dan itu membuat Joko sedikit tersinggung. Pasalnya Lina tidak pernah membicarakan mengenai anak. Joko pun menahan diri untuk bertanya.
###
"Aku tahu kita perlu bicara tentang di rumah Pak RT tadi. Tapi aku lelah karena kemarin bersih-bersih rumah. Pikiranku sedang tidak karuan sekarang," kata Lina kepada Joko. Saat sebelumnya Joko meminta Lina duduk. "Kata kamu cuma ambil kunci kan? Ayo pergi keburu siang."
"Aku cuma mau bicara," jawab Joko menunjuk ke sofa. Ketika itu Lina tidak ingin masuk kr rumah, dia hanya berdiri di ambang pintu. "Masuk dan tutup pintunya."
Untuk beberapa saat Lina dan Joko saling pandang tanpa mengucapkan kalimat apapun. Hanya saling tatap. Saat itu Lina benar-benar tidak ingin memulai konflik di rumah baru, juga Joko yang merasa jika Lina tidak nyaman dengan kondisi saat ini. Atau sesuatu harusnya mereka saling mengungkapkan apa yang mengganggu pikiran mereka. Sedangkan di titik ini mereka merasa rentan.
"Tentang apa?" Lina masuk dan menutup pintu.
Joko terdiam dan mengikuti pandang gerakan Lina.
"Aku tahu yang kamu pikirkan, tapi tolong jangan bahas itu sekarang." Lina berjalan mendekat ke arah Joko yang duduk dengan tegaknya pada kursi tunggal yang menghadap ke jendela depan.
Joko tidak menanggapi selama beberapa detik yang mencekam. Lalu, dia berkata, "Kamu tidak akan pernah tahu apa yang aku pikirkan tadi. Tapi yang seharusnya aku tanyakan kamu sebenarnya kenapa?"
"Aku kenapa?" Nada bicara Lina menunjukkan dengan sangat kentara jika dia tersinggung. "Mas, aku sudah bilang kita ini lagi capek pikiran kita ngelantur ke mana-mana. Sudah ya," Lina menghela napas karena menahan amarahnya memuncak. Kita jadi pergi atau tidak? Kalau tidak aku ganti baju."
Sebelum mendengar jawaban Joko, wanita itu sudah masuk ke kamar dengan tersungut-sungut.
"Seharunya kamu itu tanya sama diri kamu sendiri apa yang kamu pikirkan. Memangnya di rumah tangga ini hanya aku yang meresahkan."
Joko langsung berdiri mendengar kalimat tidak menyenangkan hati dari Lina. "Maksud kamu apa bicara seperti itu?"
Saat Joko menyusul ke ruang tengah, Lina baru keluar kamar sambil membawa kunci mobil dan tas pinggangnya.
Lina mendesis. "Jadi pergi gak?"
Joko tidak berbicara tapi meraup kunci mobil dari tangan Lina. "Ayo!"
Perjalanan menuju toko perabot pun hanya diisi dengan kecanggungan. Bicara seperlunya dan tidak mengungkit apapun yang menurut mereka akan menyulut emosi. Seolah bermain peran mereka kini menjadi orang lain untuk bersikap ramah terhadap pasangan. Atau bisa dikatakan mereka satu sama lain saling menyepakati dan menghargai keputusan jika masalah di rumah harus di selesaikan di rumah.
"Mas, kemarin keluar uang banyak untuk jasa pindah rumah. Sekarang mau beli kompor sama kulkas? Yakin?" kata Lina saat mereka berada pada workshop toko perabot.
Joko tersenyum saat Lina memandangnya. "Sudah jangan dipikirkan, pilih yang kamu inginkan. Cuma kompor sama kulkas?"
"Lah apa lagi, AC di kamar masih bagus, tinggal pasang, TV juga gak ada masalah tadi pagi kan kamu lihat sendiri."
"Kipas angin? Buat kamar sama ruang tengah? Atau meja makan?" tawar Joko.
"Astaga Mas, uang kamu itu ada berapa seh?" Lina saat itu sedang memeriksa tipe kulkas dua pintu dilengkapi dispenser. "Berapa harganya ini Mas?" katanya pada petugas.
Petugas membuka katalog yang dia bawa. Selama beberapa saat dia mencari tipe yang ditunjuk Lina. Lalu kemudia dia menunjukkan harga. "Kami ada potongan harga untuk yang tipe yang ini." Pria itu menunjuk gambar lain yang tidak dipilih Lina. "Kalau yang ibu pilih ini tidak dapat potongan harga."
"Kita beli dua loh, Mas?" kata Lina dalam canda.
Lina mengambil katalah itu lalu menujukkan ke Joko. "Gimana Mas? Yang ini spesifikasinya lebih bagus." Lina masih dalam pilihannya. "Yang jelas harganya lebih mahal dari yang dipilih Mas ini."
"Yah pilih yang kamu suka saja." Joko lalu mengarahkan pandang ke petugas. "Yang ini bisa membuat es batu sendiri itu kan?"
"Iya, Pak, ada garansi 10 tahun."
Joko dan Lina saling pandang. Mata mereka menunjukkan jawaban untuk membeli produk sesuai keinginan Lina. Hingga akhirya Joko memutuskan untuk membeli. Untuk bagian kompor Lina tidak perlu repot-repot memilih, dia meminta suatu merek sama seperti yang dimiliki Ibunya di Jombang. Saat Joko mengurus pembayaran, Lina pergi ke area meja makan. Biarpun Joko sempat menyarankan untuk membeli satu set tetapi Lina hanya melihat-melihat.
"Bagaimana? Ada yang kamu suka?" tanya Joko sambil memberikan nota pembayaran. "Yang untuk enam sampai sepuluh orang kalau bisa."
"Ha! Kita kan cuma berdua Mas? Kenapa harus beli yang besar." Lina memeriksa harga dan dia langsung memberikan pandangan terkejut ke arah Joko.
Joko merangkul Lina sambil mengusap-usap lengan. "Ya, aku pikir kalau misal keluarga besar datang, lagi kumpul-kumpul."
"Lebih baik makan dilantai kalau begitu. Seperti sarapan tadi, kan seru." Lina meringis. "Beli tikar saja kalau begitu."
Joko menggeleng sambil menyimpitkan mata. "Sangat tidak solutif. Tapi beli karpet sama tikar juga perlu juga."
"Ya, kalau ada syukuran gitu," jawab Lina sambil mengajak Joko keluar area toko. "Besok saja kalau lagi mau butuh baru beli."
"Doakan saja semoga rejekiku lancar."
"Aamiin. Doa seorang istri insyaAllah pasti dijabah sama Allah."
"Aamiin." Joko meninggalkan kecupan singkat di pelipis Lina sebelum akhirnya mereka berpisah untuk masuk ke dalam mobil.
"Cari makan di daerah sekitar alun-alun ya, Mas?" ujar Lina saat memakai sabuk pengaman.
"Take away, yah, aku pengen istirahat dulu. Nanti kulkas sama kompornya dikirim nanti sore jam tiga." Joko sudah menyalakan mesin mobil dan segera meninggalkan area parkir.
Lina mengangguk. "Terima kasih ya Mas."
Joko mengernyit dan menoleh singkat ke istrinya itu sebelum akhirnya dia menjawab. "Terima kasih buat apa?" Dan melanjutkan fokus pada jalanan.
"Kamu itu hebat. Jelas banget tadi kamu di rumah marah besar dengan ucapan aku. Tapi kamu punya cara..." Lina berdeham. "Sudahlah aku gak mau memuji kamu untuk saat ini. Pokoknya terima kasih saja."
Joko mulanya tertawa melihat gerakkan Lina yang janggal karena malu dengan ucapanjya sendiri tapi kemudian suara Joko menjadi intens. "Biarpun aku seperti ini sekarang, kita masih perlu bicara banyak."
"Iya, aku tahu."
"Sejak awal kita pindah ke Nganjuk, dan untuk kedepannya."
"Iya... Mas Joko... Iya." Lina mengusap lengan Joko. "Aku tahu."
Joko hanya berdeham.
Bersambung.
Akan direvisi hari Sabtu tgl 10 April 2021
(Semoga tidak halangan)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro