Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA PULUH SATU

[ 00.56 -- 01.21 ]

Aku ingin Riani duduk bersamaku di atas tempat tidur, tapi dia hanya mengitari tempat tidur. Tadinya aku tidak dapat duduk dengan nyaman padahal sudah aku memposisikan punggung ke sandaran tempat tidur dengan kaki yang kuselonjorkan lantaran aku sedang menyimak Riani sedang mendebatkan sesuatu hal tentang Bali-Banyuwangi bersama suaminya. Dia memilih duduk di samping kardus-kardus barang milik Susan dan berupaya mengeluarkannya. Aku merasakan kecanggungan. Dan aku merasa kacau berada lama di dalamnya.

Aku mengira semua yang dia pertahankan di sini adalah tentang Susan, dan jika dia membicarakan ini dengan kepadanya pasti Susan tidak akan salah mengartikan. Aku salah menilai Riani. Aku merasa bodoh membiarkan diriku melakukannya pada Riani. Harusnya aku mengelak dengan hasratku untuknya. Tak pedulikan sebarapa keras dia memaksa. Harusnya aku tidak menciumnya atau membiarkannya menciumku, harusnya aku tidak biarkan dia melepas ikat pingganggku. Dan harusnya aku menyadari apa yang menganggu pikirannya ketika itu. Dan harusnya aku tidak mendesaknya untuk menceritakan masalahnya setelah apa yang kami lakukan. Aku tahu ini berat bagi Riani.

"Riani?" Aku memosisikan duduk bersila menghadapnya dari atas tempat tidur. "Aku tahu ini sedikit bodoh, apakah kamu baik-baik saja sekarang, dan apa yang kamu rasakan sekarang? Tapi aku tidak bisa menahan untuk tidak menanyakan."

"Kamu boleh mendorong aku sesuka hati tapi aku tak akan pergi." Riani tidak melihatku ketika mengatakan itu. Tangannya tersibukkan menumpuk kertas yang baru di keluarkan dari kardus. "Danu, dia tidak pernah mendengarkan bagaimana aku bisa mendengarkan. Aku bahkan tidak bisa meninggalkan semua ini. Dan aku tidak bisa membayangkan hidup bersama keluarganya, mereka pasti akan menatapku seperti wanita kacau, yang ketakutan."

"Oke," tukasku. "Terus bagaimana aku? Kamu pikir aku akan baik-baik saja berada di dalam masalah pernikahan kalian."

Riani memandangku dengan tatapan terkejut atau kecewa, aku tidak bisa membedakan. Aku tahu dia pasti kecewa dengan semua hal yang aku lakukan untuknya, satu sisi dia pasti kecewa bahwa aku menyalahkannya. Keduanya berebut untuk menjelaskan sesuatu yang masuk akal yang bisa dia berikan untukku. "Kamu bicara apa?"

"Riani, kamu tahu, aku tidak bisa menikah karena inilah yang aku takutkan. Masalah itu ada di depan mataku dan merenggut hidupku selama ini." Riani tidak tahu sisi lain antara keputusanku mengakhiri hubungan dengan Arestia. "Kamu pikir bagaimana Ayahku memecahkan masalah keuangan di rumah selain melampiaskan kekesalannya kepada ibuku?"

"Danu, aku tidak tahu ini." Tangan Riani menjauh dari kardus. Dia ingin menunjukkan bahwa dia sedang mendengarkanku. Tatapannya mengarah ke mataku. "Apa yang aku lewatka?"

"Ayahku bermain dengan wanita bisa menjanjikan banyak hal untuk keluargaku." Mata Riani merah. Aku tahu dia menahan napas. Tapi aku memandang lurus ke arah televisi. "Aku tahu ayahku berselingkuh hanya demi uang. Pernikahan mereka mulai bermasalahn dan aku menyadari sudah lama."

Riani bangkit dan dia mengambil remote untuk mematikan televisi. Iya, memang itu terlalu berisik. Dia kembali duduk di lantai dan tidak mengatakan apa pun. Inilah saat yang kubenci. Ketika aku harus mengungkapkan kejujuran yang berarti sedangkan dia menatapku tanpa bicara, saat itulah aku mengasumsikan banyak hal. Selebihnya mungkin dia tidak dapat mengungkapkannya.

"Arestia adalah wanita pertamaku." Aku memejamkan mata. "Apa yang dikatakan ayahnya tidak mengubah apa pun untukku. Karena aku sudah kacau sejak di Surabaya."

"Apa karena kamu gay?" Aku tidak membayangkan ternyata ini yang ada di pikirannya. Aku ingin tertawa tapi tidak cukup siap menerima kejujurannya yang mengasumsikan tentang diriku.

"Aku bukan," sergahku. "Hanya saja aku tidak bisa menikah. Aku takut untuk memulai. Dan mengakhiri bukanlah jalan keluar."

"Bagaimana kamu bisa menganggap bahwa dirimu tidak bisa menikah?" Riani kembali melanjutkan mengeluarkan barang-barang lain dari kardus seperti pakaian dan kotak perhiasan. "Bahkan kamu belum pernah merasakannya. Danu, aku sudah di sana. Kamu pasti bisa mengatasi ini."

"Lihat dirimu," cecarku. "Lihat bagaimana kondisimu sekarang dengan pernikahanmu sendiri. Apa ini yang dikatakan baik-baik saja? Kamu bahkan tidak bisa mengakhirinya."

Riani menoleh ke arahku dengan tatapan tidak menyenangkan. "Serius! Kamu mengatakan ini padaku?"

"Ya, memang harus." Pelipisku berdenyut karena harus memekik ketika mengatakan itu. "Kamu merasa seolah mampu mengatasi semuanya padahal kamu... kacau."

"Astaga, Danu!" bentaknya. "Jadi kamu menghakimi aku sekarang? Lihat dirimu, kamu bahkan tidak menyadari apa yang telah kamu lakukan padaku. Kamu mengatakan hal baik yang membuatku percaya akan segalanya tapi kamu merusaknya dengan kalimat brengsek itu. Danu. Aku baru menyadari jika kalimat itu pantas untukmu juga."

Hatiku terasa nyeri karena menyadari dia kembali mengatakan tentangku setelah apa yang aku dengar di rumah Chris. Boleh jadi aku menyimpulkan seperti inilah Riani ketika memandangku. Aku kembali dibuatnya kecewa, tapi tidak cukup untuk membencinya.

Keadaan menjadi mencekam. Kemudian Riani berusaha mengatur arus napasnya agar tenang, bekali-kali seakan mengerahkan segala kekuatannya untuk menahan diri agar air matanya tidak menetes dan amarahnya tidak lagi memuncak.

Tidak ada perlindungan di antara kami. Keadaan ini membawa kami ke medan perang. Kami saling menyakiti secara verbal untuk membuktikan siapa yang paling kuat mengahadapi masalah sendiri.

Aku menggaruk gusar rambutku dan mengusap tengkuk tidak tenang. Emosi terpancar saat mata kami bertemu. Tidak ada bala bantuan yang bisa menyelamatkan kami selain diri kami sendiri yang mengatasinya.

"Harusnya kita tidak pernah bertemu." Aku turun dari tempat tidur hendak berjalan menuju kursi nakas mengambil pakaianku. Sebelum aku berdiri aku meraih weistbag di atas nakas. Aku harus mengakhiri.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada kita?" kata Riani dengan suara lemahnya. "Kenapa kita jadi seperti ini?"

"Karena memang seharusnya aku tidak kembali," jawabku sambil berdiri. Aku menyadari jika kalimatku bernada tinggi. Karena saat ini aku tidak bisa mengontrol pikiranku. "Kita kacau sejak awal dan yang kita pernah lakukan semakin mengacaukan segalanya. Semua karena aku masih ada di sini dengan pikiranku yang rumit." Aku mengambil celanaku dan bersiap untuk memakainya.

"Danu, kita masih di sana, kan?" Suara Riani begitu dekat. Aku langsung berbalik. Kami hanya beberapa langkah.

Aku menganggukan kepala seraya meletakkan kembali celana dan waistbag ke atas kursi meja rias. "Ya... Kita masih di sana," aku begitu yakin mengatakannya. "Tidak ada yang berubah dari itu."

Riani memegang pinggangku, dia menyetuh karet celana dalamku. Kumencoba menjauhkan tangannya tapi dia tetap bersikukuh. "Jangan menggodaku dengan ini." Dia tidak berkata apa pun selain terisak. Aku berusaha mengatur napas. Berusaha keras mengisi udara ke paru-paruku. Dia mengusap air mata lalu menurunkan pandangan ke tubuhku.

"Aku berusaha melupakan keadaan kita. Tapi tidak tahu bagaimana melupakannya." Riani memasukkan jarinya untuk melesak masuk ke dalam celana dalamku. "Bagaimana aku bisa tahu kalau ini bukan yang aku inginkan? Aku tahu kita masih di sana tapi bukankah ini yang kita pikirkan selama ini." Aku mendesis saat tangan Riani telah sampai untuk menyentuh tubuhku.

Aku menjauhkan tangan Riani dari tubuhku. Kali ini dia tidak melawan. Aku mengusap tangannya. "Kita butuh waktu memikirkan jika inilah kehidupan yang kita harapkan. Atau kita harus mempertahankan untuk tetap di sana."

Kuselipkan kedua tanganku ke bawah kepala Riani. Dia memejamkan mata saat aku menyentuh kulitnya. Kumajukan tubuhku untuk mendekapnya dalam pelukan. Kuusap puncak kepalanya sedangkan dia melingkarkan lengan di pinggangku. Dia meremas punggung bawahku.

"Kita tidak apa-apa," kata Riani. "Aku mencintai keluargaku. Aku mencintai Susan, Qiara, Ibu, dan Mas Agastya. Tapi tidak cukup untuk membalas yang mereka lakukan padaku. Hanya kamu yang ada di sini, Danu."

Rianu terisak-isak. Aku merasakan dia membasahi dadaku dengan air matanya. Aku semakin meyakinkan dia dengan pelukanku agar dia merasa nyaman di dalamnya.

"Jangan pergi, Danu."

"Lalukan apa yang kamu inginkan." Aku memegang lengannya untuk merenggangkan pelukan kami. "Aku bisa atasi ini."

Kami saling pandang untuk beberapa saat. Aku mendekatkan wajah ke arahnya. Dia tidak melakukan gerakan apa pun jadi jarak kami hanya sebatas napas. Hidung kami saling bersentuhan tapi tidak ada yang bisa memulai kapan bibir kami bertemu. Hingga akhirnya Riani memilih turun dan bersimpuh di depanku. Tangannya bersiap dan memulai manarik turun celana dalamku. Dia menengadah sedangkan aku menunduk. Tatapan kami bertemu dan dia memulai menciumi tubuhku. Aku mendesis ketika bibirnya menyentuh kulit. Tangan Riani terangkat untuk menyusuri perutkku. Otot perutku berkontraksi.

Aku mengerang saat tubuhku masuk ke mulut Riani. Dia memainkan lidahnya membuatku mengelenyar. Lidahnya terjulur dan membasahi puncak seluruh tubuhku dengan ludahnya. Aku menegang karena dia melakukannya dengan cepat dan liar. Tangannya kini beralih ke pinggang hingga ke punggung belakang, dia sana dia meremasnya dan melirih. Kusisipkan jemariku masuk ke rambutnya dan mendorong bertubi-tubi agar tubuhku terus masuk. Riani sedikit tersedak jadi aku memperlambat gerakan.

Sebelum akhirnya aku berada di puncak kenikmatan aku menghentikan gerakan Riani. Kutarik lengannya agar dia berdiri. "Aku selesaikan ini sendiri saja," bisikku. "Kamu akan membenci dirimu sendiri karena harus mencuci rambut tiga kali dalam waktukurang dari 24 jam."

Riani tertawa geli. Dari sana aku melihat wajahnya sedikit lebih tenang. Kuusap bekas air mata yang keluar dari sisi luar matanya. Lalu mencubit pipinya. "Maaf," lirihnya.

"Aku baik-baik saja." Aku langsung berbalik dan masuk ke kamar mandi. "Mungkin butuh waktu lama. Kamu bisa memulai menonton film mungkin." Aku memegang pergelangan tanganku yang sepertinya terkilir. Saat itu aku bersusah layah melepas celana dalam di depan pintu kamar mandi dan meletakkan di atas celanaku yang ada di atas kursi meja rias.

"Baiklah." Riani berlari mendekat dan mencium pipiku juga melingkarkan lengan di leherku. "Terima kasih, untuk waktu yang pernah kamu berikan untukku. Dan terima kasih sudah mendengarkan aku selama ini."

Aku mengangkat alis dan dia langsung berjalan menuju ranjang. "Kalau mau sewa atau beli film lain. Lakukan seperti yang ktunjukan padamu tadi."

"Tidak masalah," teriaknya.

Aku langsung masuk ke kamar mandi. Aku duduk di kloset memulai dengan tangan kanan. Pergelangan tanganku semakin tidak karuan sakitnya. Aku mendesis menahannya. Hingga aku akhirnya memulai dengan tangan kikir. Jujur ini tidak mengenakkan.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro