Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SEMBILAN

[ 19.46 -- 20.04 ]

Kami duduk dalam diam menatap pintu kamar yang terbuka. Kepala Riani bersandar di dadaku sedangkan tanganku mengusap-usap puncak kepalanya. Sebenarnya aku menunggu sampai Riani merasa tenang, aku yakin dia sedang memikirkan dan mempertimbangkan perasaannya. Sebab, cerita itu adalah kisah dia bersama suami pertamanya. Hubungan itu bisa dikatakan gagal. Aku bahkan tidak peduli kisah manisnya. Atau ketika seorang pria mengatakan aku cinta kamu. Secara harfiah itu hanya ungkapan balas budi.

"Apa yang kamu takutkan?" Tanganku berhenti mengusap rambutnya. "Aku yakin hubungan pernikahan dengan suamimu sekarang masih baik-baik saja."

"Aku tidak yakin ini masih bisa dikatakan baik-baik saja atau bukan." Riani menegakkan badan. "Apa ada di dalam hubungan pernikahan, sang suami menguji istrinya."

"Menguji?" Aku sampai mengeretkan dahi begitu bingungnya dengan ungkapan Riani. "Apa yang dia inginkan dari kamu?"

"Jika aku tidak ada di pelabuhan Gilimanuk sebelum subuh. Dia akan melakukan sesuatu. Mungkin dia akan menceraikanku. Aku tidak tahu hal buruk apa lagi selain itu." Riani tersedak sampai terbatuk. "Mas Agas memintaku pindah ke Bali."

Ketika dia hendak mengatakan hal lain aku memotongnya. "Tunggu!" Aku menggeser tubuhku sedikit lebih jauh dari Riani. "Apa karena ini kamu mengundangku ke rumah?"

"Apa maksud kamu?" Nada bicara Riani meninggi. Dia tersinggung dengan pertanyaanku. "Kamu menolongku dan aku menawarkan untuk mampir. Kamu sendiri yang memintaku untuk menceritakan segalanya. Di mana sisi masalahnya?"

"Aku hanya tidak ingin kamu berpaling darinya."

"Danu, jika sebelumnya kamu memintaku untuk berpikir realistis jadi apa yang kamu pikirkan sekarang. Kamu yang memulai. Kamu yang lebih dulu ingin menciumku." Dia sangat kesal sampai menurunkan kakinya dari kursi. "Menurut kamu, aku yang salah dalam hal ini?"

"Aku tidak menyalahkan, aku hanya bingung." Beberapa detik kemudian kugunakan untuk mengusap tengkuk. Otot leherku terasa tertarik. Aku memperhatikan Riani, emosinya bercampur aduk. Air matanya menggenang, dia mendongak menahan agar tidak jatuh. Dia mungkin malu menunjukkan air mata itu untukku setelah dia mengungkapkan banyak hal.

Aku merasa bersalah. Rasa bersalahku ini tidak sebanding dengan jenis rasa sakit apa pun itu yang Riani rasakan. Dia mungkin merasakan bahwa kami telah melakukan hal besar, padahal itu sebuah hasrat yang tidak bisa dilawan. Kontak fisik yang kami lakukan membuka akan banyak hal baru. Semakin aku melihatnya terluka membuatku terlahap hasrat ingin memeluknya dan menciumnya. Jika dipikir kami hanya bertemu beberapa jam yang lalu, kami telah melewati banyak hal yang menumbuhkan hasrat itu.

Aku memejamkan mata berusaha meresap perkataan Riani. "Aku menahannya selama ini."

"Aku tahu," jawabnya singkat. "Aku juga tidak ingin hubunganku dengan Mas Agastya berakhir. Tapi aku... hopeless."

Riani meraih tanganku. Aku tidak melawannya. Hasrat itu terus menarik jiwaku. Semakin banyak tubuh kami bersentuhan semakin tinggi intuitif menguasai otaku. Seperti hal yang Riani pernah katakan aku mungkin akan tiba pada suatu tempat yang tidak aku inginkan. Aku tidak bisa bergerak tapi aku ingin melebarkan jarak dengannya.

"Aku tidak bisa membagi ceritaku yang ini dengan kamu. Situasi kita berdua tidak tepat. Aku tidak ingin kamu membenci dia. Biarkan aku dan suamiku menyelesaikan masalah ini."

"Apa ini soal materi?" Aku banyak sekali menduga ketika berbicara dengan Riani. Pasalnya setiap dia merasa tidak sanggup mengatakannya. Hasrat Itu juga membuatku membenci diriku sendiri.

Aku sendiri kian melakukan hal yang sama. Kusimpan banyak cerita di kepalaku, tentangku dan Arestia. Apa yang aku rasakan ketika jauh darinya atau bagaimana aku menghadapi konflik batin menghadapi dia bersama pria lain. Intuitif itu tidak pernah berakhir biarpun aku dan Arestia menyudahinya. Aku seakan telah berdusta dengan Riani. Hingga tubuhku menggelenyar.

"Dia menggeleng. Sebelum bercerai dengan Danu. Aku keluar dari pekerjaan lamaku. Tapi tidak mengubah keputusanku dan Danu untuk mengakhirinya." Dia menghembuskan napas. "Kemudian menikah dengan suamiku sekarang, aku mulai mencari pekerjaan baru. Sekarang aktif bekerja di kantor akuntan publik. Aku rasa bukan materi kendalaku dengan Mas Ares. Aku bekerja untuk adikku. Dia tanggung jawabku pasca Ayahku pergi meninggalkan kami. Mas Ares menghargai keputusanku, aku tidak ingin adikku juga menjadi tanggung jawabnya juga di samping dia menafkahiku."

"Jadi apa masalahnya?" Rasa ingin tahuku begitu besar tapi kemudian aku berkata, "Iya, itu terlalu personal. Bukan hakku untuk mencampuri."

"Apa kamu ada masalah dengan materi?" Riani menanyakan itu. "Maksud aku tentang apa itu?" Aku harusnya menceritakan hal besar yang kian menggangguku.

"Ada satu hal keci yang membuatku berpikir bahwa urusan finasial harusnya aku penuhi sebelum aku menikah." Aku menjatuhkan kepala ke sandaran. Menghembuskan napas untuk melepas rasa sesak. Jadi, ini yang Riani rasakan ketika hendak mengungkapkan hal besar yang belum parnah diungakapkan sebelumnya melului kata-kata. Rasanya seperti kamu ingin melihat matahari sebelum muncul kepermukaan, maka kamu harus mendaki gunung itu.

"Itu sebabnya kamu belum menikah." Riani menyelaku di saat aku sedang berpikir. "Atau kamu memang tidak ingin memiliki pasangan hanya karena hal kecil itu?"

"Aku pernah bertemu dengan seorang wanita dan aku ingin memilikinya. Beberapa tahun yang lalu." Riani mengaggukan kepala. Mungkin jika aku menceritakan masalahku Riani sedikit lebih terbuka denganku. Aku hanya ingin menunjukan padanya bahwa aku adalah pria yang bisa dipercaya. Menunjukkan padanya bahwa aku bukan pria brengsek yang bertahan di rumah seorang wanita bersuami. "Hubungan kami berakhir sebulan yang lalu. Dia sudah menikah sekarang."

Riani mendekatkan posisi duduknya. Dia mengusap lenganku. "Itu pasti hal yang sulit untuk diterima."

Aku mengangguk. Menyepakati perkataannya.

"Apa ini ada hubungannya dengan hal kecil itu?"

Aku lagi-lagi mengangguk. "Waktu itu aku masih SMA. Kakakku ingin menikahi wanita yang dia cintai. Ayah dan Ibu merestui pernikahan itu. Aku tidak tahu apa yang salah. Suatu malam, beberapa hari sebelum acara pernikahan di gelar, Ayah dan Ibuku berantem hebat. Hanya secara verbal."

"Itu yang kamu sebut hal kecil?" Riani mungkin memahami satu hal penting yang tidak aku ucapkan.

"Masalah itu tidak pernah ada akhirnya. Aku merasa Ayah dan Ibuku hanya berpura-pura bahagia di depan anak-anaknya. Tapi tidak akan pernah merubah apapun. Ayahku tetap seperti itu dan Ibuku masih terus merasakan tekanan."

"Apa sebenarnya yang terjadi?"

"Aku akan menikah jika aku merasa bahwa aku siap secara finansial." Aku menoleh pada kanvas yang terbengkalai sejak tadi. "Lanjutkan melukismu. Sekarang giliranku. Kamu cukup mendengarkannya saja."

"Mau sampai kapan kamu melakukan itu?" Dia segera beranjak. Menuangkan beberapa warna cat pada palet mengaduk dengan kuas dan mulai melukis. Aku tidak lagi bisa melihat wajahnya karena terhalang oleh kanvas dan standar lukis.

"Aku tidak tahu."

"Kenapa kamu tidak mencoba untuk bekerja di suatu perusahaan atau membuka usaha. Maksud aku, tidak akan ada yang berubah jika kamu hanya mengandalkan sebagai ojek online."

"Apalagi ada customer yang membatalkan pesanan karena tidak mampu membayar. Padahal barang sudah di pesan."

Riani mengintip di balik kanvasnya. Dia tertawa. "Maaf," katanya. "Aku akan ganti setelah aku mengurusnya besok."

"Tidak perlu." Aku sering meghadapi pelanggan seperti Riani. Dan aku biasanya memberikan makanan yang tidak jadi terkirim kepada pengamen jalanan yang aku temui ketika sedang berkeliling. "Kenapa kamu tidak memakai uang elektronik? Sekarang 'kan zamannya."

"Jangan seperti suamiku. Dia juga menyarakan itu. Tapi aku lupa dan gak ada waktu mengurusnya."

"Astaga, bilang saja malas. Mengurus hal semacan itu gampang kali."

"Lah, namanya orang malas ya susah, lah, buat di lawan." Riani tertawa. "Terus, apa kamu gak ada rencana mencari kerjaan baru? Kantorku lagi butuh pegawai."

"Justru mengojek adalah pekerjaan baru."

"Maksud kamu? Mengojek hanya kerja sampingan?"

Aku mengangguk. "Iya. Aku bekerja di perusahan alat elektronik, di bagian pembelian. Aku juga mempunyai bisnis."

Tiba-tiba Riani meletakkan palet dan kuasnya. Dia mengubah posisi kanvasnya, agar bisa melihatku sepenuhnya. "Pantas saja. Aku sedikit janggal sama jam tangan Rolex kamu. Coba bayangkan tukang ojek mana yang memakai jam tangan Rolex Original? Bingung gak jadi aku."

Aku menertawakan ekspresi kesalnya. Tanganku menyentuh pergelangan tangan. Segarusnya di sana ada jam tanganku. Kemudian aku teringat aku melemparkan benda itu ke tempat tidur.

"Kamu bisnis apa?" tanyanya dengan nada membentak. Dagunya sampai terangkat.

"Kopi." Aku sedikit membisik ketika mengatakan itu.

"ASTAGA DANU, JANGAN BILANG KOPI TADI SORE ITU KAMU PESAN DARI KAFE KAMU SENDIRI!" Riani melipat tangannya di dada.

Aku tertawa. Ekspresinya sungguh lucu. Bahkan wajahnya sampai memerah saking ngototnya dia berbicara. "Aku bukan pengelolahnya. Aku hanya membantu modal, join bisnis gitulah nanti labanya dibagi."

"SAMA SAJA ITU KAFE MILIK KAMU!"

"Iya, juga."

"Terus ini yang kamu sebut penyesalan terbesarmu? Kamu sekarang sudah kaya tapi tidak bisa menikahi pacar kamu hingga dia diambil orang lain?"

Aku menggeleng. "Bukan itu penyesalan terbesarku."

Riani menatapku dengan tatapan menuduh.

"Aku pernah terlibat tabrak lari. Serius, aku tidak sadar jika aku menyerempet seseorang. Jadi aku terus melaju."

Dia diam. Dia tidak bergerak. Jadi aku melanjutkan.

"Saat aku kembali melewati jalan itu beberapa menit kemudian ada mobil ambulan dan ada korban."

"Kamu tahu!" Mata Riani memerah. "Qiara meninggal karena apa?"

Aku menggeleng.

"Kamu tahu aku kehilangan Qiara karena apa?" Pertanyaan itu  Riani Tangannya tergegam dengan kuat. "Aku kehilangan putriku karena korban tabrak lari."

"Riani, maaf. Aku tidak tahu jika ini menyinggumu." Aku berharap Riani tidam serius mengatakan itu.

"Danu, orang seperti kamu telah merenggut nyawa putriku. Kamu tahu hal buruknya?" Riani melangkah ke arahku. Dia benar-benar marah. Napasnya menggebuh. "Aku bercerai dengan suamiku. Dan sekarang aku telah kehilangan banyak hal."

"Riani, sunggub aku menyesal. Aku tidak tahu jika aku pernah melakukan itu."

"Aku tidak bisa melihatmu lagi." Riani menarikku. Dia menyambar jaket ojek online dan tas waistbag-ku. "Silakan pergi dari rumahku." Saat aku berdiri dia mendorong jaketku di dadaku. "Pergi!"

Aku segera beranjak. Sempat aku mengambil sepatuku pada rak di samping pintu. Riani telah membukakan pintu untukku saat aku memakai sepatu. "Riani, aku minta maaf."

"Pergi!" Dia mendorongku sampai aku berada di luar. Aku berusaha menenangkannya tapi dia membanting pintu tepat di depanku.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro