DUA PULUH TUJUH
[ 05.05 -- 05.36 ]
Riani tidur memunggungiku. Sangat hati-hati aku turun dari ranjang supaya dia tidak terbangun. Aku menyibak selimut nyaris tidak menimbulkan suara, kasur berdenyut lemah saat kakiku turun ke lantai. Aku langsung berdiri. Ruangan sangat gelap kecuali cahaya dari balkon. Aku bisa menemukan pintu kamar dan aku segera menerobos keluar.
Aku langsung menuju kamar Susan. Yang kulakukan pertama kali adalah memeriksa ponsel semoga keadaannya baik-baik saja. Tapi ponselku tidak menunjukan notifikasi apapun. Waktu menunjukan hampir melewati masa subuh. Aku cukup lega bisa tidur sejenak. Kuhela napas dalam-dalam dan segera berganti baju. Aku meletakkan piama ke keranjang pakaian kotor. Aku tidak dapat menemukan weist bagku di kamar Susan. Tiba-tiba aku teringat kursi meja rias.
Aku menghembuskan napas. "Apa aku harus masuk ke sana lagi?"
Aku juga melupakan jaketku di dalan kamar Riani. Aku langsung bergerak dengan tenang dan melesak masuk ke kamar Riani. Dia dalam posisi tidur yang sama saat aku meninggalkan kamarnya. Buru-buru aku mengambil jaket dan weistbag, lalu sesegera mungkin keluar. Aku sempatkan untuk melepas perban yang melilit di tanganku lalu meletakkan di atas bufet.
Aku tidak bisa membayangkan hal terburuk yang pasti terjadi setelah ini. Mungkin suami Riani bisa datang kapan saja ke rusun. Dan jika aku terus berada di sini maka aku akan semakin masuk ke dalam masalah mereka. Satu hal penting aku tidak busa mrmbiarkan Riani menghindari suaminya, dia tidak akan pernah menyelesaikan apa pun. Selebihnya dia berkhianat dengan kalimatnya yang memintaku melakukan hal kecil untuk merubah keadaan. Mereka hanya perlu berbicara dengan kepala dingin. Tapi sudahlah. Mereka lebih tua dariku. Harusnya mereka tahu mana yang terbaik untuk diri mereka sendiri. Tapi, aku tidak bisa memastikan apa yang sebenarnya mereka pikirkan. Bertahan atau berakhir? Mereka butuh jawaban dan hanya mereka yang bisa menjawabnya.
Aku langsung keluar. Tanpa menoleh kebelakang lagi. Kututup dengan hati-hati pintu depan. Jantungku berdebar tapi juga merasa tidak enak harus pulang tanpa berpamitan ke Riani. Aku menghebuskan napas. Ini harus terjadi.
Aku mengeluarkan ponsel dan berusaha menghubungi Kalista. Pada percobaan panggilan yang ketiga dia mengangkat telepon.
"Tumben-tumbenan kamu telepon jam segini?" sergah Kalista padahal aku belum sempat mengatakan 'halo'. "Ada apa? Aku baru selesai mandi."
Aku melihat layar untuk mengetahui waktu. "Ini masih pukul lima."
"Iya, terus?" bentaknya. "Jadi, kenapa kamu menelepon?"
"Aku minta tolong sama kamu. Ini penting." Aku mendesis juga sedikit berlari menuruni tangga. "Kamu bisa mampir ke rumahku sebelum berangkat kerja. Eh, maksud aku indekos."
"Yah, aku akan datang. Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku sudah sampai ke lantai satu dan sekarang sedang berjalan menuju ke garasi umum. "Semua baik-baik saja, 'kan?"
"Nanti aku ceritakan." Aku langsung menutup sambungan telepon lalu menyimpan ponsel ke weistbag juga mengambil kunci sepeda motor.
Aku langsung menaiki sepeda motor, memakai helm, dan tanpa menunggu lama segela meninggalkan lingkungan area rusunawa. Selama sisa perjalanan aku memikirkan banyak hal, ketika Riani terbangun dia mungkin mencariku, suaminya yang tidak bisa dipungkiri kecewa karena Rianu tidak datang. Dan tentang diriku sendiri. Seharusnya melanjutkan hidup tanpa memikirkan kemungkinan terburuk untuk orang lain.
Sesampainya di indekos, aku melihat Kalista dengan setelan pakaian kerja berdiri di depan pintu indekos. Dia hanya berdiri dan memegang tas tangan kecil hitamnya di depan tubuhnya. Sampai akhirnya dia melihatku dia langsung menyergah. "Demi apa pun itu, jangan buat hidup aku sia-sia harus datang ke indekos kamu jam lima pagi. Ada apa?"
"Kan aku bilang sebelum kamu berangkat kerja! Dan kamu biasanya berangkat kerja pukul tujuh." kataku tanpa memperhatikannya. Karena saat itu aku sedang berusaha membuka kunci pintu yang sedikit macet.
"Astaga, Danu." Aku sudah berhasil meneorbos masuk ke kamar, Kalista mengikutiku di belakang. "Menurut kamu, aku bisa menahan rasa penasaran itu selama dua jam."
"Ini masih pagi, jangan berisik." Aku langsung menuju lemari dan mengeluarkan beberapa pakaian dan kuletakkan di atas tempat tidur. Sedangkan Kalista menuju dapur kecil di samping kamar mandi untuk mengambil roti. "Aku mau minta tolong." Aku melihat Kalista berdiri di sebrang tempat tidur.
"Apa?" jawabnya sinis. "Dan kamu kenapa harus mengeluarkan bayak pakaian?" Saat itu aku berusaha mengambil tas tangan besar di atas tempat tidur.
"Kamu bisa mengurus surat cuti untukku selama seminggu ke depan?" Aku yakin Kalista bisa mengatasi itu. Karena awal tahun ini melakukannya. "Aku mau pulang ke Surabaya."
Aku berjalan menuju meja kerja. Mengambil dua buku agenda di dalam tas kerja. Lalu memberikan kepada Kalista. "Dan aku minta tolong lagi. Ini berikan ke rekan kerja satu ruangan denganku. Kamu gak perlu jelasin ke mereka. Mereka pasti sudah tahu. Dan jam tujuh buku ini harus sudah ada pada mereka."
Kalista mengangguk tapi ekspresinya tercengang. "Pertanyaan!"
"Apa?" Aku sudah berjalan ke lemari lagi. Aku langsung berbalik melihatnya.
"Hal penting apa sehingga aku harus melakukan ini semua, membantu kamu melakukan semua pekerjaan kamu di kantor dan jujur itu sangat merepotkan." Kalista menyimpan buku agenda itu ke dalam tasnya. "Berikan alasan yang kuat selain pelarian."
Kalista naik ke tempat tidur dengan sepatu yang masik terpakai. Aku menunjuk ke arah kakinya saat hendak sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Tapi dia tidak menghiraukan. "Sejauh ini aku menganggap bahwa kamu kabur setelah kejadian di rumah Chris semalam. Ada sangkalan?"
"Bukan itu." Aku menggeleng dan berbalik untuk mengambil beberapa pakaian dalam. Kalista mencibir. "Mungkin keadaan di rumahku tidak membaik aku harus atasi itu. Dengan keberadaanku di sini, orang tuaku akan selesai dan adik-adikku akan menanggung akibatnya."
Kalista membantuku melipat kaos dan memasukkan ke dalam tas. "Oke, aku setuju dengan alasan kamu yang satu ini."
Kami saling diam dan tidak ada pertanyaan lagi darinya. Namun, setelah beberapa saat aku menyadari bahwa dia sedang memperhatikan aku. Dia memberikan tatapan menyelidik, sangat tidak mengenakkan.
"Apa?" Aku mencemooh. "Jangan dipikirkan."
"Siapa sebenarnya Riani?" Kalista menghela napas. "Dari mana kamu bisa bertemu dengannya? Bukan gaya kamu membuat keributan di tengah pesta, Danu."
Alisku terangkat. "Aku tidak membuat keributan. Aku hanya...," kalimatku terhenti karena aku memikirkan frasa yang tepat untuk itu. "Memberi pelajaran."
Kalista tidak memberikan respon apa pun selain tatapannya yang mencurigakan. Aku mendesah. "Apa lagi? Tolong berhentilah menatapku seperti itu. Sangat menyeramkan."
Kalista hanya mencibir. Mengedikkan bahu dan bola matanya berputar ke atas.
"Katakan!" bentakku. "Astaga, apa yang kamu pikirkan sekarang tentangku. Cepat katakan?"
"Aku hanya berpikir kenapa kamu menyimpan fakta tentang Riani, untukku." Kalista membantuku menata pakaian dalam ke dalam tas. "Itu kalau memang dia bukan orang penting."
"Aku dan Riani sudah berakhir," jawabku menatap mata Kalista langsung. "Dan kami hanya berteman. Cerita berakhir sampai di sana. Titik."
"Aku tahu." Kalista turun dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur lagi. "Tapi bukan itu inti pertanyaanku."
Aku hanya menoleh ke arahnya, membeku beberapa saat. Berusaha mencerna kalimatnya. Sampai akhirnya dia berbalik dan melihat mataku.
"Apa rencana kamu setelah ini. Ayolah Danu, kamu sedikit tertutup dua tahun terakhir." Dia mengunyah roti gandum sekali lagi. Itu adalah potongan terakhir yang aku punya di toples rotiku. "Kehadiran Riani sangat membungungkan. Kamu memutuskan Arestia tiba-tiba... ya, walapun aku tahu alasannya karena dia bercerita padaku setelah pesta... kamu bilang tidak ingin datang ke pesta tapi akhirnya kamu membawa Riani. Siapa dia? Kamu bukan pembohong ulung Danu. Jadi aku tahu dia bukan pacar kamu."
Aku memejamkan mata lalu menghembuskan napas. "Memang itu yang terjadi? Terus?"
"Di bukan wanita... eh, maaf." Kalista menutup mulutnya. Aku bisa melengkapi kalimat itu dengan kata bayaran. "Aku merasakan dia sangat kesal dengan Om Rifan. Dan sepertinya kamu kenal dengan Om Rifan, dia kan masih terikat dengan keluarga Chris. Hal terpentingnya Chris orang baru dalam hidup kamu."
Aku mengangguk. "Riani juga orang baru. Kami hanya menghabiskan waktu semalaman di rusunnya, kami bercerita banyak hal, secara harfia dia terlibat dalam masalahku dengan Arestia. Aku memang sebelumnya tidak kenal dia. Aku hanya ojek dan dia memesan kopi dari aplikasi." Aku memasukkan kaos terakhir ke dalam tas langsung melepas jaket dan melepas kaosku.
Kalista mendesis. Sepertinya dia mengetahui cerita di balik pertemuanku dengan Riani, dia pasti sudah berpikir bahwa telah melakukan banyak hal yang secara harfiah di luar batas. "Aku tidak ingin membahas apa saja yang kalian lalukan, yang jelas dua orang dewasa berlaian jenis di dalam ruangan yang sama selama berjam-jam pastinya tidak hanya sekadar bercerita."
Aku mengangguk. "Aku sudah menduganya kamu akan bilang seperti itu."
"Danu, kita berteman bukan hanya sehari dua hari. Tapi sudah bertahun-tahun." Kalista tersenyum dan alisnya terangkat. "Jam berapa kamu berangkat?"
"Tiket kereta jam sebelas." Aku menghubungkan ponselku ke kabel pengisi daya. "Aku harus bertemu putriku."
"Astaga!" Ekpresi Kalista terlihat terkejut. "Kamu masih sering datang ke sana."
"Dia putriku Kalista." Aku berjalan menuju jemuran kecil di samping dapur untuk mengambil handuk.
"Dia punya ayah, dan kamu tahu itu." Kalista berjalan menuju kulkas dan mengambil minum
"Itu aku," jawabku singkat. "Kamu tidak bisa menyangkalnya lagi."
Kalista mendesah "Oke, baiklah, aku akan urus surat cuti kamu." Kalista mengambil tas tangannya. "Ada yang perlu kamu bicarakan dengan aku lagi?" Tatapan mata Kalista terlihat kecewa.
"Aku mengacau dengan Riani," kataku. "Dia sudah punya suami dan kami melakukannya."
Mata Kalista terbelalak. "Kamu serius?"
Aku mengangguk satu kali. Sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi. "Jadi, selama aku di Surabaya mungkin bisa menenangkam pikiranku."
Kalista menghembuskan napas. "Sudah aku duga tadi." Kalista berjalan menuju pintu. "Danu, Om Rifan memang berengsek tapi yang kamu lakukan kepadanya memperburuk hubungan aku dengan Ares. Karena aku yang memaksa kamu datang ke sana."
"Kalista, aku minta maaf." Aku mendekat ke arahnya. Dan dia tampak tidak ingin disentuh.
"Lakukan yang menurut kamu benar." Kalista langsung keluar. "Dan Olivia, aku suka kamu masih ingin tetap mejaganya."
"Kamu masih merahasiakan ini, 'kan?" Aku mermas handuk di tanganku. "Hanya kamu yang tahu soal dia."
Dia mengangguk. Lalu keluar dari indekosku. Aku mengusap rambutku dengan kasar. Saat melihat Kalista membanting pintu. Kaca di pintu sampai bergetar. Aku mendesis.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro