Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EMPAT BELAS

[ 21.32 -- 22.11 ]

Aku meminta Danu untuk memarkirkan sepeda motornya di garasi umum karena kami berencana untuk naik mobil menghadiri acara Arestia. Danu menurunkan aku di depan pintu masuk rusunawa juga menurunkan barang belanjaan. Selagi menunggu Danu kembali dari garasi umum aku bertegur sapa dengan Joko, dia juga baru dari garasi umum.

"Mau Joko bantu, Mbak?" kata Joko berjalan mendekat.

"Aku sudah sama sepupu aku." Tidak lama Danu muncul dari samping kanan rusun. Dia mengerutkan alis ketika melihat Joko. "Itu dia." Aku menunjuk Danu. Joko langsung menoleh.

"Oalah, Mas ini yang sepupunya Mbak Riani," seru Joko. Dia langsung mengulurkan tangan ke Danu. Danu menyambut tangan itu dan dia tersenyum tapi terlihat kaku. "Ibu-ibu di sini heboh bicarakan Mas."

"Dalam hal baik-buruk?" sahut Danu dengan sedikit tertawa berusaha terlihat ramah.

"Baik, kata Ibuku, Mas ganteng." Ketika Joko mengatakan itu, Danu mengerutkan alis mengarahkan pandangan ke aku.

"Bu Yanti," selaku memberitahu Danu. "Yang suaranya sedikit serak."

Danu langsung manggut-manggut. "Bisa saja Ibu kamu." Mereka tidak lagi bersalaman.

Joko tertawa."Mungkin Mas Danu dan Mbak Riani mau saya bantu bawa barang belanjaannya ke atas."

"Wah, boleh-boleh," seru Danu. "Kalau begitu Riani kamu langsung ke atas saja siap-siap biar aku sama Joko yang bawa semuanya."

"Ide bagus." Aku langsung melenggang pergi meninggalkan mereka.

Saat aku masuk ke rumah. Aku mengganjal pintu agar tidak terkunci automatis. Aku langsung menuju ke kamar Susan untuk mengambil handuk kering untuk Danu mungkin dia perlu. Aku meletakkan di meja makan juga membenarkan posisi kursi meja makan sisa tetangga bekunjung ke rumah tadi. Setelah aku memandang sekeliling, rumah berantakan. Aku langsung beralih membereskan alat lukis. Sebenarnya ada niat membersihkan kuas dan palet tapi terlalu membuang waktu, jadi aku hanya meletakan semua alat lukis ke atas bufet di samping foto Qiara, juga meletakan dompet di sana. Setelah itu aku baru membawa masuk lukisan dan standar lukis ke dalam kamar, aku letakkan di dekat kardus-kardus Susan. Dan aku menutup kamar setelah itu lalu menguncinya. Karena aku takut Danu masuk, saat aku membuka baju. Sekarang aku sudah menanggalkan pakaianku. Kecuali pakaian dalam.

Aku menghembuskan napas ketika membuka lemari. Aku sebenarnya bingung hendak memakai gaun apa. Danu bilang ini pesta rumahan yang pasti tidak terlalu berlebihan, terlihat santai tapi tetap memberikan kesan formal. Akhirnya aku mengambil satu gaun berenda panjang berwarna salem. Menempelkan ke tubuh sambil menghadap ke cermin lemari. Aku menghembuskan napas. Gaun ini panjangnya hanya sampai di bawah lutut.

"Mungkin ini saja." Aku menghela napas. Lalu meletakkannya di atas tempat tidur dengan hati-hati. Tidak tahu kenapa semua yang aku kerjakan semua terasa harus dengan tergesa-gesa.

Aku membungkuk di depan meja rias berniat bercermin apa yang perlu aku lakukan pada wajahku sebelum berpakaian. Aku mengurai rambutku dengan jari. Aku ingat kalau tadi sore aku baru mencuci rambut. Awalnya aku ingin meluruskan rambutku, tapi itu akan memakan waktu lama. Paling tidak aku harus selesai sebelum pukul sepuluh. Jadi aku memutuskan untuk menggelungnya. Aku menyambar botol sabun cuci muka dan segera masuk ke kamar mandi.

Danu terdengar baru tiba saat aku mencuci muka. Dia sedang berbicara dengan Joko suaranya terdengar samar tapi aku memahami jika Danu mengarahkan Joko meletakkan barang belanjaan di atas meja ruang tamu. Baru kemudian aku mendengar suara pintu tertutup.

Danu mengetuk pintu kamar ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi. "Riani?" teriaknya.

"Kamu siap-siap dulu aku belum selesai." Aku duduk di depan meja rias. "Bajunya ada di kamar Susan. Lemari paling kiri itu punya Mas Agas. Kamu pakai terserah yang mana. Kalau kamu mau mandi handuknya sudah aku siapkan di meja makan."

Danu tidak menjawab. Aku juga tidak mendengar suara langkahnya. Tapi kemudian terdengar suara pintu kamar sebelah tertutup. Saat itu aku sudah memulai melapisi wajahku dengan alas bedak. Awalnya aku berniat memakai serangkaian skin care tapi itu tidak mungkin. Pasti menambah waktu lagi. Aku bisa lakukan itu sepulangnya.

Setelah merasa cukup aku beralih mengambil bedak lalu pensil alis untuk sedikit mengaplikasikan ke rambut alis. Kemudian beralih ke gincu. Aku memilih warna fucshia lover.

Ini adalah make-up tercepat yang pernah aku lakukan. Aku tidak ingin Danu menunggu lama karena aku terlalu asik merias diri. Aku memastikan kembali apakah riasan sudah sempurna atau belum. Dan aku masih merasa janggal. Aku memperhatikan semua barang-barang di meja rias. Berpikir manakah benda yang belum aku sentuh selain serangkaian skin care. Hingga akhirnya aku sadar kalau aku belum mengenakan blush on. Aku segera meraup brush juga palet blush on. Aku menimbang warna apa yang harus aku kenakan. Hingga akhirnya aku mencampur dua warna light coral dan soft pink. Saat semuanya selesai aku langsung berpakaian. Mengenakan gaun yang telah aku pilih tadi.

Setelah berpakaian aku bercermin di depan lemari. Satu sentuhan lagi aku selesai. Aku menyisir rambut dengan tangan lalu mengambil kuncir rambut di meja kerja. Berbalik menuju meja rias untuk mengambil beberapa hair pin. Sebelum menguncir rambut aku membuka pintu kamar. Langsung tersentak karena Danu sudah duduk di kursi panjang ruang tamu. Makai setelan serba hitam dan sepatu putih yang dia kenakan untuk ngojek. Tangannya sibuk memasang jam tangan.

"Kamu itu, jam tangan ratusan juta rupiah diletakkan sembarang." Danu tidak menatap aku ketika mengatakan itu. Matanya terfokus membenarkan posisi jam tangan. "Lagi pintu rumah gak di tutup. Malah diganjal sandal."

"Lingkungan sini itu aman. Gak pernah ada itu, kasus pencurian," bantahku. Aku sedang menyisir rambut dengan sisir yang baru aku ambil di atas bufet.

"Tapi kamu kasih kesempatan orang lain buat mengambil." Danu langsung mendongak. Aku kira dia akan terkesima tapi ekspresinya tidak menunjukkan apa-apa. "Aku 'kan sudah bilang ini pesta rumahan kenapa pakai rias segala?"

"Astaga, ini sudah rias paling sederhana. Seharusnya kamu senang. Aku make-up juga buat kamu." Saat itu aku sedang menguncir rambut. "Coba bayangin orang-orang bilang, 'Lihat, deh, gadis yang di samping Danu. Cantik juga?"

"Gadis?" Danu langsung berdiri. "Umur 27 tahun...,"

"26 tahun," koreksiku.

Danu memutar bola matanya. "Terserah! Tapi kamu sudah menikah mana cocok di bilang gadis?"

"Aku gak peduli." Aku langsung masuk ke kamar untuk bercermin memulai untuk memilim lalu menggelungnya dan mengunci dengan hair pin. "Dari pada kamu, milih baju serba hitam. Memangnya kita mau datang ke acara pemakaman. Galau-galau aja kali gak perlu bawa perasaan."

"Karena cuma setelan ini yang ukurannya pas di badanku. Hampir semua ukuran suami kamu itu XL sedangkan aku L, sudah cukup." Danu berdiri di ambang pintu aku melihatnya dari pantulan cermin di lemari. "Kunci mobil di mana? Kamu masih perlu waktu berapa menit lagi?"

"Sabar." Aku sudah selesai menggelung rambut hanya perlu sentuhan lain seperti anting-anting. Aku membuka laci di dalam lemari mengambil anting-anting berwarna hijau telur asin pada mutiaranya. "Kunci mobil ada di pengait atasnya rak sandal. Terus aku minta tolong sama kamu, ambilkan sepatu di lemari bufet yang tengah. Di situ ada kardus warna hitam di paling bawah. Tolong bersihkan, aku mau pakai yang itu."

"Ribet sekali, Tante." Danu sudah menghilang dari pantulan cermin.

Setelah selesai memasang anting-anting aku langsung berjalan ke luar kamar. Danu tengah berjongkok membersihkan stiletto pumps dengan tangan. "Ada tisu Om. Kenapa pakai tangan." Aku meraih dompet di atas nakas.

"Aku gak mau nyampah buat bersihin sampah."

"Ha! Kamu kira sepatu aku sampah?" bentakku.

"Maksud aku kotoran yang ada di sepatu kamu." Danu langsung meletakkan white stilletto pumps itu lalu menyimpan kardusnya ke dalam bufet. "Sudah selesai," katanya sambil berdiri.

"Eh, aku pinjam ponsel kamu, boleh?" Belum juga aku ambil napas setelah mengatakan itu, Danu mengiakan, dia sudah mengulurkan ponselnya.

"Buat apa?" katanya. Aku sudah mengambil ponsel dari tangannya.

"Ponsel aku rusak gak bisa menyala. Mungkin gara-gara kemarin malam aku lempar ke meja rias." Aku tersibukkan untuk masuk ke akun surel. Hingga aku menemukan projek kantor. Lalu aku keluar akun surel dan beralih ke telepon untuk mengetikkan nomor Mas Agastya.

"Di mana sekarang?"

"Di meja kerja." Danu masuk ke kamar saat aku berusaha menghubungi nomor Mas Agastya setelah tersambung ke whatsapp, juga mencoba memakai stiletto. Hingga beberapa saat akhirnya tersambung. " Hallo Mas. Ini aku, Riani."

"Pakai ponselnya siapa ini?" jawab Mas Agastya.

"Teman aku."

"Kok profilnya laki-laki?"

"Panjang ceritanya, dia tukang ojek yang antar pesanan kopi aku tadi." Aku menghela napas berat ketika mengatakan itu. Untuk mengontrol emosi.

"Ponsel kamu kenapa?" Mas Agastya bahkan tidak memberi aku kesempatan untuk menjelaskan panjang dan apa maksud aku meneleponya.

"Gak tahu. Mungkin rusak. Gak bisa nyala."

"Besok jadi ke sini, kan?"

"Aku belum tanya dapat cuti duka atau tidak. Baru bisa dapat jawaban besok pagi jam aktif kerja."

"Ck, langsung ke pelabuhan saja gak usah nunggu jawaban kantor."

"Aku gak tahu lagi. Besok ada kerjaan proyek baru di kantor. Aku dapat bagian. Baru dapat kiriman surel tadi siang." Danu sudah kembali berdiri di dekat pintu depan. Dia memandang ke arah aku tanpa bicara. "Nanti aku hubungi lagi."

"Saya tunggu di pelabuhan. I love you."

"I love you." Sambungan panggilan langsung berakhir.

Aku mengulurkan ponsel ke Danu. "Ponsel kamu baik-baik saja. Kamu lupa tekan saklar On-Off jadi dayanya gak masuk. Tadi coba nyalakan bisa, sudah kumatikan lagi."

Dia tidak segera menerimanya melainkan tangannya terarah ke wajahku. Dia menyentuh pipi kiri. Napas aku tertahan ketika Danu menyentuh wajahku. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan.

"Ada bulu mata," katanya.

"Astaga," aku berteriak, "Danu, aku lupa pakai maskara." Aku langsung memaksa Danu menerima ponsel dan segera berlari masuk ke kamar. Aku langsung menyambar maskara di meja rias lalu kembali.

"Aku pakai di mobil saja." Aku langsung berjalan menuju pintu melewatinya yang masih terpaku. "Bagaimana penampilan aku? Dari skala satu sampai sepuluh."

"Tujuh koma delapan."

"Tanggung sekali." Aku membeo. "Kenapa tidak delapan? Kenapa harus bilangan desimal?"

"Kamu bilang tadi skala satu sampai sepuluh. Tidak ada perintah kalau tidak boleh bilangan desimal. Atau kamu mau aku kasih nilai tujuh?"

"Sudah-sudah lelah aku debat sama kamu. Gak Mas Agas, Gak kamu, ajak debat mulu." Aku langsung melenggang keluar rumah. Danu menahan pintu di belakang untuk dia keluar. "Dari pada kamu merundung aku, lebih baik kamu ceritakan kenapa putus sama Arestia?!"

Danu menghela napas. "Kamu masih ingat 'kan kalau aku punya prinsip jika urusan finansial harus aku penuhi sebelum aku menikah."

Aku tidak ingin menimpali kalimat Danu dengan mencecarnya. Jadi aku putuskan untuk menjadi pendengar seperti halnya dia lakukan padaku. Kami berjalan bersisian menuruni tangga. Aku yang mengatur tempo agar jalan kami cepat karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh saat aku menilik waktu di tangan Danu dengan menarik tangan kirinya.

"Awal kami pacaran semua terasa baik-baik saja. Aku merasa ingin terus memilikinya. Menginginkan agar dia tetap berada di sampingku. Saat kami magang semua masih terasa baik. Padahal waktu bertemu kita jadi semakin sedikit. Kami masih bertukar kabar dan menyempatkan untuk bertemu di akhir pekan. Entah itu makan bareng di pinggir laut. Ngobrol santai di kafe. Atau sekadar jalan-jalan di alun-alun."

Kami tiba di lantai dasar dan hendak keluar gedung. Danu mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. Aku memandang setiap gerakan Danu. Dia bermain-main kunci mobil. Melempar-lemparkan ke udara.

"Hingga hari terakhir magang. Kami sama-sama bertukar kabar bahagia. Aku baru tanda tangan kontrak dari perusahaan tempat aku magang. Mereka suka dengan cara kerjaku." Danu berhenti melangkah. "Kamu tunggu di sini."

Aku menggeleng. Danu seakan paham kalau aku masih ingin mendengar kelanjutan ceritanya. Jadi kami melanjutkan berjalan ke sisi kanan rusun menuju garasi umum.

"Sedangkan Arestia mendapatkan hadiah mobil dari Ayahnya sebagai kado ulang tahun. Padahal ulang tahunnya masih bulan depan lagi. Sejak itu aku berpikir...," Kami berpisah saat di garasi. Danu menuju kursi kemudi sedangkan aku menuju sisi lain, kursi penumpang. "Kado apa yang harus aku berikan padanya."

"Iya juga, pasti sulit sekali. Aku paham kalau itu." Kami masih sama-sama belum masuk ke dalam mobil. Padahal sudah membuka pintu mobil. Saling pandang berbatasan atap mobil. "Jadi kamu kasih kado dia apa?"

Danu masuk dan menutup pintu. Aku pun juga.

"Bulan depannya 'kan aku sudah gajian." Danu menyalakan mesin mobil. "Aku menggunakan gaji pertamaku untuk membelikannya kalung dengan bandul berinisial A. Cukup klise dan tidak sebanding dengan mobil yang dia dapat dari orang tuanya."

"Danu!" Aku memotong perkataan Danu. Saat itu mobil sudah melaju keluar dari garasi. "Jujur aku bangga sekali kalau jadi Ares kalau tahu kamu gunakan gaji pertama kamu untuk membelikan kado untuknya. Kamu tahu poin pentingnya?"

Danu tidak menjawab karena saat itu mobil kami hendak menyeberang jalan. Jadi pandangan Danu terfokus pada jalanan. Aku memilih diam. Sampai kami berhasil menyebrang.

Tangan Danu melepas kancing jasnya. "Lanjutkan?"

"Serius. Gaji pertama adalah hal yang paling membanggakan bagi semua orang. Dan kamu memberikan untuk orang spesial itu romantis sekali." Aku menurunkan sun visor untuk bercermin memakai maskara.

"Tetap saja itu tidak sebanding."

"Tapi dia senang tidak dapat hadiah itu?" Saat itu aku sudah memulai memakai maskara pada bulu mata sebelah kanan. "Apa kata dia saat menerima hadiah itu?"

"Dia bilang, 'Aku suka sekali dengan ini. Serius. Apalagi tahu kamu rela pakai gaji pertama kamu.'."

"Tuh, 'kan!" Aku sudah berganti ke bulu mata sebelah kiri.

"Tapi, sebelumnya, dia pernah bilang, 'Kalau kamu gak kasih kado ke aku juga gak apa, Danu.'."

Aku menutup maskara lalu menyimpannya di dasbor. Aku menutup sun visor lalu mengatur posisi duduk untuk menghadap dia. "Terus?"

"Aku selalu berpikir bahwa aku tidak akan pernah bisa membahagiakan dia, seperti keluarganya."

"Susah kalau kamu memikirkan materi sebagai tolak ukur kebahagiaan."

"Pernah suatu saat aku tidak berpikir demikian. Tapi melihat keluargaku sendiri saja aku masih belum bisa membahagiakan mereka." Danu menoleh ke aku. Sorot matanya tulus. Perutku terasa mencelus. "Ayah aku PNS. Beliau pernah bilang ke aku, jadi PNS itu gak bisa kaya dan gak bisa miskin. Gaji yang di dapat hanya cukup untuk menunjang hidup bukan untuk hal-hal lain. Kalau mau kaya Ayah bisa saja korupsi, tapi tidak mau anaknya makan uang haram."

"Kamu berapa bersaudara?" Aku ingin bertanya apakah orang tua Arestia termasuk orang kelas atas. Tetapi mengingat kalau memberi kado mobil itu sudah dapat dipastikan.

"Aku anak kedua dari empat bersaudara. Kakak laki-laki sudah berumah tangga, dia PNS di Dinas Perikanan, adik perempuanku yang pertama masih kuliah, terus adik laki-laki yang terakhir masih SMP kelas dua."

Tidak menutup kemungkinan Danu pasti sering mengirim uang untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya. Aku masih tetap tidak berani menanyakan hal yang mengarah ke urusan materi. Jadi aku tetap memilih diam.

"Saat awal-awal aku kuliah. Aku mendapat beasiswa jalur prestasi. Tapi saat adikku yang pertama mengajukan beasiswa itu ditolak. Karena dia masuk jalur mandiri." Danu memberikan ponselnya padaku. "Tolong kamu buka pesan WA dari Kalista. Dia tadi berbagi lokasi."

Aku langsung bergerak. Menerima ponsel Danu. Dan tersibukkan untuk melihat Maps juga menunjukkan Danu arah jalan. Di samping itu aku berpikir liar. Biarpun aku merasa sudah cukup jelas dengan semua cerita Danu. Aku menyadari jelas jika tidak mudah berada di posisi seperti Danu. Dari cerita itu aku belajar satu hal. Tidak semua orang siap untuk menikah pada usia matang. Dulu aku mendesak suami pertamaku, Danu, untuk segera menikahi aku, karena permintaan Ibu. Dia pasti merasa tertekan saat itu.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro