11. Pemicu Pt. 1
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Hal yang paling natural untuk memanggil seseorang di waktu itu agar bersedia diajak bicara adalah dengan menepuk bahunya. Ariqa ingin mengatakan sesuatu yang sangat krusial namun Anang terlalu sibuk untuk diajak bicara. Suaminya itu sedang tersibukkan dengan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pencapaian S3. Ariqa melihat punggung suaminya duduk sofa ruang tengah menatap layar laptop dan banyak kertas berserakan di meja. Selama beberapa saat dia bergeming.
"Mas," panggil Ariqa sebelum dia mengusap punggung suaminya. "Boleh bicara sebentar?" Dia mengitari sofa untuk duduk di samping Anang.
"Iya, ada apa?" sahut Anang. Dia sekilas menoleh pada jam dinding di atas televisi. "Aku kira kamu sudah tidur."
Ariqa menggeleng. Dia mengeluarkan alat uji kehamilan seukuran bolpoin kepada suaminya. Mulanya Anang hanya memandang benda itu, setelah menerima dan membaliknya, Anang memberikan senyuman yang sama ketika dulu Ariqa dilamar olehnya.
"Sungguh?" kata Anang. "Kamu hamil?"
Ariqa menggigit bibir bawahnya dan mengangguk. Dia tidak bisa tersenyum dan mengimbangi rasa bahagia suaminya karena ada sesuatu yang memicu pikirannya untuk beberapa hal yang membuatnya seolah semuanya tidak nyata.
"Katakan sesuatu." Anang memaksa namun dia terlewat senang. Entah apa yang diharapkannya, dia ingin duduk berdua dengan istrinya menghabiskan waktu semalam menceritakan betapa bahagianya berita besar yang baru saja menghampiri.
Empat tahun pernikahan mereka berjalan dengan sempurna. Tidak ada perdebatan yang panjang. Tidak ada kendala masalah finansial. Semua berjalan begitu normal. Ariqa dengan aktifitasnya bersama komunitas wayang golek sedangkan Anang sibuk dengan urusan S3-nya. Di tengah-tengah itu mereka sangat menunggu momen kehamilannya Ariqa, namun yang sebenarnya terjadi, Ariqa sedang memikirkan atau lebih tepatnya berpikir jika bayi di dalam kandungannya bukanlah dari Anang.
Selama sebulan Ariqa tidak berhubungan dengan Anang. Suaminya kadang ketika pulang sudah cukup lelah dan akhirnya langsung terlelap di malamnya. Dua minggu yang lalu Anang pergi ke Cirebon lalu ke Bogor dan kadang bolak-balik Jakarta-Jogja untuk penelitian dan seminar. Semua waktu berlalu dan rasanya tidak mungkin jika di dalam perutnya tumbuh seolah janin dari hasil pembuahan yang bahkan tidak dapat diingat kapan dilakukan.
"Aku mau pulang ke Nganjuk."
Pada mulanya Anang mengernyit mendengar kalimat yang belum diantisipasi, namun kemudian dia mengangguk. "Kita berangkat lusa. Bagaimana?"
"Kamu bisa kita berapa hari di sana?"
Mata Anang menoleh ke kiri, dia sedang berpikir atau berusaha mengingat sesuatu atau menghitung hari, hingga kemudian dia mengambil ponselnya. "Satu minggu paling mentok. Kita 'kan berangkat Sabtu, paling malam Senin minggu berikutnya kita bisa pulang."
Ariqa mengulas senyum.
Secara mendadak Anang memberikan pelukan yang lama dan intens kepada Ariqa. Anang berbisik, "Aku sangat senang malam ini."
Ariqa mengangguk dalam kebingungan. Sedangkan suaminya bahkan tidak memperhitungkan waktu yang seharusnya jadi masalah besar jika sampai menyadari. Namun, kebahagiaan Anang membutakannya. Ariqa berpikir jika dia bertemu dengan keluarganya mungkin dia bisa merasakan kejernihan pikirannya.
"Yasudah Mas Anang lanjutkan dulu kerjaanya. Aku mau tidur." Ariqa menepuk lengan Anang agar suaminya menyudahi pelukannya.
Anang mengecup kedua pipi Ariqa dan bermuara ke bibir. Ariqa membalas ciuman dan berakhir ketika Ariqa bangkit dari sofa. Anang memberikan senyuman sebelum akhirnya Ariqa meninggalkannya sedangkan Ariqa tampak janggal dengan senyumnya sendiri lalu buru-buru pergi masuk ke kamar.
Satu tujuan utama Ariqa masuk ke kamar adalah menghubungi pria yang mengganggu pikirannya selama beberapa pekan terkahir. Pasalnya jikalau dia telat datang bulan yang artinya sesuatu telah terjadi dengan pria itu. Dia tidak peduli pukul berapa sekarang yang terpenting besok bisa bertemu.
"Hallo, Mas Eko." Ariqa berusaha memelankan suaranya agar Anang tidak sampai mendengar. "Mas..." Panggilannya sekali lagi karena tidak ada jawaban padahal telepon telah terhubung.
"Iya, ada apa, Riq." Suara Eko terdengar serak seperti orang baru bangun tidur. "Kenapa malam-malam telepon."
"Besok siang ada waktu luang, tidak? Aku mau bicara. Di tempat biasa kita nongkrong aja, bisa?"
Eko terdiam beberapa saat. "Harus besok banget yah? Gak bisa lusa atau kapan gitu? Atau Sabtu deh sekalian 'kan kita ketemu di acara."
Ariqa mendesis. "Aku lusa mau pergi ke Nganjuk. Ke rumah orang tuaku."
"Kamu gak ikut ke acara besok? Pak Sutono sempat-sempatin datang loh untuk kita ngobrolin soal pementasan kita bulan depan."
"Maaf banget aku gak bisa." Ariqa menoleh ke pintu memastikan jika tetap tertutup karena dia merasa telah berbicara terlalu keras. "Gimana Mas? Bisa gak besok kita bicara?"
Eko bergumam panjang. "Aku usahakan. Nanti aku hubungi lagi."
"Oke, terima kasih Mas."
Sebelum Ariqa menutup telepon Eko langsung menambahkan. "Memangnya ada apa? Semua baik-baik saja 'kan?"
"Besok aku obrolin lagi." Ariqa tampak gelisah karena mendengar langkah kaki mendekat. "Aku tutup dulu. Assalamualaikum." Dia buru-buru meletakkan ponselnya di nakas dan duduk di tepian tempat tidur.
Ariqa menatap pintu kamar dengan was-was. Pintu itu bisa terbuka kapan saja dan Anang bisa saja menanyakan Ariqa sedang mengobrol dengan siapa. Saat mendengar suara gelembung galon di dapur, Ariqa langsung mengembuskan napas lega lalu kemudian menyelimuti kakinya sambil merebahkan punggung.
Ariqa tidur menyungkur membelakangi pintu kamar. Saat mendengar pintu kamar terbuka dia buru-buru menoleh. "Ada apa, Mas?"
Anang hanya menampakkan kepalanya. "Besok kalau kamu mengepak pakaianku cukup bawa baju dalamanku aja, ya?"
"Lah, memangnya masih ada baju kamu di Nganjuk?"
Anang meringis. "Gak tahu."
"Aku bawa tiga aja gimana?"
"Yasudah terserah." Anang lalu menutup pintu kamar. Kemudian membuka pintu lagi untuk mengatakan. "Selamat Malam. I love You."
Ariqa tertawa. "Apaan sih Mas."
Anang ikut tertawa hingga dia menutup pintu kembali. Ariqa sempat merasa gejolak kebahagiaan yang dialami Anang, namun di sisi lain dia tidak ingin itu menjadi titik kekecewaan Anang suatu saat nanti. Ariqa mengusap perutnya membayangkan jika janin di dalam tubuhnya bukan dari Anang apa yang akan dilakukannya kemudian hari.
Ariqa bukan tidak bisa menerima kehadiran janin di dalam perutnya. Dia sangat menantikan hari ini terjadi. Bahkan suara tangisan dan tawa sang buah hati sudah menjadi angannya sejak lama. Hampir emlat tahun rasanya dia merasakan bagaimana berjuang untuk mendapatkan dua garis merah. Hingga hari itu tiba. Rasanya seperti tidak ingin melewati sembilan bulan sepuluh hari untuk melahirkan seorang anak.
Tidak tahu kapan Ariqa terlelap dalam tidur, tiba-tiba hari sudah kembali pagi. Waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi. Dia membangunkan Anang untuk salat subuh.
"Mas, bangun. Subuh dulu, Mas." Ariqa mengusap lengan Anang dengan lembut. "Mas, bangun."
Anang menggeliat. "Semalam aku baru tidur jam satu."
"Terus gak salat subuh gitu?" Ariqa turun dari ranjang. Dia menyalakan lampu kamar dan mematikan lampu tidur.
"Sepuluh menit lagi. Aku masih ngantuk."
"Ambil wudu dulu pasti ngantuknya ilang." Ariqa memeriksa ponselnya dan mendapati pesan dari Eko tentang perjanjian mereka bertemu pukul sepuluh nanti.
Anang menggeliat lagi sambil menguap. "Nanti aku ada kelas jam dalapan." Dia duduk di kepala ranjang sambil mengusap-usap kedua matanya. "Bangunkan aku jam tujuh."
"Iya, sekarang bangun dulu terus salat subuh, baru nanti Mas tidur lagi."
Anang menyingkap selimut dengan malas lalu turun dari ranjang. Dia merangkul istrinya yang berdiri di samping pintu lalu mendaratkan ciuman di pipi. "Gak ada rencana ke dokter."
Ariqa juga memberikan ciuman ke pipi Nanag sebelum mereka keluar kamar. "Nanti siang mungkin."
"Mau aku temani?"
Ariqa menggeleng. "Kalau kamu sibuk aku gak apa-apa pergi sendiri."
"Maaf yah, gak bisa temani kamu ke dokter."
Ariqa menepuk punggung Anang sebagai syarat bahwa dia tidak mempermasalahkan. Biarpun dia tidak ada rencana pergi ke dokter, namun untuk saat ini Ariqa berpikir mungkin itu caranya termudah agar bisa izin pergi alih-alih bertemu dengan Eko. Tidak mungkin mencari alasan berkumpul dengan komunitas wayang golek karena Anang tahu jadwal rutin.
Setelah salat subuh berjamaah. Anang kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur sedangkan Ariqa bersiap untuk pergi berbelanja pagi di pasar. Tidak ada hal lain yang mampu mengalihkan pikiran Ariqa dari pertemuannya nanti dengan Eko.
Bahkan saat waktu itu tiba, Ariqa masih memikirkan apa yang harus dikatakan pertama kali antara dia memiliki suami atau dia sekarang mengandung anaknya? Dua pernyataan itu harus diutarakan dan Eko harus mendengar semuanya.
Eko datang setelah Ariqa duduk di kedai kopi kurang lebih 30 menit yang lalu. Saat pertama memasuki kedai tidak butuh waktu bagi Eko untuk mengenali sosok Ariqa dengan sweter merah yang sering dipakainya ketika keluar rumah.
Eko berniat mencium pipi kanan dan kiri Ariqa namun wanita itu menghindar. Mereka saling tatap dengan sedikit canggung, karena biasanya hal tersebut lumrah dilakukan. Beberapa detik kemudian mereka akhirnya duduk.
"Aku pesankan kopi seperti biasa kamu pesan," kata Ariqa sambil tersenyum untuk memecah kecanggungan alih-alih berusaha menenangkan diri sendiri dari beban pikir beberapa jam terakhir.
Eko mengangguk janggal ketika meraih segelas kopi dan menyesapnya. "Jadi?"
Ariqa mengangkat alis. "Maksudnya?"
"Apa yang mau kamu bicarakan?"
Ariqa berdeham. Dia mengambil kopinya dan sedikit membasahi tenggorokan. "Aku hamil."
Eko meraih tangan Ariqa. Ibu jarinya mengusap punggung tangan wanita itu dengan lembut. "Aku akan tanggung jawab. Aku akan ke Nganjuk untuk bilang ke orang tua kamu. Sungguh, aku akan tanggung jawab. Kita hadapi ini bersama."
Ariqa buru-buru menggeleng. Sebulir air mata turun ke pipi kirinya.
"Hei... hei... hei..." Ekspresi Eko merosot, dia merasa kasihan dengan Ariqa. "Kenapa? Aku di sini. Aku gak akan ke mana-mana." Tangan Eko yang bebas mengusap air mata Ariqa dengan lembut.
"Aku punya suami." Ariqa terisak namun juga tersenyum berusaha tampil setegar mungkin. Namun, fisiknya tidak menunjukan demikian. "Aku tidak yakin anak ini adalah dari suamiku."
Tangan Eko seketika melemas dan menjauh dari tubuh Ariqa.
"Aku bingung," tambah Ariqa. Dia meraih tangan Eko dan meremasnya erat. "Kami tidak berhubungan sebulan terakhir. Aku terakhir melakukannya denganmu."
"Kenapa kamu sejak awal tidak bilang kalau kamu punya suami." Eko menahan napasnya untuk menahan rasa frustasinya. "Ariqa, aku harus bagaimana sekarang? Apa aku harus menemui suami kamu."
Ariqa menggeleng. "Aku tidak tahu. Mungkin..." lalu dia menambahkan, "Ya!" Dengan cukup tegas.
"Oke, kita ke rumah kamu sekarang."
"Ariqa?" Panggil seseorang di suatu tempat.
Ariqa dan Eko memandang di mana suara itu berasal. Tenyata Anang berdiri beberapa meja di samping mereka. Mulanga Eko berusaha meloloskan diri dari genggaman tangan Ariqa. Lalu dia memandang Ariqa meminta petunjuk haruskah dia menjelaskan kepada suaminya atau tidak hari ini. Ariqa lalu mengambil tas tangannya dan mendekat ke arah Anang.
"Mas Anang kok bisa di sini?"
"Siapa dia?" tanya Anang. Dia sejak tadi tidak mengalihkan pandang dari Eko. Pria itu tampak gusar dan beberapa kali merapikan kaosnya dengan gerakan janggal. "Apa yang kamu lakukan dengannya?"
"Dia Eko, teman komunitasku." Ariqa mengusap lengan Anang. "Kamu masih lama di sini?"
Anang bergantian memandang Eko dan Ariqa. Hingga beberapa saat dia menanti penjelasan namun Ariqa memilih bungkam. "Aku sudah selesai. Mau bareng pulang?"
Ariqa mengangguk. Mereka pun keluar dari kedai. "Mas, jangan mikir aneh-aneh antara aku dan Eko, gak? Aku bisa jelaskan," katanya sambil berjalan ke arah mobil.
"Kita bicarakan di rumah." Anang mendahului langkah Ariqa. Dia berjalan terlalu cepat, sedangkan kaki Ariqa terlalu lemah untuk mengibangi langkahnya. Pikirannya sedang kacau dan jantungnya menggebu hebat sampai kepala terasa pening.
"Kamu sudah ke dokter?" tanya Anang sebelum dia masuk ke dalam mobil.
Ariqa menggeleng.
Anang ikut menggeleng. Dia memandang ke sembarang tempat selain menatap Ariqa. Kemudian masuk ke mobil tanpa kata dan menutup pintu keras-keras.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro