Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA

[ P A G I ]

Setiap kali aku mengeluh pada satu hal ada saja hal baru yang membuatku semakin ingin mengeluh. Mengumpat. Dan melampiaskan dengan menganiaya benda mati. Misalnya ponsel, bantal, sprei, bahkan deodoran di kamar mandi. Dan yang paling sial adalah cermin di meja rias. Karena semua benda yang aku sebutkan tadi pastinya akan aku lemparkan ke suatu tempat dan cermin itu adalah tempat favorit. Ini adalah kali keduaku mengganti cermin meja rias.

Aku tidak tahu sampai kapan aku dan Mas Agastya berhenti berdebat setiap mendiskusikan sesuatu. Semalam Mas Agastya mengirim pesan. Kami bertukar pesan sampai ponsel dan cermin jadi korban. Saking kesalnya aku. Dia memintaku untuk cuti selama seminggu ke depan. Aku tidak bisa sembarangan mengambil cuti jika masih ada karyawan lain yang masih di masa cuti. Biarpun aku belum menanyakan kapan waktu aku bisa mengambil cuti kepada atasanku tentu saja tidak bisa seenak jidat seperti dia menyuruh aku seperti itu.

Susan, adik perempuanku, menelepon saat aku memerhatikan tukang perabot mengganti cermin. Belum sempat mengangkat telepon itu layar ponsel sudah padam. Aku kembali memerhatikan tukang perabot. Aku memang meminta mereka datang pagi-pagi sekali karena takut jika aku nanti sore harus lembur. Sekadar antisipasi jika aku tidak ada waktu untuk membenarkannya. Susan kembali meneleponku dan aku segera mengangkat. Mengusap layar dengan anti gores ponselku pecah sisa tadi malam.

"Hallo?" ucapku. Aku berjalan menuju balkon. "Ada apa, Susan?"

[Mbak gak datang ke sini?]

"Kenapa? ada apa?"

[Susan mau ngomong sama Mbak.]

"Yasudah ngomong saja."

[Sebelum Mbak pergi ke kantor, Mbak mampir ke indekos aku dulu, ya?]

"Iya, Mbak akan mampir. Tapi sebentar yah, ini di rumah ada tukang perabot. Cermin Mbak pecah lagi."

[Mbak lagi ada masalah sama Mas Agastya? Kok cermin pecah lagi.]

"Bukan masalah besar. Gak perlu kamu pikirkan. Eh, Mbak tutup dulu, ya? ini sudah selesai tukang perabotnya." Sambungan langsung aku putus. Berbalik ke dua tukang berdiri di ruang tamu.

Aku memeriksa kondisi meja rias. Biarpun kayunya sedikit boncel aku masih menganggap ini terlihat baru. Aku menyimpan ponselku ke dalam tas kemudian mengambil amplop berisikan uang yang sudah aku siapkan sejak dini hari. Aku memberikannya ke pada salah satu dari tukang.

Sebagai tuan rumah yang baik aku mengantar mereka ke bawah. Lantaran aku tinggal di rusunawa lantai tiga, di samping aku juga hendak pergi ke kantor alih-alih ke indekos Susan.

Mendadak ponselku berdering lagi di dalam tas aku saat menuruni tangga. Buru-buru aku mengambilnya. Aku kira Susan kembali meneleponku ternyata bukan melainkan aku mendapati layar ponsel tertulis 'Suami'. Aku menghela napas serta mengusap tombol hijau di layar. Drama apa lagi sekarang?

"Ada apa, Mas?" kataku. Saat itu aku sudah berpisah dengan tukang perabot. Mereka jauh mendahului. Jika dikata aku menyerah dengan Mas Agastya itu salah besar. Aku bukan tipe manusia yang tak berdaya hanya karena berdebat dengan seseorang biar itu melalui telepon sekalipun.

[Banyak keluarga besar saya yang datang ke acara besok. Tante saya dari Sulawesi juga ikut. Kamu harus datang. Saya tidak mau orang tua saya menganggap kalau hubungan pernikahan kita..., saat mereka menanyakan tentang kamu dan kamu gak ada.] kalimat Mas Agastya tersekat. Dia tidak mengucapkan kata utamanya. Andai saja dia bisa ucapakan aku pasti sudah kelewat marah. Lantaran dia yang menjadikan hubungan pernikahan kami menjadi seperti ini. [Pokoknya kamu harus datang. Sebelum jam enam pagi kamu sudah harus ada di pelabuhan Gilimanuk.]

"Mas, aku lagi banyak kerjaan di kantor. Aku tidak bisa meninggalkan begitu saja semua urusan kantor. Ada banyak hal penting yang harus aku kerjakan." Urat leherku rasanya hampir putus. Berdebat di telepon membutuhkan tenaga ekstra baik batin maupun fisik. Tak ayal aku harus membayangkan wajah Mas Agastya yang melotot ke arahku. "Salam ke Ibu. Maaf aku gak bisa datang." Aku berjalan dengan langkah gusar ketika menuruni tangga.

[Saya sudah katakan ini berminggu-minggu yang lalu. Kata kamu waktu itu bisa datang. Tapi kenapa sekarang kenapa bilang tidak bisa?]

"Mas, siapa tahu keadaan kantor kalau sudah seperti ini."

[Dari dulu saya sudah bilang berhenti bekerja lalu pindah ke Bali. Kamu tetap saja ngeyel. Jangan-jangan kamu ada pria lain di sana, iya 'kan?]

"Astaga, Mas...."

[Saya capek berdebat dengan kamu. Kalau kamu tidak datang, tunggu saja apa yang akan saya lakukan nanti.] Alisku berkerut ketika mendengar kalimat Mas Agastya. Seandainya dia tidak menelepon pagi ini emosiku tidak akan memuncak.

"Mas mau menceriakan aku?" Hanya itu kemungkinan terburuk yang akan dilakukan Mas Agastya. Adakah hal buruk lain? Ketika itu aku berjalan menuju garasi umum. Aku membuka kunci mobil. Sebelum aku masuk aku berusaha memekakan telinga untuk mendengar Mas Agastya kepadaku.

[Saya tidak bilang seperti itu.]

"Hanya karena aku tidak bisa datang ke acara keluarga besar kamu terus kamu mau menceraikan aku?" Tanganku sepontan memukul jendela mobilku.

[Saya tidak bilang begitu, Riani. Saya hanya ingin kamu datang. Apa susahnya tinggal bilang ke atasan kamu kalau kamu ambil cuti seminggu. Kalau tidak boleh dan diancam PHK ya biarkan saja.]

"Mas, tidak semudah itu kalau aku dipecat artinya aku harus membayar denda." Aku benar-benar tersinggung dengan kalimatnya.

[Astaga! Jadi denda yang kamu khawatirkan. Kalau kamu tidak sanggup saya yang akan membayar denda itu.]

"Sudah Mas, saya mau ke indekosnya Susan. Riani tutup dulu."

[Saya belum selesai.] Saat itu aku sudah duduk di kursi kemudi. Aku lebih-lebih belum sempat menutup pintu mobil.

"Apalagi sih, Mas?" Aku meremas tangan sampai buku buku jari memanas. Saking gemasnya aku dengan perdebatan yang tak berujung.

[Saya tunggu besok dari jam empat sampai jam enam di pelabuhan Gilimanuk. Pastikan kamu datang tepat waktu karena acara dimulai pukul delapan. Dari Gilimanuk ke Denpasar butuh waktu tiga jam lebih.] Bola mataku berputar. Maksudku, terserah kamu mau menunggu atau tidak. Atau berapa lama kamu akan menunggu. Aku tetap tidak bisa datang ke acara itu.

"Tutup telepon," ucapku dengan nada kesal. Aku sungguh ingin mengakhiri ini.

[I Lov...,] Sambungan aku putus sebelum Mas Agastya usai mengucapkan kalimatnya. Lekas aku lempar ponselku ke nakas.

Aku menutup pintu mobil keras-keras. Tangan terasa semakin panas setelah aku gunakan untuk memukul stir kemudi. Aku menarik sabuk pengaman dengan kasar dan segera meninggalkan garasi.

"Ck, really? Bensin habis di saat seperti ini?" Baru beberapa kilometer mobilku berhenti. Jesus. Eksesifnya aku dengan amarahku sendiri sampai tidak sadar mobilku kehabisan bensin. Aku berdiri di samping mobilku yang bergeming. Menggomeli mobil itu selayaknya orang kehilangan akal sehat.

Seorang pria menepikan sepeda motornya. Dia mengenakan setelan kemeja hijau toska dibalut dengan jaket sintesis berwarna hitam. Dia turun dan langsung datang menghampiriku. Lalu bertanya, "Ada apa Mbak? Ban-nya bocor?" Dia mengamati kondisi ban mobil.

Aku menggaruk rambutku dengan kesal. "Bensinnya habis."

"Ada jirigen? Mungkin bisa aku bantu beli."

"Memang pom bensin jauh dari sini?" Aku berharapnya masih ada di sekitar sini. Sehingga aku tidak perlu merepotkan seseorang.

Dia menoleh ke kanan seakan-akan dia mempunyai sensor yang bisa mengukur sejauh mana jarak pom bensin dari sini. Dia mengeluarkan ponsel di saku kemejanya. Seketika itu aku baru terpikirkan harus mencari letak pom bensin terdekat melalui pencarian Google. Tapi ponselku ada di dalam mobil. Maka aku membiarkan pria itu mencari.

"Kurang dari satu kilometer dari sini." Dia melihatku ekpresinya seakan menunggu aku menanggapi.

"Jauh."

"Aku bantu." Dia kembali ke sepeda motor beat putihnya. Tidak lama kemudian dia menyalakan mesin motor dan langsung pergi.

Aku mendesis. Teringat kalau aku belum memberinya uang untuk membeli bensin. Sedangkan dia sudah melaju cepat menjauh dari lokasi mobilku berhenti. Aku memilih duduk di tepian jalan. Peluh mulai membasahi kemeja. Hari semakin panas. Tidak tahu berapa lama aku harus menunggunya.

Lima belas menit berlalu. Pria itu belum juga datang. Aku mulai meragukan apakah dia sungguh ingin membantuku. Lima menit berikutnya terasa lama sekali. Ingin hati meminta bantuan orang lain tapi takut kalau dia kemudian datang dengan membawa beberapa liter bensin. Leherku rasanya sakit karena terus-terusan menoleh ke kanan berharap aku mampu mengenalinya dari jauh ketika dia akan tiba nanti.

Aku sungguh merasa lega ketika melihat seorang pria berjaket hitam dan kemeja tosca di dalamnya terlihat di kejauhan. Pria berhelm hitam sedang mengendari motor Beat putih itulah seseorang yang hampir setengah jam yang lalu menjanjikan untuk membantu.

Aku segera berdiri ketika dia memakirkan sepeda motornya. Dia berjalan ke arahku dengan membawa jirigen dan corong. "Maaf lama karena aku harus mencari pinjaman jirigen dan corong." Aku mengangguk janggal setengah takjub dengan ketulusan pria ini membantuku.

"Bisa minta tolong bukakan tutup tangkinya?" Aku segera bergerak saat dia mengatakan itu.

Sampai akhirnya dia mengisi bensinku dia kembali berkata, "Kamu masih harus mengisinya lagi kalau sampai di pom bensin terdekat. Karena aku tidak yakin kamu bisa kembali dengan bensin yang aku isi sekarang."

Aku mengangguk. "Terima kasih."

"Tidak masalah," jawabnya dengan mengangkat bahu.

Setelah aku mengganti uang yang dia buat beli bensin. Mesin mobil juga sudah menyala setelah beberapa kali mencoba. Aku menurunkan kaca jendela mobil, dia menunduk di luar sana menatapku. "Terima kasih, Mas.

"Hati-hati." Dia melambaikan tangan. Aku juga.

Mobilku segera melaju. Aku melihat dari kaca sepion dia belum juga beranjak karena tersibukkan dengan ponselnya. Dia sedang bertelepon. Sampai akhirnya aku tidak bisa melihatnya lagi lantaran tertutup dengan kendaraan lain di belakang. Hingga sampai di pom bensin aku langsung mengisi penuh tangki juga teringat perkataan pria tadi.

Saat perjalanan menuju indekos Susan aku berniat menghubungi kantor, sudah pasti aku akan datang terlambat. Perjalanan menuju indekos Susan dengan kantor berlawanan arah. Butuh waktu dua kali lipat untuk kembali. Saat aku membuka layar ponselku tertera cacatan panggilan atas nama Susan sebanyak sembilan kali. Aku tidak jadi menghubungi kantor, dan memanggil ulang Susan.

Setelah beberapa kali aku berusaha menghubungi namun statusnya hanya memanggil. Kata lain aku dan Susan tidak bisa terhubung. Aku mengingat kalau susan ingin berbicara dengannya. Masalahnya aku terhambat oleh dua hal. Pertama panggilan Mas Agastya dan kedua drama bensin habis. Aku segera melajukan mobil dengan cepat. Takut akan hal yang tidak-tidak.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro