12. Zona Putih dan Kegelapan
Ada beberapa hal yang sulit dijelaskan dalam sebuah bahtera pernikahan. Wanita dan pria memiliki perannya masing-masing antara hal yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Kendati begitu, yang mengatakan semua memiliki suara, merencanakan apa yang seharusnya dilakukan, dan berakhir untuk mendengarkan. Rere tidak mempercayai bahwa percakapan adalah jalan utama untuk menyelesaikan masalah. Kemenangan tak akan berpihak pada yang lemah. Dia tidak pernah merasa bahwa suaminya akan memikirkan sesuatu berasal dari mendengarkan. Buntoro bahkan tidak pernah mengingat sesuatu yang didengarnya, ketika Rere mengungkapkan pendapat memecahkan masalah rumah tangga.
Begitu banyak hati yang luluh lantak pada suatu malam, ketika mereka, Buntoro dan Rere, dalam perjalanan pulang setelah mengantar Bagus ke stasiun dengan mengendarai mobil.
Saat Rere menoleh kepada Buntoro, pria itu memasang ekspresi keras. Rere memegang kedua sikunya sebelum akhirnya mengatakan, "Seharusnya tanah itu tidak kamu jual, Mas."
"Apa urusanmu. Itu tanah milik keluargaku. Lagipula Bagus bisa ke Malaysia juga karena hasil penjualan tanah itu."
"Bukan seperti itu," Rere mendesis. "Yang minta Bagus harus kerja di Malaysia siapa? kenapa Mas gak bicarakan dulu sama aku sebelum menjualnya."
"Anak itu mau jadi apa terus-terusan di sini?" bentak Buntoro. "Aku sudah merencanakan ini untuk kebaikannya. Kalaupun dia bisa hidup mandiri seperti Anang, pasti dia bisa sukses di sana. Kamu jangan terus memanjakan Bagus."
"Mas, sudah bilang sama Mas Fatah kalau jual tanahnya Bapak?"
"Belum." Buntoro membelokkan mobil masuk ke gang pertama, menuju ke rumahnya. "Bapak sudah berikan bagian tanah itu ke aku. Kalaupun aku jual itu urusanku."
Rere mendesah. Dia mengingat benar bahwa tanah itu sempat menjadi perebutan ketika Fatah datang dari Sulawesi ke Nganjuk sebagai perwalian untuk Prasto menikah dengan Zahro. Fatah menganggap bahwa dia adalah anak pertama jadi berhak memutuskan untuk membagi hasil penjualan. Namun, Buntoro merasa berkorban banyak selama ayahnya jatuh sakit. Jadi, kepemilikan tahan diberikan ke Buntoro biarpun tidak ada bukti yang sah.
Hasil penjualan tanah tersebut, Buntoro mempergunakan untuk membeli mobil dan keperluan Bagus tinggal di Malaysia. Mungkin tidak ada sisa uang lagi.
Rere sempat berpikir untuk bertanya berapa sisa hasil penjualannya namun, itu akan menyulut emosi Buntoro yang menganggap bahwa Rere meminta bagian. Jadi, dia memilih diam. Dia juga berusaha memahami rencana Buntoro terhadap Bagus.
Buntoro akhirnya berhasil memasukkan mobil ke area halaman depan rumahnya, setelah beberapa kali mencoba mengatur posisi. Memang dia belum terbiasa memarkirkan mobil di depan rumahnya karena baru sepekan mobil tersebut dibeli.
Rere turun dari mobil sebelum Buntoro. Dia segera masuk ke rumah dengan perasaan yang berkecamuk antara kemarahan terhadap keputusan sepihak oleh Buntoro dan kesedihan harus berada di rumah tanpa Bagus. Biasanya Bagus adalah tempat curhat mengenai ayahnya namun, sekarang dia harus menanggungnya sendirian.
Pernikahan Buntoro dan Rere memang hasil dari perjodohan. Rere menduganya jika ada anak yang hadir di tengah pernikahan mereka suasananya akan berubah. Hal terbukti dengan lahirnya anak pertama mereka bernama, Anang. Buntoro sangat membanggakan Anang dan itu sudah cukup baginya. Pernikahan itu memang semakin harmonis. Namun, berkurang saat Bagus lahir. Buntoro sempat mengatakan sebelumnya dia ingin mempunyai anak perempuan. Kesempatan Buntoro untuk memiliki anak perempuan tidak akan terwujud karena proses kelahiran Bagus yang menyebabkan Rere harus menjalani operasi pengangkatan rahim.
Sejak itulah Rere merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Ada lubang dihatinya karena Buntoro tak pernah menganggap Bagus layak berada di rumah ini. Rere juga tidak berkesempatan untuk mewujudkan keinginan Buntoro memiliki anak perempuan. Kekecewaannya yang selama ini ditanggungnya sendirian. Buntoro tidak pernah peduli bagaimana rasanya wanita yang dianggap pabrik. Apalagi yang sudah tidak produktif lagi.
Sejak kejadian itu pula, Rere merasa bahtera rumah tangganya tidak sesempurna saat ketika Anang lahir. Rere sempate mikirkan untuk meninggalkan rumah saat Bagus masih berusia tiga bulan. Namun, Rere berpikir bahwa Anang saat itu baru masuk ke prasekolah. Tidak mungkin harus mengajak Anang atau bahkan meninggalkannya. Jadi, dia memutuskan untuk bertahan bersama Buntoro, menjalani rumah tangga yang tidak pernah diharapkannya sejak awal pernikahan. Dia sendiri tidak tahu sampai kapan harus bertahan.
Jika membicarakan kesempatan pergi dari rumah. Mungkin ini saatnya. Di rumah sudah tidak ada kebahagiaan, sudah tidak ada yang perlu dipertahankan, kedua anaknya sudah mulai menjalani kehidupannya masing-masing. Namun, Rere juga berpikir pernikahan yang sudah 30 tahun dipertahankan apakah harus berakhir dengan dia keluar dari rumah? apa yang perlu dicari di luar sana? Sedangkan perceraian bukan solusi terbaik.
###
Sore itu, Zahro sengaja menutup warung lebih awal karena ingin mengajak kedua anaknya pergi bermain ke alun-alun. Zahro terkadang memikirkan bagaimana caranya dia bisa menjalani kehidupannya, namun tidak terasa Athira sudah mulai bisa berjalan dan Sasti sebentar lagi memasuki sekolah dasar. Sudah sejak lama dia memikirkan untuk mengajak kedua anaknya pergi. Beberapa kesempatan memang ada, namun saat itu Zahro diajak oleh Lina. Sekarang hanya mereka bertiga. Zahro, Athira, dan Sasti.
Zahro secara teknis masih menikah dengan seorang pria bernama Prasto. Sudah lima paket yang diterimanya dari pria itu. Setiap paket tersebut datang ke rumah memang tidak cukup mengobati rasa kecewa. Setidaknya Zahro tetap berusaha melanjutkan membangun keluarga seorang diri dan bertahan sampai sekarang dengan kedua anaknya yang tumbuh sehat dan bahagia.
Seandainya Zahro merenungkan sesuatu, dia pasti sudah melakukan banyak hal. Mengirim paket itu kembali ke pengirim dengan menyelipkan surat penuh dengan keluh kesahnya terhadap dunia yang picik dan tidak masuk akal ini. Menghidupi satu anak baginya sudah cukup pelik ditambah harus menjadi ibu pengganti. Namun, untuk saat ini yang ada di pikiran Zahro adalah tentang kedua anaknya. Merekalah ladang kebahagiaan itu berasal.
Saat Zahro duduk di salah satu kursi taman, sambil memandang ke arah dua anaknya. Sasti memiliki sikap selayaknya seorang kakak yang menjaga adiknya agar tidak jatuh. Di sana Zahro menemukan bahwa kehadiran Sasti memberikan pelengkap dalam kehidupannya. Banyak hal yang rasanya perlu diungkapkan namun yang tersisa hanyalah kami semua baik-baik saja biarpun tanpa kepala keluarga.
Zahro berdiri lalu berjalan mendekati kedua anaknya. Dia merangkul kedua anaknya dan memberikan kecupan hangat secara bergantian, bermula dari Sasti kemudian Athira.
"Ibu kenapa menangis?" tanya Sasti sambil mengusap air mata di pipi Zahro.
Zahro menggeleng. "Tidak apa-apa."
Tatapan Sasti tiba-tiba seperti menelusuri mata Zahro. Lalu kemudian Sasti memeluk Zahro. "Ibu kangen Ayah?" katanya.
Zahro membelikan senyuman tulus. "Kalau mulai nesok kita tinggal di rumah Ayah bagaimana? Tidak di rumah nenek lagi."
Zahro pernah mengenalkan rumah tersebut kepada Sasti. Memang banyak hal yang menimbulkan. Pertanyaan saat Sasti melihatnya. Mulanya dia bertanya ke mana Ayah ya pergi dan kapan ayahnya pulang.
"Ayah mau pulang!" mulanya kalimat Zahro terdengar antusias namun kemudian ekspresinya merosot. "Ayah belum bisa pulang ya Bu?"
Zahro teringat jika kalimat tersebut sering dia ucapkan ketika Sasti tiba-tiba bertanya kapan Prasto pulang.
"Ayah belum bisa pulang. Tapi kita bisa tinggal di rumah Ayah. Sasti mau?"
Sasti mengangguk. "Iya, tapi Sasti masih boleh main ke rumah nenek kan Bu?"
"Boleh tapi jangan jalan sendiri."
Bersambung
InsyaAllah akan direvisi hari Selasa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro