Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DELAPAN BELAS

[ 23.38 -- 23.56 ]

Aku mengintip dari tembok pembatas antara area ruang makan dan dapur. Sekadar memastikan apakah Danu sudah masuk ke kamar mandi. Handuk putih di lantai sudah tidak ada dan aku mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Jadi aku mengendap-endap dengan tatapan waspada menuju kamar susan untuk mengambil handuk piama. Danu bisa kapan saja keluar melihatku masih tanpa sehelai pakaian. Sudah pasti aku akan malu bukan kepalang.

Setelah itu aku kabur secepat mungkin masuk ke kamar. Aku mengunci pintu dan langsung masuk ke kamar mandi. Aku menampak pantulan tubuh di depan cermin kamar mandi. Jadi seperti ini rasanya memberikan apa yang aku punya untuk orang yang bukan siapa-siapa. Memutar kembali ingatan dan merasakan sentuhan dalam bayangan. Aku kira ini hanya berlaku dalam film, benar kata Danu kalau ini menjengkelkan.

Biarpun ciuman Danu mengerikan aku sama sekali tidak menyesal melakukannya. Aku merasa beban dunia telah terangkat. Jika diibaratkan puzzel yang berantakan tubuh ini mulai menyusun kembali setiap kepingannya. Hasilnya aku sekarang bisa bernapas setelah sekian lama tersekat. Rongga dada terisi penuh dengan udara dan bukan kalimat membongakkan.

Aku menyalakan keran dan membersihkan diri. Dari semua bekas sentuhan bibir Danu yang menjelajah. Menapaki setiap jejak yang dia tinggalkan. Saat aku menyentuh kepala langsung tersadar, dalam waktu semalam aku mencuci rambut sudah dua kali. "Brengsek!"

Sensasi dingin menusuk kulit ketika keluar dari kamar mandi. Aku merapatkan piama dan berjalan dengan gemetaran karena kedinginan menuju meja rias. Saat aku memulai untuk rutinitas skincare malam aku mendengar suara pemantik kompor. Aku membuka kunci kamar, mengintip sekilas dari balik pintu sekadar memastikan apakah itu Danu. Dan benar, dia berdiri di depan kompor hanya mengenakan celananya yang ia gunakan untuk mengojek tapi dia tidak mengenakan kaosnya.

Setelah selesai aku memakai skincare aku langsung bergabung dengannya masih mengenakan piama dan membawa selembar handuk untuk mengeringkan rambut. Aku mengusap punggung Danu ketika melewatinya. "Masak apa?" Aku menyandarkan dagu di bahu Danu. Aku merasakan sentuhan bibirnya yang hangat saat menyentuh pelipis.

Aku melihat meja dapur, Dia sudah melumuri ayam dengan tepung. Sebagian sudah masuk ke penggorengan. "Kamu sudah membersihkan meja sebelum masak?" Aku menyentuh meja yang menit-menit yang lalu

Danu mengangguk. "Kenapa? Harusnya kita bermain di meja makan." Aku langsung mencubit pinggangnya.

"Kamu pikir aku bisa nafsu makan mengingat bahwa meja itu adalah tempat pertaruhan?" Aku langsung menoleh le lantai dan di sana tidak ada pakaian yang mestinya ada. "Kamu taruh di mana pakaian kotornya?"

"Ada di kamar." Danu meniriskan dua ayam goreng tepung ke penyaringan. Aku membantunya untuk menyiapkan piring yang sudah diberi tisu lalu dia memindahkannya. "Ada keranjang di samping pintu aku kira itu untuk pakaian kotor."

Aku mengangguk. "Jadi, hanya seperti ini yang kamu bisa?" Aku menunjuk ke ayam goreng tepung yang bahkan terlihat mengerikan. Aku pikir jadinya akan seperti makanan cepat saji. "Mau tambah nasi gak? Biar aku menanak nasi."

Danu mengangguk. "Jangan menghakimi makanan di depan makanan." Dia mulai membolak-balikan ayam di atas wajan penggorengan. "Aku yakin ini sudah yang terbaik yang pernah kumasak."

"Jadi setiap hari kamu makan masakan kamu yang penampilannya mengerikan seperti ini?" Aku menengok ruang tamu di sana tidak ada kantong beras. "Di mana kamu menyimpan beras yang tadi kita beli?"

"Cari dulu? Baru tanya," jawabnya ketus. "Tunggu, kamu sebut ayam gorengku mengerikan? Astaga, belum juga dimakan."

Aku tidak pedulikan apa yang dikatakan Danu. Aku terlalu sibuk membuka lemari bawah dapur. Saat itu tedengar suara letusan minyak, aku menoleh ke Danu dia sedikit mudur, dan tidak aku sadari aku juga sedikit terjingkat. Hingga beberapa saat keadaan minyak goreng sudah tenang dia membuka laci tidak jauh dari kompor dia mengambil celemek.

"Apa saja yang sudah kamu tahu di rumah ini selain letak celemek di laci kedua?" Aku menegakkan badan setelah membungkuk untuk mencari kantong beras.

"Bantalan bra." Danu tersibuk memasang celemek. Sedangkan aku langsung menerjang. Memberikan pukulan di berbagai tempat di punggung, lengan dan bibirnya.

Danu tersenyum mengejek. Saat aku menyerang tubuhnya dia berusaha menjaga aku agar tidak dekat-dekat dengan kompor. Aku juga menyerangnya dengan sabetan handuk. Dia tidak melirih melainkam terawa terbahak-bahak.

"Kenapa sih!" serunya. "Memangnya kenapa kalau aku tahu di mana kamu menyimpan bantalan bra?"

"Sudah, capek aku." Aku langsung membuka lemari bawah paling ujung dekat dengan kulkas. Tempat aku biasanya menyimpan genuk.

"Capek gara-gara pertaruhan atau apa?" Danu mendesis dan aku langsung menatapnya garang.

Ternyata Danu sudah memasukkan beras ke dalam genuk. Jadi aku mengambil baskom magic com di dalam lemari atasnya. "Kira-kira setengah kilo kebanyakan tidak?"

"Setengah kilo itu berapa cangkir?" Aku sampai mengerutkan alis untuk memahami kalimatnya. "Aku terbiasa mengukur beras pakai cangkir."

"Berapa biasa kamu bikin?" Aku mengambil cangkir takar di dalam genuk.

"Satu cangkir." Danu meletakkan spatula di samping kompor dan dia menyangga badan dengan tangan memegang meja. "Untuk dua kali makan."

Aku langsung bergerak. Menuangkan beras ke baskom dan mencucinya di wastafel. "Sebenarnya apa yang membuat kamu tertarik memilih tinggal jauh bersama orang tua? Tinggal sendiri, apa-apa harus dilakukan sendiri. Apa yang kamu cari?"

Danu mengambil spatula. Dia hanya melirik, sedangkan aku menunggunya untuk mengatakan sesuatu. "Enam tahun bukan waktu yang pendek."

"Pertama, karena aku memang menginginkan seperti itu." Aku tidak tahu apa yang dia lakukan dengan ayam yang sedang di gorengnya. Dia mengecilkan api. "Kedua, mengubah lingkaran pertemanan. Aku rasa aku bukan siapa-siapa jika terus bertahan di sana."

"Kenapa begitu?" Aku membawa baskom ke magic com di samping kulkas. Lalu aku berjalan menuju dispenser di samping pintu kamar Susan. "Aku pribadi awal merasa hidup tanpa orang tua itu terasa sulit. Itu saat aku mulai merasakan bagaimana menjadi orang tua untuk Qiara."

"Aku bukan tanpa rencana pindah ke Banyuwangi." Aku sudah menuangkan air ke dalam baskom. Aku mebukur ketinggian air dengan ujung jari telunjuk. "Kamu tahu sendiri orang tuaku bagaimana."

Aku mengangguk berjalan menuju kulkas. Aku mengisyaratkan agar Danu membantuku mengambilkan gelas di dalam lemari dekat dengan dia berdiri. Dia langsung bertindak dan mengulurkan aku secangkir gelas. "Jadi, apa yang membuat kamu bertahan?"

Dia tertawa. "Aku pernah membaca satu buku senandika berjudul 'Senja Merah Muda Di Langit Banyuwangi'." Aku menuangkan air dingin ke dalam gelas. Danu menatapku. "Dari situ aku merasakan ada sebuah harapan bahwa aku harusnya mengubah garis lurus yang aku jalani. Dan Banyuwangi menjadi pilihan."

"Kamu sudah menemukan itu di sini?" Aku meminum sedikit isi gelas. "Tunggu...," Danu mengernyit. "Apa jawabannya Arestia?"

Danu menggeleng. "Sebut saja materi adalah tolak ukur kebahagiaan. Walapun kamu tidak menyetujuhi pemikiranku ini." Danu melangkah mendekat saat aku menutup pintu kulkas. Dia berhenti di depan wastafel. "Aku bukan pria yang mengejar profit. Aku juga tidak mengejar passion. Yang aku lakukan hanyalah menjauh sejauh mungkin dari orang tuaku agar aku tahu bagaimana cara bertahan hidup tanpa menyusahkan mereka. Dan aku harus dapatkan dari hasil berkerja."

Aku mengulurkan gelas ke Danu. Dia meneguk habis sisa air yang tinggalkan untuknya. "Aku jadi ingat kalimat Mas Agastya ke aku saat aku baru dapat pekerjaan baru." Danu meletakkan gelas di meja lalu tangannya mengatur mode magic com dari warm ke cook. Aku meringis kikuk saat Danu memandang ke arah aku dengan tatapan hendak menerkam wajahku.

"Aku awalnya sempat mengeluh karena gaji yang aku dapat saat bekerja di lembaga akuntan publik itu tidak sebanding dari yang aku dapat di kerjaan yang sebelumnya." Aku mengusap rambutku memastikan apakah sudah kering. Dan masih terasa lembab. "Barulah dia bilang, inilah bukti nyata kalau orang-orang berpatok pada pemikiran yang salah."

Danu kembali ke depan kompor memastikan apakah ayamnya matang atau belum. Kemudian dia beralih mengambil pisau untuk memotong cabai, bawang putih, dan bawang bombai. Aku naik ke meja untuk duduk, Danu melirik lalu wajahnya mendekat ke bibirku, dia mengecup singkat selagi dia mengupas bawang. Aku menggerutu. "Ingin melakukannya lagi," serunya.

Aku menggeleng. Aku langsung melanjutkan sebelum piliranku berlarian ke sana kemari. "Banyak orang memandang tolak ukur sukses dilihat dari seberapa tampan, kaya, tinggi jabatan dan lain-lain. Tapi beda buat orang yang perpikir idealis. Mereka menganggap bahwa tolak ukur bukan dari apa yang mereka punya tapi makna dan hasil fungsi dari apa yang mereka berikan untuk berkontribusi ke sekitar. Alam, manusia, hewan, dan aku misalnya."

"Aku percaya dengan suamimu. Tapi aku tidak percaya dengammu." Danu tertawa. "Jadi kamu menganggap bahwa aku orang yang telah sukses?" Danu memeriksa gorengan ayamnya, warnanya sudah mulai kecoklatan. Dia mematikan kompor lalu mengambil saringan untuk meniriskan minyaknya. Lalu dia memindahkan ke piring yang sudah diberi tisu bergabung dengan ayam yang sudah matang lainnya.

"Liat dirimu Danu. Kamu bahkan tidak pernah peduli berapa uang yang kamu keluarkan untuk aku." Molompat turun untuk memindahkan ayam ke meja makan. Lalu kembali bergabung untuk mencuci wajan kotor bekas menggoreng. Aku menunggu sampai Danu menuangkan minyak panas bakas ke mangkuk.

"Sukses yang kamu pandang tidak membuat ayah Arestia percaya. Aku tetap tidak bisa memperbaiki hubunganku dengan dia." Danu meletakkan wajan itu di wastafel. "Tunggu dingin dulu. Baru kamu cuci."

Aku mengamati sorot matanya, biarpun aku tergoda dengan otot-otot lengannya yang bergerak ketika dia mengiris bawang. Tetapi Danu menghindari kontak mata saat dia berjalan menuju ke kulkas untuk mengambil beberapa saus yang tadi belinya. Dia juga mengambil botol kecap asin, cuka dan satu saset saus tiram tanpa memberi tanggapan. Aku menghembuskan napas.

"Jadi, jika Arestia tidak kamu dapat. Apa selanjutnya? Mau sampai kapan kamu mengesampingkan kebahagiaan untuk dirimu sendiri."

"Aku bahagia saat aku melakukan pertaruhan denganmu." Danu menyunggingkan senyum ke kanan dan menaikkan alis. Tatapannya membuat tubuh terasa panas. "Aku menghitung itu sebagai bahagiaku."

Dia meletakkan pisaunya. "Bahagia bisa datang kapan saja. Aku baik-baik saja menjadi seperti ini."

"Aku sepakat satu hal, efek terlalu sering bahagia membuat lupa bahwa dunia punya rahasia. Hanya menunggu kapan itu akan tiba," tambahku. Aku meninggalkan kecupan panjang di pipi Danu. "Itulah kenapa manusia diminta untuk bahagia secukupnya."

Danu mandangku lalu begitu dalam dan intens sampai akhirnya memagut bibirku. Kami membiarkan bibir kami diam tidak melakukan ciuman yang berarti. Hingga Danu yang menarik diri lebih dulu. "Besok kita adalah penguasa. Persetan dengan dunia."

Aku tertawa. "Bicara yang sopan di depan orang yang lebih tua."

"Mulai lagi senioritas. Ini nih yang membuat masyarakat mempersempit batas norma dan melupakan arti sebenarnya kata berkerabat." Danu mengangkat tangan hendak mencubit hidungku. Aku ingat kalau tangannya bekas menyentuh bawang. Jadi aku memutuskan untuk berlari menuju kamar. "Mau ke mana?"

"Ganti baju!" teriakku. Aku membanting pintu. Dan menguncinya. Napasku menggebu. Aku tidak menyangka kalau aku masih belum menguasai diri untuk mengehentikan hasrat nafsu ke Danu. Dan mungkin juga Danu merasakan apa yang aku rasakan sekarang.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro