13. Pemicu Pt. 2
Setibanya di rumah, Anang langsung berjalan menuju kamar sedangkan Ariqa menyusul di belakang. Anang duduk di tepian ranjang sambil duduk membelakangi pintu. Dia saat itu berusaha untuk menjernihkan pikiran atas apa yang baru saja dilihatnya.
"Mas Anang," panggil Ariqa dalam suara bergetar. Anang menoleh saat Ariqa berjalan ke arahnya. "Mas aku akan jelaskan sama kamu. Tapi janji ini tidak mengubah apapun di antara kita."
"Ada hubungan apa kamu sama pria tadi?" Anang langsung memegang tangan seolah tidak ingin kehilangan Ariqa. Saat itu Ariqa duduk bersimpuh di depannya.
"Namanya Eko, aku kenal dia dari komunitas wayang golek," ungkap Ariqa dengan menunduk. "Dia masih seumuranku. Bekerja sebagai penjaga mini-market dan keluarga tinggal di Jogja."
Anang tidak memberikan pertanyaan lagi karena dia menunggu Ariqa menjelaskan banyak hal di luar dari apa yang dia lihat.
Ariqa mendongak. "Mas, aku tahu kamu gak mau bersikap keras kepadaku. Tapi aku tidak ingin kamu memandang dengan membuatku merasa buruk. Aku tahu Mas Anang gak berniat bersikap seperti itu."
Anang mengusap air mata Ariqa. "Aku akan mencoba mendengarkan dulu sebelum memberi impresi." Dia menarik tubuh Ariqa agar wanita itu duduk di sampingnya.
Mulanya cukup bayak jeda yang diambil Ariqa, biarpun Anang tidak mendesak tetapi tatapannya tidak pernah teralih. Sikap Anang benar-benar setenang itu, untuk menunggu.
"Aku tidak tahu berapa lama aku mengenal Eko di komunitas saat kamu mulai sibuk dengan pendidikan S3 kamu, membaca buku, seminar keluar kota, atau apapun itu." Ariqa terisak. "Saat itu, kami menjadi sangat dekat dan..."
Anang memijat pangkal hidungnya kemudian berpikir dan berusaha memahami situasinya. Seandainya dia bisa, Anang mungkin akan mencegah serangkaian peristiwa yang menjadi akibat dari kedekatan Ariqa dengan Eko. Mungkin, menyetujui keputusan Ariqa untuk berhenti kerja bisa menyelematkan banyak hal. Ariqa jadi tidak menghabiskan banyak waktu di komunitas, juga bertemu dengan Eko pun menjadi tidak sesering itu.
"Eko tidak tahu kalau aku sudah bersuami."
"Kamu tidak berkesempatan untuk memberi tahu atau sengaja kamu...?" Anang tiba-tiba tidak melanjutkan. "Aku sebenarnya tidak tahu apa yang ingin kamu bicarakan. Aku memang melihat kalian dekat. Tapi, apa ada hal lain? Aku takut karena kamu terus saja menangis." Suara Anang sangat lembut bahkam terdengar seperti bisikan.
"Aku merasa harus memberi tahu kamu soal ini." Ariqa memegang perutnya. "Ini anaknya."
Tangan Anang dipangkuan Ariqa langsung merosot. Dia memalingkan muka. Hingga keadaan menjadi sunyi untuk beberapa menit.
Ariqa tidak lagi bisa membendung air matanya. Tangisnya pecah.
"Apa maksud kamu ini anaknya?" Anang lalu menoleh. Suaranya tiba-tiba tidak terdengar bergairah. "Bagaimana kamu yakin kalau ini anaknya?"
Ariqa terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia mengambil napas untuk mengatakan, "Karena aku hamil di bulan Maret dan kami tidak melakukannya di bulan itu. Saat itu kamu mungkin di Bogor atau Cirebon."
Sebelum Anang menanggapi Ariqa segera menambahkan. "Aku melakukannya bersama Eko. Selama sepekan aku mengujinya dengan testpack dan hasilnya positif. Aku awalnya tidak yakin karena seminggu terakhir aku telat datang bulan."
"Kenapa kamu semalam tidak bilang?" Anang berdiri. Dia terbatuk-batuk. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, seperti ada sesuatu yang mengganjal di sana. "Kalau aku tidak melihat kamu dengan Eko tadi kamu akan cerita ke aku kapan?"
"Setelah dari dokter. Sebelum kita pulang ke Nganjuk. Aku sudah bilang ke Eko. Dia tidak..." Ariqa mendesis karena tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Mas, semalam aku pikir kamu sudah tahu. Aku kira saat aku bilang aku hamil, kamu langsung memahami, jika ini bukan anak kamu." Ariqa memegang perutnya. "Aku pikir kamu akan menghitungnya kapan terakhir kita melakukannya."
Anang memukul pintu lemari keras-keras membuat Ariqa terlonjak kaget dan memekik. Kemudian Anang berjalan keluar tanpa bicara dan dalam keheningan.
Keadaan baru berubah setelah berjam-jam berlalu. Anang memilih duduk di teras dengan menatap kosong jalanan yang sepi. Sedangkan Ariqa mulai menata pakaian yang hendak dibawa ke Nganjuk. Sikap mereka sama-sama berusaha antara menerima dan atau menolak apa yang sebenarnya terjadi. Pasalnya mereka sama-sama ingin melanjutkan rumah tangga.
Hingga akhirnya Anang kembali masuk. Dia memanggil Ariqa untuk datang ke ruang tamu. Anang memilih duduk di salah satu kursi dan menatap ambang pintu menanti kedatangan Ariqa.
"Aku belum bisa memutuskan," kata Anang saat Ariqa baru datang dan berdiri di ambang pintu. "Jangan bawa masalah ini ke Nganjuk sebelum aku memutuskan apa yang harus kita lakukan untuk penikahan ini. Yang jelas aku sangat kecewa dengan kamu, tapi aku juga minta maaf mungkin karena aku sibuk dengan pendidikan membuatmu seperti ini."
"Mas Anang bisa ceraikan aku," ucap Ariqa dengan rengekan. "Aku tahu aku salah. Kamu sudah memperingatkan aku sejak awal tapi aku yang tidak bisa memegang janjiku."
"Tidak sebelum aku memutuskan." Anang tidak ingin buru-buru mengambil keputusan. Rasa kecewannya mungkin sama besar dengan bagaimana dia mencintai Ariqa. Bagian lain dari tubuhnya menginginkan Ariqa seutuhnya, namun di perut Ariqa menandakan bahwa pengorbanan tidak akan membuktikan apapun. "Kalau kamu ingin bertemu dengan Eko, aku persilahkan, tapi jangan sampai aku melihatnya. Seharunya jika memang dia pria sejati seharusnya berani menemui saya."
Ariqa hanya memilih diam. Sudah cukup baginya memberikan kekecewakan untuk Anang, bairpun dia tidak menginginkan semuanya terjadi. Namu, jika sudah seperti ini, menghadapinya adalah jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah. Di dalam pikirannya dia berusaha memperkirakan bagaimana Anang bertemu dengan Eko nantinya. Biarpun dia yakin jika Anang tidak akan bertindak kasar terhadap Eko, namun dia tetap merasa was-was.
"Siapa lagi yang tahu tentang ini? Ibu kamu sudah tahu?"
Ariqa menggeleng. "Aku bingung harus cerita apa ke Mama sama Papa."
"Hari ini aku tidak bisa tidur sama kamu. Aku akan tidur di penginapan atau entah nanti aku bisa menumpang di rumah temanku. Yang jelas situasi sekarang sangat membingungkan." Ekspresi Anang memang terlihat frustasi namun dia bisa menyembunyikan dengan baik sampai dia bisa mengontrol emosinya. Tidak pernah dia bersikap kasar terhadap Ariqa dan dia tidak ingin melakukkannya walaupun kemamarah, kekecewaan, dan kesedihan bercampur menggerogoti hatinya.
Anang sebisa mungkin tidak membuat Ariqa kecewa dengan dirinya. Anak siapapun di dalam perutnya layak untuk mendapatkan tanggung jawab yang berarti. Beberapa pekan ke depan keadaan pasti tidak akan segera pulih. Namun, selama janji suci masih tersisa di rumah ini. Dia akan melakukan apa yang diharapkan akan dilakukan dalam situasi yang rumit ini.
Anang kemudian berdiri sambil merogoh kunci mobil. Dia berjalan ke arah Ariqa dengan tangan terbuka. "Aku berjanji akan bersamamu selamanya," katanya.
Sekali lagi tangis Ariqa pecah dalam pelukan Anang. "Aku minta maaf Mas. Aku tidak tahu apakah itu cukup."
Anang mencium puncak kepala Ariqa lalu berusaha meloloskan diri dari pelukan.
"Berjanjilah jangan berbuat aneh-aneh yang bisa membahayakan anak kamu."
Ariqa mengangguk saat Anang sudah berbalik menuju pintu depan. Ariqa tetap mematung di tempat memandang suaminya menghilang saat pintu di tutup dari luar. Suara alarm kunci mobil dan beberapa saat suara deru mobil meninggalkan halaman. Ariqa lalu memilih duduk di lantai dan memikirkan kembali tentang langkah besar berikutnya.
Bersambung
InsyaAllah akan direvisi hari Selasa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro