Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA PULUH

[ 00.24 -- 00.50 ]

Danu masih ada di kamar mandi bahkan aku usai mencuci piring. Aku menumpuk piring bersihnya di sebelah wastafel. Lalu kembali ke kamar. Aku mendapati ponsel di atas nakas dengan beberapa catatan panggilan. Semua mengatasnamakan Suami. Aku menghela napas. Sengaja membuatnya dalam mode senyap agar Danu tidak memergokiku menghindari telepon darinya. Danu pasti akan mendesak untuk aku segera bicara dengan suami.

Aku menghela napas memandang layar ponsel lalu aku hapus catatan panggilan tidak terjawab itu dari panel notifikasi. Setelah itu aku memutuskan daya karena sudah terisi penuh. Aku mendengar Danu keluar dari kamar mandi luar, aku segera beranjak menuju kamar mandi di kamar untuk menggosok gigi. Setelah aku keluar aku sudah mendapati Danu merebahkan diri di atas tempat tidur, membalut tubuhnya dengan selimut, dan dia menonton televisi.

Aku merangkak ke atas tubuhnya untuk menuju ke sisi lain tempat tidur. Dia memajukan kepalanya agar aku mencium bibirnya, aku lakukan itu sebelum akhirnya turun dari tubuhnya. Bibir kami bertemu dan aku langsung berguling ke kiri.

"Rasa pasta gigi." Danu mengusap bibirnya. "Aneh."

Aku tertawa geli. "Kamu rasa saus barbekyu. Enak. Terima kasih makanannya malam ini. Ternyata enak juga."

Dia hanya mengangkat alisnya untuk mengiakan. "Jadi nonton film apa?"

Aku menyelinap masuk ke dalam selimut sebelum akhirnya menjawab. "Revolutionary Road?"

"Aku sudah pernah menontonnya," jawab Danu.

"Kalau 'Looks That Kill'?" Aku menoleh ke Danu dan dia tidak memandangku. Matanya terfokus pada iklan di saluran televisi. "Aku pernah menontonnya tapi seru gak pernah bosan. Selalu bikin ketawa saat kucing melihat wajahnya si Max." Aku senyum-senyum sendiri. "Bayangkan kalau itu terjadi pada kamu? Aku akan melakukan pertaruhan dengan orang yang tampan tapi pakai perban buat tutupi wajah tampannya."

"Kamu berpikir jika aku seperti Max aku masih tetap memilih bertaruh denganmu?" Danu menyunggingkan bibirnya ke kiri. "Astaga Riani. Aku melakukannya untukmu bukan karena aku ingin bertaruh denganmu."

"Jangan bahas itu lagi." Aku sebenarnya menghindari topik itu. Tapi pikiranku terlalu liar berada dalam satu selimut dengannya.

"Kamu pernah lihat film Max and Me?" Aku menggeleng itu pasti film baru. Tidak semua film yang keluar di 2020 aku sudah menontonnya. "Pasti film baru?"

Danu mengangguk. "Hampir mirip dengan The Fault In Our Star. Maksudku jika kamu menonton film itu kamu pasti akan ingat Hazel Grace, karena dia juga membawa alat bantu napas ke mana-mana. Itu film remaja sih. Eh, kamu mungkin tidak suka. Tadi kamu bilang suka film perselisihan suami-istri."

"Kamu kira umur aku yang 26 ini tidak cocok menonton film remaja?" Aku bangkit dan berusaha melihat wajah Danu agar dia juga melihat wajahku. Aku ingin tahu apakah Danu berniat mengejek atau itu hanya ungkapan kosong. "Jadi aku kurang cocok begitu menonton film remaja? Looks That Kill, dan The Fault In Our Star juga film remaja, bukan? Dan aku sangat menikmati sepanjang filmnya, biarpun akhirnya ceritanya membuatku nangis bombai."

"Apa lagi selain itu? Kamu apa sih yang gak bikin nangis. Diam saja di pojokan pasti kamu juga nangis gak lama." Danu meraih tubuhku agar aku bisa mendekap dalam rangkulannya. Aku membernarkan posisi selimut agar tubuh kami bisa lebih dekat lagi.

"Aku juga suka serial The Society. Kisah remaja yang membangun pemerintahan versi mereka sendiri, tinggal di kota yang mereka miliki sendiri, juga cara bertahan hidup di sana." Aku lebih banyak menonton serial daripada menonton film jadi aku bingung manakah yang harus aku sebutkan untuknya film-film remaja. "Oh, To All The Boys I've Loved Before, Paper Town, 13 reasons why keempat season, juga ehm... film-film dalam negeri seperti Dilan, Dua Garis Biru...."

"Oke, aku percaya kamu menikmati film remaja. Tapi kalau kamu mau menonton Revolutionary Road, aku tidak masalah." Danu mengecup puncak kepalaku saat iklan berakhir. Ternyata yang dia tonton adalah berita bola. "Kalau kamu sewa di Google Play Film juga gak apa. Aku menonton film itu di sana."

"Baiklah." Aku langsung bangkit, menyibak selimut lalu merangkak untuk meraih laptop di meja kerja. Setelah itu aku kembali dan duduk bersila di samping tubuh Danu. Dia menegakkan badan menyamankan diri pada sandaran tempat tidur. "Aku suka kalau bertemu seseorang pecinta film juga. Aku mengajak Mas Agastya menonton film, meracuninya agar dia suka beberapa film yang ingin aku tunjukan ke dia. Eh, di pertengahan film dia selalu tidur."

Danu tertawa sejenak lalu dia keluar dari selimut. Mataku memperhatikannya berdiri di samping tempat tidur sambil menunggu lapotopku menyala.  Danu melepas ikat pinggangnya lalu menurunkan celananya. Kemudian dia melepas kaosnya dan melipatnya asal untuk di letakkan di atas kursi di depan meja rias. Aku merasa terancam kenapa dua harus melepas pakaiannya lagi, aku tidak ingin mencuci rambutku sekali lagi.

"Kenapa lepas baju?" kataku tanpa memperhatikannya bergerak menyelinap masuk ke dalam selimut.

"Mungkin di pertengahan film aku juga tidur." Danu menutupi kakinya dengan selimut, dia duduk di sampingku dengan manja menyandarkan kepalanya ke bahu aku. "Aku harus tidur, karena aku jam tujuh ada briefing terus lanjut rapat dengan tim pembangunan jam sembilan."

Aku mengusap dahi Danu. "Kamu bisa pulang nanti subuh." Dia mengangguk lalu memosisikan dirinya tidur. Mengerukupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Ini bagaimana bayar sewanya. Kartu ATM aku kan tertelan." Aku menyibak selimut dan mendapati Danu meringkuk.

"Pakai kartuku saja. Ada di kamar Susan," omelnya. "Kamu ambil sana. Mau pakai yang BCA atau BNI terserah."

"Kamu ambil," pintaku. Dia langsung mendesah dan bangkit dari temoat tidur. Aku menertawakan karena dia hanya memakai celana dalamnya. Berjalan dengan lemas seperti balita baru bangun tidur. "Sekalian nitip ambil minum, yah."

"Iyaaa!" teriaknya.

Aku sudah membuka Google Play Film. Aku mencoba mencari film 'Revolutionary Road' setelah menemukan, aku terpekik. Aku sungguh tidak tahu kalau ternyata pemainnya adalah Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet. Keduanya bermain peran di film Titanic.

"Astaga Danu," seruku. Saat Danu masuk. "Kamu kenapa gak bilang kalau pemain film Titanic dipertemukan di film ini." Aku memintanya untuk mematikan lampu saat sebelum dia mengulurkan waistbag dan segelas minum padaku. Dia menurut untuk menekan saklar di samping pintu.

Danu langsung melesak masuk ke dalam selimut tanpa bicara. Tangannya juga sempat menyalakan lampu tidur di atas nakas. Aku juga melakukannya pada nakas yang satunya juga meletakkan gelas di sana. "Ini gimana caranya?" Aku mengambil kartu BNI. Dan Danu langsung bangkit. Dia mengambil laptop lalu memposisikan dirinya lebih nyaman di sandaran tempat tidur. Dia memangku laptop dan tangannya tersibukkan untuk beberapa saat. "Nomor kartunya?"

Aku langsung mendikte dan jemarinya menekan-nekan kibor. Setelah selesai aku menunggu sampai Danu meneyelsaikan pembayaran untuk menyewa film. Tanganya tersibukkan mengeser dan menekan kursor hingga dia berhasil menunjukkan filmnya. Kami bertukar, Danu memberikan laptop sedangakan aku memberikan weistbag.

Danu meletakan tasnya di atas nakas. Sedangkan aku bersiap untuk memulai filmnya.

"Suami kamu menelepon!" kata Danu. Dan aku juga mendapati layar ponsel menyala di atas nakas. Karena ruangan gelap Danu pasti menyadari itu. Aku membeku seketika. "Kamu sengaja membiarkannya?"

Aku masih tetap diam. Kami sama-sama memandang ponsel di atas nakas. Hingga Danu mengambilnya dan mengulurkan padaku. Aku memandang kaku. Aku tidak tahu harus bagaimana tapi dia mengerti saat-saat dia harus mendorongku melakukan sesuatu. Aku menelam ludah mendapati layar ponsel dalam tampilan panggilan Mas Agastya.

"Aku ingin kamu mendengarkanku." Danu memberikan ponsel iki di tanganku dengan paksa. Panggilan Mas Agastya berkahir. "Yang kamu lakukan adalah berharap dapat menyelesaikannya. Dan saat ini adalah yang terburuk. Kamu harus mengahadapi untuk keadaan yang membaik. Mau sampai kapan kamu ingin terus-terusan berlari untuk menyerah? Aku tidak ingin kamu menyesal.:

"Aku sudah menyesal melakukannya." Wajah Danu pancar cahaya dari balkon. Dia terlihat serius mendengarkan dan ekspresinya mengeras. "Aku menyesal, Danu. Pada satu menit yang dulu pernah aku lalukan."

"Apa yang terjadi?" Danu memegang lenganku. Dan ibu jarinya mengusap lembut, cukup menenangkan bagiku tapi tidak cukup membuatku angkat biacara. "Apa ini tentang kita?"

Aku secara spontan menggeleng. Aku percaya kami tidak dalam posisi yang salah. "Aku melihat satu kesalahan. Aku membiarkan itu terjadi. Aku melakukan kesalahan."

"Riani," kata Danu mendekatkan wajahnya. "Aku tidak peduli kesalahan apa itu. Yang terpenting adalah kamu sudah melewati itu. Kamu menyadari kesalahan itu. Dan sekarang saatnya kamu menghadapi untuk memperbaiki kesalahan itu. Jika satu menit saja mampu membuat kesalahan maka kamu hanya butuh waktu tidak lebih dari itu untuk memperbaiki. Karena kamu tahu di mana letak kesalahannya."

"Danu, kamu tahu aku kehilangan Qiara, kan?" Aku mendesis. "Aku tidak ingin melakukan kesalahan itu sekali lagi. Itulah kenapa aku menyimpan kondom di rumah ini."

"Aku belum pernah mendengar sisi lain dari cerita ini. Maksudku, jika itu membantu, ceritakan padaku?" Danu merapatkan tubuhnya padaku. Dia merangkulku dan aku merasakan aroma tubuhnya yang meningkatkan hasrat untuk bersandar di bahunya. Jadi aku lakukan itu.

"Sebelum aku menikah aku dan Mas Agastya sepakat kalau di waktu dekat untuk tidak memprogram kehamilan." Jantung terpompa hebat. Aku sampai memeganginya seakan hendak jatuh. "Mas Agastya mengerti jika aku masih trauma kehilangan Qiara."

"Jadi bagaimana kalian melakukan hubungan badan?" Pertanyaan Danu tidak dapat aku pahami jadi aku hanya melihat wajahnya yang bingung sekaligus penasaran.

"Kamu ingin mendegar bagaimana cara kami melakukannya? Sedangkan beberapa menit yang lalu kita melakukannya?" cecarku. "Apa aku harus menceritakan detailnya?"

"Maksud aku, bagaimana siklusnya? Dia pasti membutuhkannya."

"Aku tidak pernah kecewa dengan apa yang dia lakukan padaku. Aku tahu dia sangat menghargai keputusanku."

Aku menghela napas. Danu menunggu sampai aku melanjutkanmya. "Tapi aku membaca riwayat pesan yang pernah dia tulis untuk teman-teman."

Danu mengusap punggungku. Dia tahu aku merasa tidak tenang. Dan perasaan ini tidak mengenakan. Aku terus saja mengingat hal buruk yang pernah aku lakukan.

"Harusnya aku tidak membaca pesan itu." Aku mengusap sebulir air mata jauh di pipi kiri. "Jauh sebelum itu saat pernikahan kami berjalan tiga bulan, Mas agastya mulai tidak sabaran. Dia tidak pakai pengaman dan bilang tidak punya. Tapi aku selalu mengantisipasi dengan minum pil."

"Riani, aku tahu." Danu menyamankan posisi duduknya. Aku mendekap dalam pelukannya. Merasakan detak jantungnya. Yang tenang dan memberikan pengaruh agar air mata tidak pecah. "Riani, kamu pernah mendengar tentang pasangan yang kehilangan kemampuan mendegar?"

Aku mendongak untuk menatap wajahnya. "Film atau serial?"

"Sebuah buku yang aku baca." Danu mengusap rambutku dengan tangan kirinya yang terbebas dari tubuhku. "Pria kehilangan indra pendengaran yang bernada tinggi, sedangkan wanita kehilangan indra pendengaran yang bernada rendah."

Itulah yang terjadi padaku dan Mas Agastya. "Kalian hanya perlu saling mendengarkan."

"Danu, ada satu hal kenapa aku menolak untuk tinggal di Bali." Tanganku menyentuh perut Danu. Jemariku bermain pada gundukan-gundukan kecil di perutnya yang berotot keras. "Orang tuanya menganggap bahwa menambah keturunan adalah sebuah perlombaan yang menyenangkan, teman-teman Mas Agastya juga, seakan mereka ingin membuktikan kepada semua orang bahwa putranya mempunyai buah pelir. Harusnya aku tidak membaca pesan itu."

Danu menegakkan badan. Dia mengatur posisiku agar mengahadap padanya. "Kurasa hanya butuh waktu kalian bisa menyelesaikannya."

Aku tidak menghirauhkan kalimat Danu. "Aku tidak heran jika dia mendesakku seperti halnya dia ingin membuktikan kalau dia punya buah pelir yang masih berfungsi."

"Seharusnya kamu tidak membicarakan ini padaku, Riani." Bahu Danu merosot. "Setelah apa yang kita lakukan berdua."

"Aku tahu," tukasku. "Aku tahu, Danu. Harusnya aku membiacarakan ini sejak awal. Tapi kamu yang memaksakan agar aku bercerita."

"Kita harus akhiri ini." Danu menyibak selimut lalu turun dari tempat tidur. Dia berjalan menuju ke kursi meja rias. "Aku harus pulang."

"Danu?" Aku menyesal jika membuat Danu seperti ini.

"Riani, maaf. Aku tidak bisa berlama-lama di sini." Danu memgambil celananya. "Selesaikan masalah dengan suami kamu."

Aku langsung bergerak turun dan mencegahnya berpakaian. Meletakkan dengan kasar ponsel di atas kasur. "Danu, aku mohon jangan seperti ini." Urat-urat pelipisku berdenyut ketika berjalan mendekat, juga karena merasakan berapa banyak kesalahan yang pernah aku buat.

Aku cepat menarik celananya dari tangannya agar dia berhenti berpakaian. Aku takut menghadapi ini sendirian. Danu berusaha keras menghindari pandangan ke arahku.

Danu berbalik menangkupkan kedua tangan di wajahnya. Dia menghantam tembok dengan pukulan hebat. Dia melirih kesakitan setelah itu. Sampai dia berjongkok memegangi tangannya. Aku ingat jika tangan itu mungkin yang dia juga gunakan untuk memukul di brengsek itu.

Aku panik tapi tidak lama dia bangkit dan berbalik. "Bagaimana aku bisa tidak menyadari ini saat aku melakukannya untukmu, Riani."

Dia mendongakkan kepala dan mengusap wajahnya dengan gusar seraya berjalan menuju tempat tidur. Aku berbalik untuk mengikuti pandang setiap gerakannya. Danu duduk di tepian tempat tidur. Dia merasa gusar.

Aku meletakkan celana Danu di atas kursi meja rias lalu berjalan mendekatinya dan bersimpuh di depannya. Danu mentapku dengan tatapan kecewa, dan ngeri. "Sudah cukup jelas ada kesalahan yang sangat besar di antara kita. Dan kita harus membicarakan ini. Tapi, yang perlu kamu lakukan pertama kali. Selesaikan masalah dengan suami kamu."

Dia mengambil ponselku. "Hubungi dia dan jelaskan apa yang terjadi, tentang apa yang membuatmu tidak ingin pergi ke Bali."

Tanganku gemetar ketika menerima ponsel itu. Lalu aku bangkit. Tapi tanganku terasa kaku untuk mengusahakan diriku sendiri mengahadapi masalah ini.

Danu berusaha keras untuk tersenyum. "Kalian harus bisa menerima kalau sebenarnya masalah kalian terlalu serius. Kamu pasti tahu jika suami kamu mencintaimu. Jika kalian masih mempunyai perasaan yang sama. Maka pertahankan. Aku akan melakukan sebisaku untuk menjauh untuk tidak mengusik masalah pribadimu."

"Aku menyesal," kataku parau.

"Aku juga menyesal, Riani." Danu mengusap tanganku. Kami salinga pandang untuk beberapa saat. Hingga akhirnya aku menjatuhkan tubuhku untuk memeluknya. Danu berusaha mengimbangi agar dia tetap terduduk. Dia mengusap-usap punggungku.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro