Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA PULUH TIGA

[ 01.58 -- 02.11 ]

Aku menyugar rambut dengan tangan yang sehat ketika keluar dari rumah. Selagi menunggu Riani mencari kunci mobil di dalam. Tidak tahu butuh berapa lama dia akan mencarinya, yang aku ingat waktu itu dia langsung masuk ke kamar dan menguncinya, kemudian dia keluar dan hanya mengenakan pakaian dalam.

"Riani, masih lama?" Aku menghembuskan napas. "Di luar sini dingin sekali." Sangat dingin.

"Sudah," jawabnya muncul dari pintu depan. "Ternyata ada di kamar mandi. Kenapa bisa ada di sana yah?"

"Karena kamu sepulang dari rumah Chris kamu langsung masuk kamar dan keluar hanya mengenakan bikini. Kamu ingat? Tidak lama setelah itu kita...,"

"Jangan katakan kalau kita berhubungan badan," sergahnya. "Iya, aku masih ingat. Aku yang salah. Jangan salahkan lagi." Kami berjalan menuju tangga dengan langkah santai.

Aku tertawan geli. "Kamu yang bilang."

Aku memejamkan mata berusaha untuk tidak mengingat Riani, itu sangat sulit. Rasanya seperti terhubung ketika sedang berciuman. Bahkan ikatan itu terus aku ingat ulang. Tidak pedulikan berapa berat harga yang harus tertanggung. Riani mungkin mempunyai beban lebih berat dariku tapi dia cukup berani melakukannya sedangkan aku hanya bisa menuruti alih-alih karenanya, aku juga menginginkan, tapi tidak sekeras untuk menahannya.

"Astaga?" seru Riani. Mataku sampai terbuka. Lamunanku telah buyar. "Kamu tidak mengatakan tapi kamu memikirkannya, Danu. Apa-apaan itu?!"

Sebelum aku menanggapi Riani buru-buru menambahkan. "Tapi, bagaimana kamu bisa melakukan sehebat itu? Luar biasa."

Aku tertawa geli. "Ada pengalaman ada hasil."

"Jadi kamu pernah melakukan sebelumnya?" Riani menepuk lengan. Lagi-lagi lengan kiri jadi sasaran empuk. "Sama siapa? Eh, dengan siapa pun itu kamu berhubungan seks, pasti tidak lebih menantang dari apa yang telah kita lakukan. Iya 'kan?"

Aku sedikit memberinya senyum. Biarpun aku merasa terancam untuk menatap matanya sedikit merah karena usai menangis. "Wanita satu-satunya yang pernah kupunya cuma Arestia." Aku menghembuskan napas. Alisku terangkat. "Dan mungkin ke depannya aku harus melakukannya sendiri."

"Ah, iya kamu bilang tujuh bulan yang lalu." Kami sampai di ujung atas hendak menuruni tangga dari lantai tiga ke dua. Kami berjalan tanpa tergesa-gesa.

"Dan seminggu ini terasa berat." Aku melonggarkan posisi ikat pinggang yang terlalu ketat jika dibuat menuruni tangga. Kami berjalan telalu pelan ketika menuruni tangga. "Terlalu banyak berpikir. Mencemaskan banyak hal."

"Mungkin bisa sedikit melakukan hal kecil." Riani mengencangkan posisi sweternya. Di lorong tangga udara terasa semakin menukik. "Jadi tidak membiarkan rasa takut jadi alasan untuk sembunyi."

"Untuk siapa yang kamu maksud?" Karena menurutku yang diungkapkan Riani lebih cocok untuk dirinya, aku tidak membutuhkan itu. Aku memperhatikan wajah Riani yang sembab, dia memandang ke arah bawah memikirkan sesuatu alih-alih seperti ada yang ingin di cari.

"Kita," jawabnya. Dia menoleh dan aku sedikit terkejut karena kepergok sedang memperhatikannya. "Kamu layak memiliki hubungan nyata dalam hidup kamu."

"Yah, aku dan Arestia tampak nyata. Tapi tidak untuk selamanya." Aku mengangguk dan membiarkan pikiranku terbawa ke suatu tempat, mengingat apa saja yang pernah aku lakukan dengan Arestia. Aku masih tidak bisa berhenti memikirkannya biarpun dia menjadi milik orang lain dan takdirku untuknya telah usai. Semua berujung pada diriku yang mencemaskan keadaan.

Betapa setiap malam aku kerap bertanya apa yang membuat dadaku sesak. Aku merasa paru-paruku senyap, dan kuharus membunyikan sesuatu agar bisa bernapas. Sesuatu yang besar yang harus aku lakukan dan bukan hal kecil lagi. Satu helaan napas tidak akan cukup mengisi udara di sana. Aku berhenti melangkah dan Riani juga akhirnya menyadari ekspresi wajahku mungkin tengah berubah. Riani menatapku beberapa detik dan aku membalasnya.

"Kamu benar." Aku menyusupkan tangan ke lehernya. Dia mengernyit. "Hubunganku dengan Arestia tidak nyata. Alasan yang sama kenapa kita berharap masih tetap di sana. Dan aku tidak bisa memikirkan itu untuk Arestia karena kami tidak pernah sampai ke sana."

"Aku paham." Riani menyentuh tanganku untuk menjauh dari lehernya. Dia meremas tanganku di depan tubuhku. "Karena bukan Arestia jawabannya. Dia baik untukmu tapi kamu tidak bisa terus berpura-pura untuk mengambil hatinya. Dan hasilnya, lihat! tidak bertahan lama, kan."

Alisku terangkat. "Benar sekali." Ikatan tangan kami terputus.

"Kamu boleh saja takut dengan pernikahan tapi. Kamu harus tahu komitmen yang membuatmu ingin bertahan untuknya, biarpun dia pergi sejauh apa pun itu, biarpun dia menyakiti. Maksud aku, secara verbal." Kalimat Riani menamparku. Pastilah karena perselisihan yang kami alami kurasa hal itu sudah terjelaskan dengan yang dia katakan beberapa detik yang lalu. Pasti ada kisah haru di sana tentang aku dan Riani. "Aku selalu berdoa Mas Agastya masih memiliki pandangan seperti itu."

"Jangan menyebut namanya di dalam percakapan kita," protesku. Karena dia yang melanggar aturan kami. "Aku yakin kamu memiliki apa yang tidak dia punya untukmu. Dan jangan kamu jadikan ancaman untuk menuntut balasan darinya."

"Aku menyerahkan hatiku untuknya, dan aku merasa telah menenggelamkan usahanya untuk menyerahkan hatinya untukku." Aku menghela napas. Senyum Riani memudar. Jika dia sudah mengungkit tentang suaminya selalu memberikan wajah yang turun dan kusut.

"Baiklah, karena kamu sudah melanggar aturan kita." Aku kembali melangkah. Dia mengikuti. "Mungkin bisa sedikit kamu ceritakan tentang bagaimana kamu bisa jatuh hati dengan seorang pria luar biasa itu." Aku tersenyum ke arahnya dan dia juga memberikan senyuman. "Pria yang memiliki kata-kata tersembunyi dalam menyikap sesuatu hal yang sederhana," tambahku.

Ekspresi Riani membeku untuk beberapa saat. Sorot matanya menerawang. "Aku datang ke galeri seni di Bali bersama Dewan Kesenian Banyuwangi. Aku dalam kondisi hamil waktu itu." Kami tiba di lantai dua. "Sedangkan Mas Agastya sedang mencari lukisan untuk hotelnya. Jadi ada cara lelang begitu dan Mas Agastya mengincar beberapa lukisan untuk keperluan hotelnya."

Aku mengangguk. Kami sempat terhenti melangkah karena Riani mengusap betisnya. "Kenapa?" Dia menggeleng. Tapi aku merasa Riani kelelahan pasalnya kurang dari 24 jam ini dia sudah naik turun tangga berkali-kali. Dia juga berjalan berjalan jauh untuk menuju Roxy.

Riani melanjutkan langkahnya dan aku juga, biarpun tatapanku tidak bisa teralih untuk tidak mengarah ke kakinya. "Sampai mana aku tadi?"

Aku baru menghela napas untuk menjawab Riani sudah menyelaku, "Oh, aku bertemu Mas Agastya saat sebelum aku mengikuti kelas melukis Bapak Eka Widjaja (Wijaya). Dia bilang, Wahai seniman muda tarik napas dan biarkan ilham menguasai otakmu melalui sela-sela hidung."

"Jorok sekali," tukasku.

"Ya!" Riani tertawa. "Aku juga bilang seperti itu ke Mas Agastya saat itu." Riani terdiam. "Itu sih yang aku ingat kenapa aku bisa kenal suamiku."

Aku ingin mengatakan banyak hal dari kelanjutan cerita itu. Pikiranku hanya tertuju pada kondisi Riani yang hamil. Bagaimana hubungannya dengan si Danu? Apakah masih baik-baik saja? Kata-kataku tersekat. Prinsip ku adalah tidak baik menghakimi cerita sempurna karena itu adalah obat terbaik untuk hati dan pikiran yang rumit.

"Sebentar aku masih bingung dengan kapan kamu menikah dengan Mas Agastya?" Aku menghentikan langkah. "Kalian sempat tinggal besama dengan Susan juga kan?"

"Enam bulan lalu aku menikah dengan Mas Agastya. Tiga bulan lalu Susan pindah ke indekos."

Aku mengangguk. "Oke lanjutkan."

"Kami bertemu lagi kurang lebih setelah tiga bulan aku cerai dengan Danu." Riani mengerutkan alis mandang ke tembok di belakangku. "Waktu itu ada acara apa, yah?"

Aku melanjutkan langkah Riani mengikuti dengan ekspresinya yang masih terlihat berpikir. "Itu tidak penting," seruku karena sudah tidak sabaran dengan kelanjutan ceritanya. Aku tidak menyangka jika pertemuan kedua mereka bisa berujung dengan pernikahan.

Aku mencerna cerita Riani. Seakan dia mencari kaleidoskop hidupnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Biarpun dia hanya mengungkapkan dalam beberapa kalimat. Dari sana aku mempercayai beberapa bagian terpenting. Riani terkesan dengan pertemuan pertama. Riani merasa bahwa Mas Agastya adalah pilihan terbaik untuk menyembuhkan rasa sakitnya pascacerai dengan Danu, serta mereka orang yang beruntung bertemu pada pertemuan kedua dan menjalin bahtera pernikahan.

Lain pula denganku. Hanya bertemu dengan satu wanita yang aku dambakan. Tapi sepanjang waktu aku hanya berpura-pura bahwa aku bisa membuatnya bahagia. Terus menghibur diri dengan berkata bahwa Arestia adalah akhir perjalanan cintaku. Dan bagian terburuknya adalah masalah kepercayaan apakah aku bisa memulai dengan wanita lain. Cukup menggampar wajahku apakah aku bisa merayu seseorang agar terpikat denganku. Tapi sejauh ini aku hanya meratapi keputusanku bahwa telah melepas wanita yang pernah kupuja untuk berada dalam pelukan orang lain.

"Mungkin saat aku melamar pekerjaan di hotelnya yang ada di Banyuwangi." Riani akhirnya melanjutkan. "Aku diterima dengan alasan bahwa kita adalah teman. Jadi setelahnya kami menjadi dekat dan sering bertemu."

Mengusap tengkuk. Sebenarnya aku masih setengah sadar dengan lamunan. Tapi setelah beberapa detik mengejapkan mata aku berhasil menyaring kalimat Riani. "Itu luar biasa," seruku.

"Ya, Danu." Wajah Riani berbunga-bunga. "Luar biasa Mas Agastya menerima semua masa laluku. Bahkan dia adalah menghibur lara setelah kehilangan Qiara. Kamu tahu apa yang dikatakannya." Riani menghembuskan napas. "Aku akan menerimamu apa adanya. Dan soal mempunyai anak adalah urusan nanti. Kita bangun rumah tangga ini dengan pikiran terbuka. Tapi aku keluar dari pekerjaan di hotel Mas Agastya setelah itu dan mencari pekerjaan baru."

Aku menggelengkan kepala saking takjubnya dengan kalimat itu. Jadi, terbukti sudah pradugaku mengenai Mas Agastya selama ini. Tapi jujur aku malu. Aku pantas membayar atas kalimat Riani yang pernah dia katakan untukku. Aku adalah pria berengsek dari segala yang pernah aku lakukan untuk Riani. Aku pria kurang ajar yang menyikap kebencian dan cinta yang dirasakan Riani untuk Mas Agastya. Aku pria bajingan yang berusaha masuk ke dalam kehidupan Riani. Dan aku pria keparat yang membutakan Riani dari pikiran tentang Mas Agastya.

"Selama tiga bulan terakhir dari penyesalan yang pernah aku lakukan, Aku tidak pernah menyesal menerima Mas Agastya sebagai suamiku." Perutku mencelus mendengar kalimat tambahan dari Riani.

"Joko?" panggilku pada seseorang yang tengah duduk di ujung bawah tangga lantai satu. Aku dan Riani langsung bergegas mendekat saat sang empu nama menoleh. "Kenapa kamu ke sini?"

"Lagi cari Wi-Fi gratis, Mas Danu." Joko menunjukkan ponselnya yang sedang menonton sebuah video yang terjeda.

"Streaming film?" tanya Riani.

Joko mengangguk. Kemudian tatapan Joko mengarah ke kaki Riani. "Ini Mas Danu dan Mbak Riani mau ke mana? Jam segini."

Riani tampak kikuk ketika menjawab Joko. Dia sedikit menyembunyikan kakinya di belakang kakiku. "Ambil barang di mobil."

"Kalau begitu Joko bantu, yah?" Joko mematikan ponselnya lalu menyimpannya pada celana komprang abu-abu yang tampak memakan separuh tubuh jakung pria lugu ini.

"Ah, boleh. Kebetulan sekali ada kamu." Aku tertawa karena Riani mencubit pinggangku alih-alih bersikap ramah di depan Joko. "Tadi malam kita bertemu kamu bantu bawa barang ke atas. Sekarang juga."

Joko tertawa. Sedangkang Riani tersenyum agak malu-malu dan gerakan tubuhnya terlihat janggal karena tidak nyaman degan pahanya yang terbuka karena celana pendek yang dikenakannya.

Aku menahan tawa dan Raini langsung menyadari jika itu untuknya. Dia menghantam lengan kiriku.   Aku sedikit menghindar tapi kualahan.

"Ayo, Joko kita ke garasi!" seruku.

"Terima kasih, Joko." Tambah Riani berjalan di belakangku dengan malu-malu.

Kami langsung berjalan ke arah depan gedung. Dan ke arah sisi kanam gedung menuju garasi umum. Udara semakin menukik dan Riani lagi-lagi mengusap betisnya.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro